Tubuh Perempuan sebagai Objek: Kritik atas Industri Budaya dan Media
Objektifikasi tubuh perempuan bukan sekadar fenomena kultural, melainkan bentuk penindasan sistemik yang merefleksikan dominasi patriarki dalam industri budaya. Di dunia hiburan, media, dan iklan, tubuh perempuan kerap dijadikan komoditas untuk meraup keuntungan ekonomi. Dalam kacamata feminisme radikal, hal ini merupakan cerminan dari ideologi patriarki yang menguasai tubuh dan seksualitas perempuan serta menjadikannya objek konsumsi laki-laki. Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan kekuasaan struktural yang merampas otonomi tubuh perempuan dan mereproduksi subordinasi melalui wacana yang direproduksi oleh media dan institusi sosial.
Tubuh Perempuan sebagai Komoditas dalam Industri Budaya
Industri budaya, mulai dari media massa, hiburan malam, musik, hingga industri periklanan telah menjadi ruang yang subur bagi praktik komodifikasi tubuh perempuan. Dalam dunia yang dikendalikan oleh logika kapitalisme, tubuh perempuan dimaknai sebagai aset visual yang memiliki nilai tukar tinggi. Penampilan perempuan pun dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran untuk menarik perhatian publik dan meningkatkan keuntungan.
Hal ini terlihat dari dominasi citra perempuan dalam iklan produk kecantikan, pakaian dalam, hingga minuman energi, yang secara terang-terangan mengeksploitasi tubuh perempuan dengan menghadirkan standar kecantikan yang seksis dan mengobjektifikasi. Contohnya, iklan minuman berenergi yang menampilkan perempuan berpakaian minim sambil memamerkan tubuh ideal semata untuk menarik perhatian konsumen laki-laki, tanpa relevansi dengan produk yang dipromosikan.
Dalam Jurnal Perempuan (2016), tubuh perempuan sering kali diperlakukan sebagai objek pasif dalam industri pornografi dan media massa. Representasi perempuan dalam berbagai media tidak hanya memosisikan mereka sebagai objek pandang (the male gaze), tetapi juga menghilangkan agensi perempuan terhadap tubuhnya sendiri.
Feminisme radikal mengkritik hal ini, karena perempuan tidak dilihat sebagai subjek yang aktif dan berkehendak, melainkan sebagai objek yang dapat diakses, dinikmati, dan dimiliki oleh laki-laki. Kritik ini berakar pada pandangan bahwa patriarki menggunakan tubuh perempuan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi laki-laki dalam struktur sosial dan ekonomi. Komodifikasi tubuh perempuan bukan hanya soal eksploitasi visual, tetapi juga bentuk kontrol atas otonomi dan identitas perempuan, karena nilai perempuan diukur dari sejauh mana ia memenuhi standar estetika yang ditentukan oleh laki-laki dan pasar.
Seksisme dan Ideologi Patriarki sebagai Akar Penindasan
Feminisme radikal menegaskan bahwa akar dari penindasan terhadap perempuan terletak pada ideologi patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa atas tubuh yang mencakup fungsi reproduksi, seksualitas, dan peran keibuan perempuan. Ketubuhan perempuan yang seharusnya bersifat personal dan otonom, dalam ideologi patriarki justru dijadikan arena kontrol sosial yang sistematis. Itulah mengapa, patriarki bukan hanya struktur sosial, tetapi juga sistem nilai yang menormalkan dominasi laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Sistem ini memanipulasi institusi sosial seperti keluarga, agama, dan pendidikan untuk mereproduksi subordinasi perempuan secara terus-menerus.
Ketubuhan tidak lagi hanya milik perempuan itu sendiri, melainkan menjadi ranah publik yang dapat diatur, dikomentari, bahkan dieksploitasi. Mulai dari bagaimana perempuan "seharusnya" berpakaian, bagaimana tubuh ideal didefinisikan, hingga bagaimana peran seksual dan reproduktifnya diatur oleh norma sosial. Akibatnya, perempuan sering kali tumbuh dalam kondisi internalisasi nilai-nilai seksis yang membuat mereka merasa wajib memenuhi ekspektasi-ekspektasi patriarkal demi penerimaan sosial.
