Minimnya Sensitivitas Gender dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Kekerasan seksual di perguruan tinggi memberikan pukulan telak bagi korban. Bagaimana tidak? Ruang belajar yang seharusnya aman bagi semua orang, dalam sekejap berubah jadi neraka. Meski telah terdapat payung hukum melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, nyatanya implementasi masih menghadapi berbagai tantangan.
Dalam banyak kasus, kekerasan seksual di perguruan tinggi melibatkan aspek relasi-kuasa yang tidak boleh ditanggalkan. Misalnya saja dosen, guru besar, atau staf kampus yang memiliki ‘kuasa’ lebih tinggi, merasa berhak untuk menindas para mahasiswa yang membutuhkan nilai atau bantuan mereka. Dan sayangnya, kasus seperti inilah yang masih sulit ditindak tegas oleh para universitas.
Relasi Kuasa Melalui Pengetahuan
Relasi kuasa sering kali menciptakan ketimpangan hubungan antara mahasiswa dan tenaga pendidik kampus. Dalam banyak kasus kekerasan seksual, relasi ini tak hanya ditentukan oleh jabatan formal atau status sosial, tetapi juga lokasi epistemik. Lokasi ini berkaitan erat dengan posisi seseorang dalam hierarki pengetahuan. Sebagai figur yang dianggap memiliki otoritas intelektual, dosen kerap menggunakan ‘pengetahuan’ sebagai cara membangun kedekatan yang memanipulasi lewat strategi akademik.
Baca Juga: Mengembalikan Makna Pendidikan, Menolak Pendidikan yang Hanya Menghitung Nilai
Hal tersebut bisa terjadi karena pengalaman seseorang tak pernah netral (knowledge is situated). Konsep tersebut, menurut Adrienne Rich dalam Notes Toward a Politics of Location (1984), menunjukkan situasi dan posisi dosen yang memiliki kuasa lebih dalam kedok pengetahuan. Misalnya, mahasiswa perempuan yang berada di bawah bimbingan dosen laki-laki, menempati posisi yang lebih rendah secara struktur dan epistemik. Sebab, sering kali intelektualitas mereka diremehkan.
Birokrasi kampus yang hierarkis pun turut melanggengkan ketimpangan ini. Mereka, masih kerap menempatkan dosen sebagai pemegang otoritas tunggal sehingga suara mahasiswa dianggap tidak valid. Terlebih bagi mereka yang merupakan korban kekerasan karena permasalahan dianggap terlalu personal.
Parsialnya Pemahaman Kajian Gender dan Maskulinitas
Budaya maskulin terlihat dalam cara institusi memandang isu kekerasan seksual. Penyelesaian kasus kekerasan seksual masih bertumpu pada regulasi, bukan dari kesadaran moral dan akademik. Kurangnya upaya preventif juga tercermin dari budaya akademik yang masih maskulin dan terlihat dalam kurikulum, riset, dan kegiatan kemahasiswaan yang belum sensitif gender. Isu kesetaraan dan kekerasan seksual umumnya hanya dibahas di fakultas sosial, sementara disiplin lain jarang mengintegrasikannya dalam pembelajaran.
Akibatnya, kesadaran kritis terhadap relasi kuasa dan kerentanan di kampus masih terbatas, membuat langkah pencegahan kekerasan seksual tidak berjalan menyeluruh. Padahal, sudah seharusnya perguruan tinggi bersifat interdisiplin dan humanistik. Karena menurut Sandra Harding dalam The Science Question in Feminism (1986), disiplin ilmu mengandung sudut pandang dan nilai yang membentuk sehingga ia tidak pernah netral. Jika kampus hanya memusatkan pembahasan isu gender pada satu bidang studi, ia justru memperkuat struktur patriarki yang menempatkan pengetahuan feminis di pinggiran.
Ditambah, pembahasan mengenai isu gender masih dipahami secara parsial. Masih banyak perguruan tinggi yang alergi terhadap term ‘gender’ karena dianggap menormalisasi LGBTQ+. Isu gender dipersempit sebatas relasi sosial antara laki-laki dan perempuan, padahal sejatinya ia menelaah bagaimana relasi kuasa itu bekerja. Sehingga, bisa menciptakan strategi preventif untuk mencegah kekerasan dan ketimpangan
Tidak Totalitasnya Penanganan Kekerasan Seksual
Dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 Pasal 18, dijelaskan bahwa kiat-kiat pencegahan kekerasan seksual juga mencakup pendidikan, pelatihan, dan penguatan kapasitas sumber daya manusia; terlebih dosen dan tenaga pendidik. Sayang, dalam praktiknya, banyak Perguruan Tinggi masih gagal dalam memberi pelatihan sensitivitas Gender Equality, Disability, dan Social Inclusion (GEDSI). Hal ini tercermin dalam siaran pers KOMNAS Perempuan (2021-2024) yang menunjukkan tingginya laporan dari Perguruan Tinggi.
