Pada 18 Februari lalu, Perempuan Threads menghadiri acara seminar kolaborasi The Habibie Center dengan Mission of Canada to ASEAN bertajuk “TfGBV in the ASEAN Region and Pathways Towards Gender-Responsive Digital Cooperation in the Post-2025 Era”. Seminar ini bertujuan untuk memahami langkah-langkah yang diambil oleh ASEAN dan negara-negara anggotanya dalam menangani kekerasan siber berbasis gender sekaligus mengeksplorasi jalur kolaborasi lintas pemangku kebijakan dalam mitigasi serta penanganannya di lingkup ASEAN.
Seminar ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Nenden Sekar Arum sebagai Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yuyun Wahyuningrum sebagai Executive Director ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), dan Jaclyn Sim sebagai Senior Manager Cybersecurity Technical Training Blackberry Cybersecurity Center of Excellence, yang membahas secara komprehensif bagaimana kekerasan siber berbasis gender semakin merentankan posisi perempuan tanpa memiliki regulasi perlindungan yang jelas.
Oleh karena itu, sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekerasan siber, kita perlu memahami ragam istilah atau terminologi yang digunakan. Setidaknya ada tiga istilah umum yang sering digunakan, yaitu TfGBV, KBGO, dan KSBG. Pada konteks internasional, istilah TfGBV (Technology-facilitated Gender-Based Violence) lebih umum digunakan. Di Indonesia, kita lebih banyak mengenal istilah KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) dan KSBG (Kekerasan Siber Berbasis Gender). Meskipun berbeda, ketiga istilah tersebut tetap mengacu pada satu definisi; kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi. Namun, dalam artikel ini, Perempuan Threads memilih menggunakan istilah KBGO.
Baca juga: Panduan KBGO oleh SAFEnet
Kerentanan Politisi Perempuan di ASEAN terhadap KBGO
Ruang bagi perempuan untuk berkontestasi politik kini semakin terbuka lebar. Untuk menggaet suara, politisi perempuan juga menggunakan ruang digital untuk berkampanye. Sayang, dalam prosesnya, politisi perempuan di ASEAN kerap mengalami kerentanan dan bahkan berpotensi menjadi korban KBGO. Yuyun menjelaskan bahwa KBGO yang paling sering dialami oleh politisi perempuan adalah pelecehan digital dan disinformasi, sehingga membuat mereka terintimidasi dan teralienasi selama masa kampanye.
Bahkan, KBGO juga menjadi salah satu penyebab perempuan enggan berpartisipasi aktif dalam politik dan berdampak pada minimnya representasi perempuan. Hal ini juga melemahkan proses demokrasi, yang seharusnya membuka akses dan kesempatan bagi siapapun untuk berada dalam kontestasi politik dengan rasa aman dan nyaman.
Sayangnya, ASEAN sendiri belum memiliki kerangka kerja regional yang kuat untuk mengatasi KBGO. Sehingga, hal ini menjadi tantangan besar bagi negara-negara ASEAN untuk melakukan kolaborasi pencegahan dan penanganan KBGO pada kelompok rentan, khususnya politisi perempuan.
Memaknai Ulang Definisi Literasi Hak Digital
Sebelum menggunakan media sosial, miniminalnya setiap orang perlu memahami definisi literasi digital. Pemahaman ini bukan tanpa sebab karena inilah yang dapat menjadi panduan kita untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi digital. Kemampuan ini juga yang akan membuka kesempatan setiap orang untuk bebas berpendapat dan berekspresi di ruang digital. Namun, kebebasan ini dapat terancam karena maraknya praktik KBGO.
Oleh sebab itu, Nenden menekankan bahwa literasi digital saja belum cukup untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dari kekerasan. Hal ini karena ruang digital adalah dunia baru–yang tentunya berbeda dengan dunia nyata–sehingga perlunya perlindungan dan pemenuhan hak setiap warganet. Nenden berpendapat, hak digital ini mencakup hak untuk mengakses, menggunakan, dan menciptakan media digital, serta hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan akses internet.
Ia juga memaparkan hak-hak dasar tersebut tidak terbatas pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, hak digital penting untuk mendapat perhatian penuh pemerintah guna mengadopsinya ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah. Di sisi lain, Jaclyn memaknai hak-hak digital sebagai kesadaran tentang apa yang harus dibagikan dan tidak dibagikan ke internet, seperti bagaimana cara penyampaian jenis dan bentuk kontennya.
Itulah mengapa, perlu adanya literasi hak digital agar masyarakat memahami bahwa mereka memiliki hak-hak digital yang sepatutnya dilindungi. Sayangnya, belum ada definisi khusus untuk literasi hak digital dan ini merupakan poin menarik dari diskusi dalam seminar ini. Perempuan Threads memandang bahwa definisi literasi hak digital perlu segera disepakati bersama agar kerja-kerja kampanye dan advokasinya tepat sasaran serta tidak mengalami degradasi makna. Namun, pendefinisiannya harus dilakukan dengan mengeksplorasi kebutuhan keamanan perempuan dalam ruang digital yang sesungguhnya.
Yuyun pun mengajak kita untuk berefleksi tentang apa yang dimaksud dengan hak digital dan hal yang perlu diliterasi dari hak digital. Yuyun menganggap bahwa masih banyak dari kita yang menganggap remeh mengenai pernyataan “offline rights [that] should be respected online (terj. hak luring yang harus dihormati secara daring)”. Padahal, prinsip ini penting untuk memastikan bahwa hak asasi manusia, seperti privasi, kebebasan berekspresi, dan keamanan, tetap terlindungi di dunia digital.
Respons dan Aksi ASEAN dalam Menangani KBGO
Seperti yang disinggung sebelumnya, ASEAN belum memiliki kerangka kerja resmi dalam penanganan KBGO. Namun, ASEAN sudah mengenali kesetaraan gender dalam diskusi-diskusi mengenai transformasi digital, seperti “ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)”, yang mendiskusikan KBGO dengan fokus pelecehan digital yang dialami oleh aktivis HAM, politisi, dan aktor-aktor nonpemerintahan. Disusul oleh “ASEAN Digital Masterplan 2025”, yang mempromosikan lingkungan digital yang aman tetapi tidak secara eksplisit menyinggung KBGO.
Tak hanya itu, dalam publikasi bertajuk ASEAN Regional Plan of Action on The Elimination of Violence Against Women (2016), ASEAN juga telah menyebutkan bentuk-bentuk KBGO, walaupun belum mendiskusikan mekanisme penegakan hukum yang spesifik pada kasus KBGO.
Melalui usaha-usaha tersebut, diharapkan kesadaran warganet terhadap KBGO akan terus meningkat. Namun, Perempuan Threads menilai harus ada kerangka kerja yang kuat untuk menghadapi tantangan di tingkat regional. Seminar ini menunjukkan bahwa kolaborasi multi-pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, perusahaan teknologi, maupun komunitas sipil, sangat diperlukan untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman, khususnya bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Hal ini karena perjuangan ini tidak hanya bergantung pada kebijakan tingkat tinggi. Setiap individu juga bertanggung jawab dalam membangun literasi hak digital, melawan disinformasi, dan memperjuangkan ruang online yang bebas dari kekerasan.
0 comments