Pemikiran Pendidikan Perempuan dalam Pers Kolonial 1908-1928 sebagai Inisiasi Awal Gerakan Perempuan di Indonesia
Pemikiran Pendidikan Perempuan dalam Pers Kolonial 1908-1928 sebagai Inisiasi Awal Gerakan Perempuan di Indonesia
Pada masa kolonial, terutama di Jawa, perempuan tidak memiliki kebebasan untuk bersuara di muka umum dan memiliki keterbatasan dalam mengenyam pendidikan. Masyarakat Jawa saat itu masih menempatkan perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga tugas perempuan selalu dikaitkan dengan pekerjaan domestik. Sejak dulu, perempuan selalu dianggap sebagai “pembantu” laki-laki dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini menghambat perempuan untuk menyuarakan pemikiran dan aspirasinya serta membentuk perkumpulan dengan perempuan lainnya.
Seiring berjalannya waktu, situasi pun berubah. Abad ke-20, Van Deventer mengeluarkan ide pemikirannya yaitu Politik Etis. Melalui kebijakan ini, pemerintah Belanda menjadikan pendidikan sebagai salah satu solusi agar mereka mendapatkan tenaga administrasi yang murah dan cakap. Meskipun ada kepentingan politis para penjajah, kebijakan ini memungkinkan masyarakat Indonesia saat itu, termasuk perempuan, akhirnya mulai masuk ke dunia pendidikan. Para perempuan pribumi Jawa pun berkesempatan melakukan perbaikan dalam kehidupannya yang semula hanya berada di dalam rumah. Oleh sebab itu, para golongan elit perempuan pribumi Jawa berinisiatif untuk membuat pers sebagai media untuk menyuarakan gagasan mengenai pentingnya pendidikan untuk perempuan.
Dari Poetri Hindia, Sampai Poetri Mardika: Perjalanan Pers Perempuan Jawa di Masa Kolonial
Seperti halnya perjalanan menuju kemerdekaan, perjalanan pers perempuan Jawa di Indonesia pada masa kolonial juga melalui proses yang tidak sebentar.
Pada tahun 1908, R.A. Tjokroadikusumo mendirikan surat kabar bernama Poetri Hindia di Bandung. Poetri Hindia merupakan perintis surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang bertahan sampai tahun 1913. Setelah itu, muncul surat kabar perempuan bernama Wanito Sworo yang berasal dari Pacitan, Jawa Timur dan dipimpin oleh Siti Sundari. Menurut sumber primer dari Perpustakaan Nasional Pribumi, eksemplar terakhir Wanito Sworo ditemukan sampai tahun 1914 dan tidak ada kejelasan mengenai sampai kapan surat kabar Wanito Sworo berkembang di Indonesia. Menyusul Wanito Sworo, pada tahun 1914, surat kabar perempuan bernama Poetri Mardika. Sejak tahun 1920, Poetri Mardika juga tidak ada kejelasan tentang keberlanjutannya.
Para penggerak ketiga surat kabar tersebut sebagian besar adalah perempuan yang berasal dari golongan elit dan pernah menempuh pendidikan di Barat. Mereka berinisiatif menjadikan pers sebagai sarana praktis untuk menyebarkan misi pendidikan dan pengajaran untuk perempuan di Indonesia pada saat itu. Perempuan dari golongan elit ini juga menyadari bahwa perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Hal ini menjadikan pers dianggap sebagai suatu parlemen masyarakat, terutama perempuan, yang merefleksikan pengalaman dan perasaan perempuan serta berkontribusi pada perubahan.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, hampir semua organisasi perempuan menerbitkan surat kabar atau majalah sendiri sebagai media untuk membangun opini publik dan ditujukan sebagai cara untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka ke masyarakat yang lebih luas.
Kemajuan pemikiran perempuan pada masa kolonial pun dibuktikan dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia pertama kali yang diadakan di Jogja pada tanggal 22 Desember 1928.

Arah Gerak Pers Perempuan Jawa di Masa Kolonial
Menyoal fenomena pers perempuan yang mulai bermunculan, semakin banyak pula perempuan yang membentuk komunitas atau perkumpulan Mereka mulai menjajaki dunia baru di luar peran-peran domestik yang biasanya mereka geluti. Salah satu contohnya adalah Poetri Mardika, organisasi perempuan yang menekankan perjuangan perempuan pada perbaikan kedudukan sosial mereka dalam pernikahan dan keluarga. Organisasi ini menekankan peningkatan kecakapan perempuan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga melalui pendidikan dan peningkatan keterampilan khusus. Hal ini dimaksudkan karena kesadaran bahwa perempuan harus berpendidikan karena dianggap penting dalam mencetak generasi bangsa yang berkualitas.
Di sisi lain, semangat pendidikan untuk perempuan saat itu masih diwarnai pengaruh budaya patriarki. Tanggung jawab peran pengasuhan dan pengajaran kepada anak masih dibebankan kepada perempuan, sehingga perempuan dituntut berwawasan luas agar melahirkan anak yang cerdas. Perempuan dianggap harus cakap dalam mengerjakan tugasnya sebagai “ibu bangsa” dan membantu laki-laki untuk memajukan serta mensejahterakan bangsa Indonesia.
Meski demikian, kehadiran pers perempuan ini perlu kita apresiasi dan kita rawat perjuangannya. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan mulai menyuarakan aspirasi dan pemikiran kita tentang permasalahan perempuan melalui tulisan di media sosial, seperti halnya dulu perempuan Indonesia di masa kolonial menulis perjuangan mereka di surat kabar.
Tags:

Social Media Kami