Meskipun mayoritas Perguruan Tinggi telah memiliki satuan tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Kendati begitu, korban memilih untuk bungkam alih-alih melaporkan hal yang dialaminya, musabab respons dari Satgas PPKS yang kurang tanggap dan minim sensitivitas terhadap pengalaman korban. Bahkan, alih-alih memberikan perlindungan dan empati, beberapa justru memperlakukan kasus secara birokratis, sehingga korban kembali merasa disalahkan dan tidak aman untuk bersuara.
Baca Juga: Kuliah dalam Ketakutan: Kekerasan Struktural Berbasis Gender yang Membungkam Suara Minoritas
Berkaca pada kasus di kampus saya, Pusat Layanan Terpadu (PLT) masih buta dalam menentukan arah geraknya. Kerja-kerjanya hanyalah sebuah formalitas di muka umum, misalkan melalui seminar, yang sebenarnya tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk menyebarkan isu gender, terlebih kekerasan seksual. Ketika ada laporan pengaduan yang masuk, pihak PLT tidak cepat tanggap, yang kemudian membuat kepercayaan mahasiswa tergerus dan lebih memilih melaporkan kasus ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Kondisi serupa juga terlihat di perguruan tinggi lainnya. Misalnya, kasus kekerasan seksual di Universitas Riau (UNRI) dianggap tidak cukup kuat ditindaklanjuti jalur hukum, musabab tidak adanya saksi mata. Situasi ini memperlihatkan bagaimana sistem hukum dan lembaga kampus belum berpihak pada korban, sehingga menimbulkan ketakutan bagi korban lain untuk melapor. Sama halnya kasus kekerasan seksual di Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), ketika pelaku hanya diberi sanksi administratif. Padahal, hal ini tak cukup untuk memberikan keadilan bagi korban, meskipun institusi mengklaim telah memberikan langkah hukum yang tegas.
Baca juga: Sisterhood Mengajarkanku Cara Menjadi Rumah Bagi Perempuan Lain
Efek Domino dari Sistem yang Maskulinitas
Sukarnya penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak bisa dilepaskan dari sistem pembelajaran yang masih maskulin dan melanggengkan nilai-nilai patriarki. Budaya akademik yang hierarkis, kompetitif, dan berpusat pada figur otoritatif telah menciptakan efek domino yang menjalar ke berbagai lapisan. Mulai dari pola interaksi di ruang kelas, dinamika organisasi mahasiswa, hingga mekanisme penanganan korban kekerasan seksual.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan 63% korban kekerasan seksual di Perguruan Tinggi enggan melaporkan kasusnya. Sebagian besar diantaranya mengalami tekanan psikologis sehingga memutuskan untuk berhenti kuliah atau pindah kampus demi menghindari pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembelajaran yang maskulin secara tidak langsung menghambat hak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang aman.
Kehadiran Satgas PPKS pun belum sepenuhnya menjawab persoalan. Kampus sering kali menjadikan Satgas sebagai tameng administratif, seolah dengan dibangunnya Satgas selesailah tanggung jawab mereka. Padahal, dalam Pasal 8 dan 10, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual merupakan kewajiban seluruh pimpinan Perguruan Tinggi, yang perlu diwujudkan melalui kebijakan internal, perubahan kurikulum, dan pembentukan budaya akademik berperspektif gender.
Oleh karena itu, tidak seharusnya perguruan tinggi memosisikan Satgas sebagai tameng atau pelengkap administrasi semata. Jadikan mereka, dan seluruh civitas akademika sebagai mitra strategis untuk mengubah sistem pengetahuan dan nilai-nilai yang menopang kekerasan. Hanya dengan cara itu, kampus dapat benar-benar menjadi ruang yang aman, setara, dan berpihak pada korban, sehingga pencegahan kekerasan bisa hadir dari akar sistemnya.
Editor: Alifia Putri Yudanti
Ilustrasi: Ilmawan Suna
Social Media Kami