Belum ada kabar lebih lanjut soal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diabaikan hampir 20 tahun lamanya. Terhitung pada 30 September 2024, RUU PPRT disetujui untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Periode 2024-2029 oleh DPR RI. Sebelumnya, tahun 2023, RUU PPRT sudah pernah masuk ke dalam daftar RUU prioritas, namun belum juga disahkan sampai saat ini. Sementara itu, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) terus mendesak agar RUU ini segera disahkan agar PRT dapat memiliki perlindungan hukum dan pekerjaan mereka diakui secara formal oleh negara.
RUU PPRT pertama kali diusulkan pada tahun 2004 dan telah mengalami banyak penundaan. RUU ini sempat menjadi agenda prioritas dari tahun 2010 hingga 2014, tetapi mengalami kemandekan dan tidak dibahas secara signifikan sampai tahun 2023. Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, angka kekerasan terhadap PRT kian meningkat. Ini merupakan alasan mendasar mengapa RUU PPRT harus segera disahkan. Dari tahun 2017 sampai 2022, Jala PRT mencatat sebanyak 2.637 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT dan mencangkup berbagai bentuk kekerasan seperti fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Data terbaru dari Jala PRT, terdapat sekitar 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang tahun 2021 sampai Februari 2024. Jala PRT juga memperkirakan setidaknya ada sekitar 20 kasus kekerasan terhadap PRT terjadi per harinya.
Selama perjalanannya, RUU PPRT melalui sejumlah tantangan yang membuat pembahasannya cukup alot. Kita perlu memahami permasalahan ini terlebih dahulu dari konsep PRT sebagai bentuk kerja perawatan, sampai pada hal-hal krusial yang harus dibahas di dalam RUU PPRT.
Pekerja Rumah Tangga sebagai Kerja Perawatan

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengkategorisasikan kerja perawatan menjadi dua bentuk, yaitu kerja perawatan yang bersifat langsung dan tidak langsung. PRT termasuk ke dalam kerja perawatan tidak langsung, yaitu pekerjaan yang tidak langsung berhubungan dengan manusia seperti memasak dan membersihkan rumah. Silvia Federici, seorang feminis Marxis asal Italia, mendefinisikan kerja perawatan tidak hanya sebatas memasak dan membersihkan rumah, tetapi juga pelayanan bagi para pekerja (laki-laki dan perempuan yang bekerja di sektor formal), merawat anak-anak mereka, dan membuat mereka siap untuk bekerja setiap hari.
Secara tradisional, kerja perawatan seperti PRT dianggap sebagai “ranah perempuan” dan merupakan pekerjaan yang “tidak produktif” karena ia mengambil tempat di ruang privat sehingga berada di luar kerangka hubungan komersial. Selama berabad-abad pula, PRT yang merupakan kerja perawatan berbayar, menjadi sektor yang sangat feminin hingga saat ini. Mengutip Van Nederveen Meerkerk dkk. dalam Dewi & Widiyastuti (2023), PRT didominasi oleh perempuan yang berasal dari latar belakang miskin serta cenderung berasal dari etnis atau ras minoritas yang kesulitan untuk mengakses pasar kerja formal. Oleh sebab itu, PRT berada dalam posisi yang sangat rentan akibat dari karakteristik pekerjaannya.
Dalam konteks internasional, pengaturan tentang PRT merupakan hal baru. Pengakuan atas PRT baru muncul sejak 16 Juni 2011 ketika Konferensi Jenewa, di mana ILO mengadopsi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerja Domestik. Konvensi ini bertujuan untuk memastikan pekerjaan yang layak bagi PRT dan mendesak setiap negara untuk berpihak serta mematuhi standar-standar ketenagakerjaan tertentu dalam mempekerjakan PRT. Sementara itu, di Indonesia belum ada pertanda akan mengadopsi kebijakan yang mengarah pada ratifikasi atas konvensi tersebut. Padahal, pengakuan atas ekonomi perawatan (care economy) pernah dibahas saat Indonesia masih menjadi tuan rumah G20 tahun 2022 lalu.
Jalan Terjal RUU PPRT, Ada Benturan Kepentingan