Perempuan dibentuk untuk meyakini bahwa nilai dirinya terletak pada kemampuan untuk menyenangkan laki-laki, baik secara fisik maupun seksual. Dalam sistem ini, perempuan diobjektifikasi tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh sistem budaya yang mengkondisikan perempuan untuk melihat dirinya sendiri sebagai objek. Dominasi laki-laki dalam masyarakat modern terus melanggengkan struktur seksisme, bahkan dalam bentuk yang kerap tidak disadari oleh perempuan itu sendiri.
Internalisasi ini menjadi pintu masuk bagi objektifikasi diri yang tidak disadari. Ketika perempuan mulai menilai dirinya sendiri melalui kacamata maskulin dan standar kecantikan yang dibentuk oleh budaya populer, tubuh mereka secara tidak langsung menjadi komoditas yang terus-menerus dievaluasi dan dipasarkan. Objektifikasi yang awalnya datang dari luar, akhirnya tertanam dalam kesadaran perempuan sendiri, yang membuat proses pembebasan menjadi lebih kompleks. Celakanya, kontrol atas tubuh perempuan tidak lagi sekadar berlangsung secara eksternal melalui institusi sosial, tapi juga secara internal melalui kesadaran yang sudah terstruktur oleh ideologi dominan.
Perempuan sebagai Objek Seks dan Posisi Tawar yang Rendah
Dalam masyarakat industri, banyak perempuan terjebak dalam kondisi tidak menyadari bahwa tubuhnya telah diobjektifikasi secara sistematis. Konten-konten visual dalam media dan iklan menciptakan normalisasi terhadap eksploitasi tubuh perempuan, yang membuat perempuan menerima kondisi tersebut sebagai bentuk ekspresi atau bahkan kebebasan. Padahal, dalam sudut pandang feminisme radikal, kebebasan tersebut semu karena masih berada dalam lingkup wacana patriarkal yang membatasi ruang otonomi perempuan.
Salah satu tokoh sentral feminisme radikal, Kate Millett dalam Sexual Politics, menyoroti bahwa ideologi patriarki secara aktif memperbesar perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk mempertahankan dominasi laki-laki. Perbedaan biologis yang sebenarnya netral, seperti kekuatan fisik atau peran reproduktif, dikonstruksi sedemikian rupa menjadi dasar bagi pembagian peran sosial yang timpang; laki-laki sebagai penguasa, perempuan sebagai yang dikuasai. Akibatnya, banyak perempuan menginternalisasi perasaan inferior ini, menganggap bahwa ketundukan adalah sifat alami mereka.
Internalitas ini diperkuat oleh institusi sosial seperti agama, pendidikan, dan budaya yang turut melanggengkan mitos superioritas laki-laki. Dalam banyak kasus, ketika perempuan berani menyimpang atau menolak norma patriarkal, mereka akan dihadapkan pada ancaman kekerasan, baik verbal, sosial, maupun fisik, sebagai bentuk kontrol. Hal ini menciptakan iklim ketakutan yang mendorong perempuan untuk “bermain aman”, memilih untuk patuh agar tidak menjadi sasaran kekerasan.
Contoh konkret dapat ditemukan dalam industri musik dangdut di Indonesia. Penelitian (Reni Ferlitasari, 2021) menunjukkan bahwa para penyanyi dangdut perempuan sering kali mengenakan pakaian yang menonjolkan bagian-bagian tubuh mereka sebagai strategi untuk menarik perhatian pasar. Penampilan ini bukan sepenuhnya pilihan bebas, melainkan strategi adaptasi terhadap tuntutan pasar yang didominasi oleh selera laki-laki dan media. Hal ini tidak hanya mencerminkan eksploitasi tubuh perempuan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya posisi tawar mereka dalam sistem industri hiburan. Demi keberlangsungan karier, banyak dari mereka merasa terpaksa mengikuti standar ini, yang sesungguhnya melanggengkan objektifikasi dan subordinasi yang mereka alami secara struktural.
Perspektif Teori Wacana dan Kekuasaan Foucault
Untuk memahami lebih dalam mengenai mekanisme kekuasaan dalam komodifikasi tubuh perempuan, Sandra Lee Bartky dalam Femininity and Domination: Studies in the Phenomenology of Oppression memberikan kerangka analisis yang kritis. Bartky mengembangkan konsep Michel Foucault tentang disiplin tubuh dalam konteks pengalaman perempuan, dengan menekankan bahwa kekuasaan patriarkal bekerja melalui internalisasi norma-norma feminitas.
