Perempuan Tidak Harus Jinak: Mengulas Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (2020)
Sejak kecil, anak perempuan sudah dibentuk oleh standar moral orang tua, keluarga, dan masyarakat. Selama bertahun-tahun, ia dikonstruksikan untuk menjadi sosok ideal; tumbuh cantik, lemah lembut, sabar, dan penyayang. Tapi, jika ditelisik lebih jauh, standar itu adalah representasi kontrol sosial atas tubuh dan perilaku perempuan.
Namun, bagaimana jika anak perempuan yang sudah didambakan sesuai konstruk itu tidak sesuai dengan harapan? Karena tanpa sadar, narasi kepatuhan seperti di atas membentuk perempuan “jinak” sebagai norma, sementara yang dianggap “liar” dilabeli nakal atau rusak.
Ester Lianawati, lewat Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan (2020) berusaha menantang narasi jinak ini dengan menghadirkan metafora serigala betina. Ia digambarkan sebagai sosok yang liar, pelindung, dan bebas, bahkan bertransformasi sebagai simbol perlawanan.
Metafora Serigala Betina dan Perempuan Liar
Mengadopsi gagasan Clarissa Estés dalam Women who Run with the Wolves (1996) tentang arketipe wild woman, Ester hadir untuk mengkritisi serigala yang kerap diasosiasikan sebagai hewan buas. Padahal, melalui fakta biologis hingga kisah Romawi Kuno, dituliskan bahwa serigala betina adalah binatang penyayang dan pelindung tanpa harus mengekang anak-anak dan pasangannya.
Estés kemudian melihat serigala betina sebagai representasi perempuan ‘liar’. Namun, baik Estés dan Ester memaknai kata ‘liar’ ini bukan sebagai konotasi yang negatif. Liar berarti–perempuan menjadi sosok autentik, jujur terhadap diri sendiri dan orang lain, tak berpura-pura, tak gentar terhadap penolakan, mampu beradaptasi, serta mencintai dirinya sendiri.
Baca juga: 7 Rekomendasi Buku September Hitam Ingatan Pantang Padam
Bahkan, jika melihat dari sudut pandang lain, Mary Daly dalam Gyn/Ecology (1978) lebih keras dalam memaknai keliaran ini. Bagi Daly, perempuan liar adalah mereka yang menolak domestifikasi patriarki yang dilanggengkan melalui institusi (khususnya gereja). Ia menekankan ‘liar’ sebagai tindakan politis untuk keluar dari “penjinakkan” patriarki.
Sayangnya, keliaran ini bagi masyarakat patriarkal kerap dianggap mengancam sehingga dinilai harus ditekan. Karenanya, banyak perempuan yang tak menyadari pentingnya untuk memunculkan sisi ‘liar’ ini sebab takut dianggap tak sesuai norma.
Namun, Persoalan Serigala Ini Kompleks
Meski begitu, jika kita membicarakan persoalan patriarki, ia memiliki lapisan kompleks. Metafora serigala yang ditawarkan Ester menarik, namun jika dipertemukan dengan realitas patriarki yang berlapis–sosial-ekonomi, agama, hingga kelas, narasinya tampak tak selalu membumi. Tak semua perempuan mempunyai ruang aman untuk menjadi ‘liar’ atau bersuara lantang. Karena bagi sebagian perempuan, bertahan hidup saja sudah perjuangan besar.
Kita dapat melihat ‘keliaran’ ini dalam kerangka lain. Saba Mahmood dalam Politics of Piety (2005), misalnya, melihat perlawanan dalam diam dan kepatuhan. Misalnya, perempuan korban kekerasan yang memilih bertahan lewat kepatuhan dan saling memberi afeksi saat berkumpul dengan korban lain yang mengalami hal serupa. Dengan perspektif ini, kita bisa memahami bahwa “diam” atau “tunduk” bukan sekadar ketidakberdayaan, melainkan juga bisa menjadi pilihan strategis dalam konteks tertentu.
Karena itu, opsi Ester yang menekankan kemandirian dan keberanian personal terlihat utopis bila tidak disertai pemahaman atas keragaman cara perempuan berdaya. Selain mendorong setiap orang menemukan serigala dalam dirinya, penting juga untuk mengakui berbagai bentuk strategi lainnya. Sehingga, metafora serigala bisa menjadi lebih inklusif; tidak hanya milik perempuan yang punya privilese untuk melolong keras, tetapi juga mereka yang memilih cara lain untuk tetap bertahan hidup.
Menerobos Budaya Malu dan Tunduk, Lewat Kolektivitas Serigala Betina
Di Indonesia, budaya malu dan relasi kuasa sering membuat perempuan memilih diam, hingga menjadi naif. Terlebih, jika kita membicarakan persoalan kekerasan dengan sistem sosial dan hukum yang masih belum berpihak. Dalam situasi ini, menyuruh perempuan untuk selalu “melolong” justru berisiko menyalahkan korban yang sebenarnya sedang mencari cara aman untuk bertahan.
Di sisi lain, diam dalam kepatuhan budaya dan norma tentu tak bisa terus dibiarkan. Sebab, mereka akan terus melanggengkan ketidakadilan. Suara perempuan sering tak didengar karena bukan kepala keluarga atau keberaniannya sering dianggap melawan norma. Akibatnya, pengalaman kekerasan dan ketidakadilan kerap dianggap kasus pribadi, bukan masalah sosial yang struktural.
Baca juga: Membaca Ulang Tubuh, Kekuasaan, dan Perlawanan Melalui Perempuan di Titik Nol (2003)
Di titik inilah pentingnya membaca metafora “serigala betina” sebagai kekuatan kolektif. Lolongan ini tidak bisa berhenti sebagai suara individu yang sunyi, melainkan suara yang bersahutan. Sebagai pengingat bahwa pengalaman perempuan bukanlah kasus tunggal, tetapi realitas sosial yang dialami banyak orang.
Karenanya, kita perlu membentuk “serigala betina” dalam kawanan yang berisi jaringan solidaritas politik, dukungan antarperempuan, dan ruang aman ketika amarah dan luka tak lagi dianggap aib, melainkan suatu hal yang valid dialami manusia. Upaya ini diperlukan karena saya teringat kalimat menohok dari Ester, “ketika kita tetap diam, kita sedang mengajari generasi berikutnya bahwa menjadi korban adalah hal yang harus diterima.”
Menurut saya, karya Ester layak menjadi bacaan penting bagi siapa pun yang ingin melihat wajah perempuan secara utuh. Karena membacanya, berarti berani menelusuri ruang-ruang perempuan–amarah, intuisi, dan keberanian–yang kerap ditutup rapat oleh masyarakat. Dengan pendekatan psikologi feminis, ia mengingatkan kita bahwa keberanian untuk mendengar batinnya sendiri adalah bentuk perlawanan paling mendasar.
Membedah serigala dalam buku ini membuat saya semakin sadar bahwa perempuan memang tidak lahir untuk dijinakkan. Mereka berhak bergerak dalam ruang apa pun, selama hal tersebut membebaskan dirinya. Karena serigala betina yang ada dalam diri setiap perempuan bukan untuk ditakuti—melainkan untuk direngkuh, dicintai, dan dibebaskan.
Tags:

Social Media Kami