Highway, tahun 2014. Film India yang saya yakin hanya diketahui segelintir orang di Indonesia ketika seharusnya layak ditayangkan dalam layar lebar selama 2 bulan tanpa henti.
Singkatnya, film ini menceritakan Veera Tripathy, perempuan elite yang tanpa sengaja diculik oleh segerombolan perampok di malam sebelum pernikahannya. Ketika menyadari sanderanya adalah putri anggota kemiliteran dengan jaringan polisi-militer di seluruh India, perampok amatir tersebut panik karena tinggi kemungkinan tertangkapnya mereka.
Namun, Mahabir Bhati, salah satu penculik, berencana menjadikan Veera sebagai sandera untuk menyuap keluarga Tripathy. Ia bahkan melakukan perjalanan bersama grupnya untuk menghindari tangkapan polisi.
Pada babak pertama film, kita akan menyaksikan skenario umum ketika seorang perempuan diculik. Ditarik paksa, dibekap dalam truk, bahkan diperlakukan dengan kasar ketika memberontak. Namun, ketika diberikan kesempatan untuk kabur, Veera yang sudah berlari jauh kemudian kembali ke Mahabir. Pada babak berikutnya, Veera tak lagi terlihat sebagai sandera yang tersiksa. Ia banyak bicara, lebih ekspresif dan bersikap terbuka di hadapan Mahabir dan rekan-rekannya, yang notabene adalah penculiknya.
Veera menyadari, bahwa dengan mengikuti Mahabir, ia menjadi ‘bebas’.
Arti Kebebasan
Tanpa konteks, Veera menceritakan kisah masa kecilnya kepada Mahabir ketika mereka singgah di sebuah tempat. Saya ikut menangis dengan Veera ketika mendengar trauma pelecehan seksual yang ia bawa sejak masih sangat kecil. Kemudian, Veera melanjutkan,
Saya harus menghentikan film sesaat untuk menangisi betapa menyakitkannya dialog tersebut.
Veera, yang seharusnya mendapatkan perlindungan lebih dibandingkan orang biasa, justru menjadi korban di rumahnya sendiri. Dengan reputasi keluarga yang punya pengaruh besar di penjuru negeri, Veera harus bungkam dan menahan diri atas pelecehan yang dialaminya. Bahkan ibunya menolak untuk membela karena tragedi itu adalah aib bagi reputasi keluarga mereka.
Veera mengungkapkannya dalam kalimat, “The beasts are manners, culture, and respect. They are all around you. You have to survive among them.”
Pernyataan tersebut menyenggol sikap golongan elite, sekaligus masyarakat misogini yang sampai saat ini sering kali menutupi kasus pelecehan seksual karena mengutamakan citra. Mereka rela tutup mulut dan berdamai tanpa pernah menyinggung hukum. Sementara masyarakat, lebih asyik menilai tubuh perempuan dibandingkan memperjuangkan keadilannya.
Seakan-akan, perempuan selalu diberi harga atas tubuhnya. Nilainya pun ditentukan oleh norma yang digaungkan laki-laki hanya karena mereka tidak bisa menahan diri.
Patriarki tidak lagi menjadi sekedar ideologi. Patriarki adalah sikap, budaya, dan kehormatan yang diberikan pada laki-laki, namun terus menggerogoti jiwa dan mengoyak keadilan perempuan. Dan Veera, terjebak di antaranya.
Dari kisah Veera, saya memahaminya. “Bila aku adalah Veera, aku juga akan memilih bebas.”
Veera menjadi bebas saat ia pergi mengelana bersama Mahabir. Tanpa tujuan, tanpa arah. Ia dapat melihat bagian lain dari dunia yang tak pernah dilihatnya, menjalani hidup yang tak pernah dijalani sebelumnya. Film Companion menyebutnya dalam judul review mereka, a journey to free myself .
Veera tak lagi terjebak dalam rumah besar namun sesak dengan norma yang membungkamnya untuk bicara. Ia tak lagi terbelenggu dengan tali ‘kehormatan’ yang mengikatnya untuk menyelamatkan diri. Bahkan, pada adegan Veera mulai menikmati momennya dalam penculikan tersebut, saya tahu ia sedang melepaskan diri dari semuanya.
Rumah Sebenarnya
Veera dan Mahabir menjadi lebih dekat setelah mengetahui trauma masa kecil satu sama lain. Mereka berjalan bersama, menelusuri gunung, dan menempati rumah bersama. Secara genre, pakar film akan menyebutnya sebagai romansa, namun bagi saya, perasaan mereka lebih dari pada itu. Secure, mereka menemukan rasa aman dalam diri satu sama lain. Veera mendapat kebebasan bersama Mahabir, dan Mahabir mendapat kenyamanan bersama Veera. Ada lubang yang diisi penuh dengan kehadiran satu sama lain.
Ketika Veera ditemukan keluarganya dan kembali ke rumah, ia menyadari kebebasannya telah berakhir. Veera bercerita mengenai rumah yang ditinggalinya di gunung dengan Mahabir dan berkata pada keluarganya, “Now, I’m gone, I can’t come back,” seolah rumah di gunung itulah yang seharusnya ia tinggali, bukan rumah keluarganya di Delhi.
Di rumah keluarganya, ia harus menjadi putri yang penurut, perempuan yang terhormat, dan calon istri yang patuh. Ia juga harus menjadi keponakan yang bermuka dua, saat berhadapan dengan sang paman–sebagai pelaku utama.
Namun, Veera berontak dan menceritakan pelecehan yang dialaminya semasa kecil di hadapan seluruh keluarganya. Ayahnya terkejut, ibunya menghalangi, dan pamannya meninggalkan tempat. Meski telah mengungkapkannya dengan hati terkoyak, sang ayah memintanya untuk menjadi lebih sensible dengan keadaan. Perempuan itu pun tak terima.
Veera benar. Tumbuh sebagai anak perempuan, saya diminta untuk tidak membuka kaki terlalu lebar, tidak keluar rumah terlalu larut, dan berhati-hati dengan orang asing. Saya yakin, sebagian besar anak perempuan di Indonesia mendapat tuntutan yang sama.
Namun, yang mereka tidak tahu kekerasan seksual juga bisa terjadi di dalam rumah. KemenPPA (2024) memperlihatkan ada lebih dari 20.000 korban. Pada lingkup luar rumah, dalam survei pelecehan seksual di ranah publik yang dibuat oleh organisasi perEMPUan, persentase terbesar pakaian yang digunakan oleh 18% korban pelecehan seksual adalah rok dan celana panjang dan 35% kasus terjadi saat siang hari.
Fakta ini, menampik narasi laki-laki yang menentukan mana yang aman dan yang tidak aman bagi perempuan. Seakan lupa bahwa merekalah yang menjadi ancaman bagi perempuan.
Keberanian untuk Berjalan
Mungkin yang membuat saya terpikat dengan dengan Veera adalah keberaniannya.
0 comments