Selama RUU PPRT belum disahkan, nasib hak PRT akan terus bergantung dengan aturan-aturan yang masih bersifat umum. Masalahnya, PRT merupakan pekerjaan yang paling rentan dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya sehingga memerlukan peraturan perundang-undangan nasional yang secara khusus mengatur pemberian perlindungan bagi mereka.
Permasalahan PRT erat sekali dengan relasi kelas dan gender yang timpang antara PRT dan pengguna jasa PRT atau majikan. Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak PRT akan berdampak pada kelompok sosial yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar. Hal ini tercermin dari komentar Teddy Gusnaidi selaku jubir Partai Garuda, ia berpendapat bahwa apabila RUU PPRT disahkan maka pengguna jasa PRT harus memberikan upah sesuai peraturan perundang-undangan yang memberatkan pengguna jasa PRT dan memutuskan untuk melepas atau tidak menggunakan lagi jasa PRT. Selain itu, dua partai besar di DPR yaitu Golkar dan PDI Perjuangan, pada 8 Desember 2022 justru menolak membawa RUU PPRT menjadi rancangan inisiatif DPR karena menganggap perlindungan PRT bukanlah permasalahan yang mendesak.
Seperti yang banyak disampaikan oleh para pengamat politik, institusi demokrasi dan hukum di Indonesia dibajak oleh kepentingan elitis pemerintahan dengan kekuatan ekonomi yang mengarahkan kebijakan publik sebagai sarana untuk mempertahankan keistimewaan kelas sosial mereka. Teddy Gusnaidi juga menganggap bahwa isu PRT bukanlah bentuk diskriminasi, ini merefleksikan adanya bias kelas dan bias gender antara kelompok elit ekonomi-politik dengan kelompok marjinal, yaitu kelompok perempuan PRT. Sementara itu, kelompok perempuan PRT itu sendiri tidak punya banyak akses dalam memengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan publik. Hal ini membuat RUU PPRT terus menerus terhambat proses pengesahannya karena terdapat benturan kepentingan antara dua kelompok tersebut.
Baca juga: RUU PPRT: Perwujudan Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
7 Permasalahan Krusial dalam RUU PPRT

Dewi & Widiyastuti (2023) merangkum tujuh permasalahan krusial yang seharusnya diatur di dalam RUU PPRT. Pertama, tentang kategori PRT atau bagaimana PRT didefinisikan. Merujuk pada makna PRT dalam naskah akademik, yaitu “kegiatan dalam mencuci alat rumah tangga, mencuci pakaian, mengasuh anak termasuk memandikan dan memberi makan, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, menyetrika pakaian dan berbelanja,” maka PRT dibagi ke dalam dua kelompok: (1) Jenis pekerjaan pokok dan tambahan, yaitu pekerjaan rutin yang dilakukan setiap hari, dan (2) Pekerjaan tambahan, merupakan pekerjaan insidental dan merupakan pekerjaan tambahan di luar pekerjaan pokok.
Kedua, tentang syarat dan kondisi kerja. Hal ini berkaitan dengan kondisi yang harus dipenuhi dalam hubungan pemberi kerja dan PRT, misalnya batas usia kerja yang seharusnya melarang untuk mempekerjakan anak. Syarat dan kondisi kerja juga berkaitan dengan permasalahan rekrutmen dan penempatan sehingga PRT yang dipekerjakan sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Mengingat adanya ketimpangan relasi kuasa dalam situasi pekerjaan PRT, hubungan kerja ini harus diarahkan pada formalisasi melalui persyaratan adanya perjanjian kerja. Dengan adanya surat perjanjian kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak diatur serta disepakati secara tertulis.
Ketiga, tentang pendidikan dan pelatihan PRT. Sebagai bagian dari masyarakat, PRT harus diberdayakan melalui pendidikan dan pelatihan yang secara resmi diatur dalam undang-undang. Pemberdayaan ini juga dapat dilihat sebagai bentuk pengakuan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki PRT. Keempat, tentang penyelesaian perselisihan. Hal ini berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadinya sengketa antara PRT dan pemberi kerja yang memerlukan pembentukan mekanisme penyelesaian perselisihan dengan tetap mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa yang ada.
Kelima, tentang pembinaan dan pengawasan. Berdasarkan yang tertera dalam naskah akademik, negara bertanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan PRT, melakukan pembinaan terhadap penyedia jasa PRT, dan melakukan sosialisasi dan evaluasi terhadap kebijakan perlindungan PRT. Pembinaan dan pengawasan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak memperhatikan dua aspek selanjutnya. Keenam, tentang informasi kerja dan penyedia jasa. Calon PRT berhak mengetahui kesesuaian rekrutmen, penempatan serta hak dan kewajiban yang akan diterima selama hubungan kerja agar tidak terjerumus dalam praktik perdagangan orang (human trafficking). Terakhir, tentang sanksi bagi penyalur jasa PRT. Penyalur jasa PRT tidak jarang yang memanfaatkan kelemahan sosial-ekonomi dan pendidikan PRT untuk mengeksploitasi mereka, sehingga pemerintah harus serius menangani persoalan ini dengan menjatuhkan sanksi bagi penyalur jasa PRT yang curang dan merugikan hak-hak PRT.
Pengesahan RUU PPRT sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumah tangga di Indonesia. Jika undang-undang ini terus mengalami penundaan, dampaknya akan sangat merugikan bagi jutaan pekerja rumah tangga yang hidup dalam kondisi rentan dan tidak aman.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Yogi Paramitha Dewi dan Y. Sari Widiyastuti (2023) yang berjudul "Urgensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Sebagai Pengakuan Atas Kerja Perawatan di Indonesia".
0 comments