Tubuh perempuan tidak hanya dikontrol secara eksternal, tetapi juga didisiplinkan dari dalam melalui proses sosial yang membuat perempuan mengawasi, menilai, dan menyesuaikan tubuhnya sendiri agar sesuai dengan standar kecantikan dan perilaku feminin yang telah dikonstruksi secara sosial.
Pada akhirnya, secara tak sadar, perempuan menjadi subjek yang sekaligus objek dari kekuasaan. Mereka belajar untuk mengatur cara berpakaian, berdandan, berbicara, bahkan cara duduk dan berjalan, bukan karena adanya paksaan langsung, melainkan karena telah terbentuknya kesadaran bahwa itulah satu-satunya cara agar dianggap "layak" secara sosial.
Disiplin ini begitu melekat hingga sering kali tidak disadari, dan justru dipersepsikan sebagai bentuk pilihan bebas. Padahal, seperti ditunjukkan Bartky, kebebasan tersebut bersifat semu karena lahir dari sistem pengetahuan dan nilai yang telah lebih dulu membentuk perempuan sebagai objek dalam tatanan patriarkal.
Dominasi Wacana dan Simbol Kekuasaan dalam Media
Media memainkan peran sentral sebagai kanal yang paling efektif dan "aman" dalam menyebarkan ideologi patriarkal. Lewat iklan, sinetron, reality show, hingga unggahan media sosial, media membingkai tubuh perempuan secara konsisten sebagai objek yang harus dinilai, diperindah, dan dipertontonkan. Ironisnya, karena hadir dalam format hiburan atau informasi sehari-hari, pengaruh media ini masuk dengan halus dan tidak disadari, terutama di tengah menurunnya daya kritis masyarakat terhadap pesan-pesan visual yang dikonsumsi setiap hari.
Akibatnya, banyak orang, termasuk perempuan sendiri, tidak menyadari bahwa cara mereka memahami dan memperlakukan tubuh telah dibentuk oleh logika komersial dan patriarkal yang merugikan. Representasi perempuan dalam film, televisi, dan media sosial kerap kali memperkuat pandangan bahwa tubuh perempuan adalah sumber hiburan dan kesenangan visual. Media kita pun masih kerap menampilkan tubuh perempuan dalam sudut pandang yang menjadikan mereka sebagai objek seksual.
Hal ini tidak hanya berdampak pada bagaimana masyarakat memandang perempuan, tetapi juga pada bagaimana perempuan memandang dirinya sendiri. Selain itu, wacana dominan ini juga mempersempit ruang gerak perempuan dalam kehidupan sosial. Ketika tubuh perempuan terus-menerus dievaluasi berdasarkan standar tertentu, perempuan akan merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi tersebut, bahkan dengan mengorbankan kenyamanan dan otonomi atas tubuhnya sendiri.
Menuju Kesadaran dan Perlawanan
Melalui kerangka feminisme radikal, penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tubuh perempuan bukanlah milik publik atau objek yang bebas dikonsumsi. Tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, yang memiliki hak penuh untuk menentukan bagaimana tubuhnya diperlakukan dan ditampilkan. Perlawanan terhadap objektifikasi tidak bisa hanya dilakukan pada level individu, tetapi perlu diimbangi dengan perubahan struktural dan budaya.
Kritik terhadap media, pembentukan wacana alternatif, serta penguatan posisi tawar perempuan dalam industri budaya merupakan langkah penting menuju kesetaraan. Edukasi gender yang kritis juga perlu ditanamkan sejak dini untuk membongkar mitos-mitos patriarki yang selama ini mengakar kuat dalam masyarakat.
Objektifikasi tubuh perempuan dalam industri budaya merupakan bentuk kekerasan simbolik yang melanggengkan ketimpangan gender dan kekuasaan patriarki. Karena, eksploitasi tubuh perempuan bukanlah sesuatu yang alami atau netral, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang perlu dibongkar. Mengembalikan otonomi perempuan atas tubuhnya adalah langkah fundamental dalam perjuangan menuju keadilan gender yang sejati.

Social Media Kami