Dilema Damsel in Distress: Peran Perempuan dalam Video Game

Dari kisah klasik, seperti Andromeda yang diselamatkan Perseus atau bahkan Putri Tidur yang menunggu pangeran datang membangunkannya, narasi tentang perempuan yang harus diselamatkan laki-laki telah hidup berabad-abad lamanya. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok pasif, seperti cantik, lemah, dan simbol kemurnian yang perlu dilindungi.

Bahkan, pola lama ini turut terbawa dalam budaya populer, khususnya video game. Era konsol seperti Nintendo dan Playstation, santer bertebaran permainan tentang pahlawan laki-laki yang menyelamatkan tuan putri sebagai formulanya. Dari situlah muncul kalimat familiar di layar awal permainan, “Ini peta dan senjatamu. Misimu hanya satu; selamatkan tuan putri!”

Alur seperti ini terbukti menjual karena menegaskan kembali peran tradisional yang sudah lama tertanam dalam imajinasi kolektif. Bahwa, laki-laki hadir sebagai penyelamat, sementara perempuan sebagai hadiah. Dalam ruang yang dipenuhi nilai hipermaskulinitas, perempuan jarang hadir sebagai karakter dengan agensi atau kekuatan sendiri. Mereka kerap dijadikan hadiah bagi player setelah menamatkan game, atau yang dikenal sebagai “damsel in distress”.

Baca juga: Membongkar Mitos Keperawanan yang Selama Ini Dibentuk Hegemoni Maskulinitas

Misi 01: Temukan & Selamatkan Tuan Putri!

Banyak game yang mereproduksi pola “damsel in distress ini, seperti Super Mario, Donkey Kong, maupun Dragon Quest. Tapi, yang paling populer dan sering merilis seri baru adalah The Legend of Zelda. Dirilis sejak 1986, game yang memperkenalkan konsep open-world dan eksplorasi nonlinear ini bahkan telah terjual sebanyak 170 juta unit di seluruh dunia.

Di The Legend of Zelda, kita berperan sebagai Link, pemuda gagah beratribut serba hijau yang membawa pedang dan perisai ke mana pun ia pergi. Link bertugas membasmi malapetaka yang ditimbulkan Ganon, sosok iblis yang mencemari kerajaan Hyrule. Di sisi lain, Zelda, sang ratu sekaligus simbol kebijaksanaan Hyrule, menjadi tandingan kekuatan Ganon. Namun setelah 100 tahun perang, kekuatan Zelda mulai melemah hingga akhirnya disandera. Dari situ, dimulailah perjalanan Link untuk menyelamatkan ratu yang menunggu di pucuk menara tua.

Membaca premis tersebut, terlihat jelas bahwa Zelda adalah contoh dari sosok damsel in distress dalam dunia game. Ia diculik oleh antagonis dan hanya bisa “menunggu” diselamatkan sang pahlawan. Kata “menunggu” jadi kunci, karena di situlah terlihat betapa Zelda tak punya kendali atas nasibnya sendiri. Persis, seperti yang dijelaskan Durrani (2022) ketika media kerap menampilkan perempuan sebagai sosok pasif.

Sebagai putri berambut pirang yang selalu tampil anggun dengan mahkota dan gaun panjang, Zelda digambarkan lemah lembut dan penuh keanggunan. Ia bagaikan citra perempuan ideal yang tak seharusnya melawan. Visualnya pun memantulkan standar kecantikan feminin yang kaku, dengan kulit putih, rambut lurus, dan wajah halus tanpa cela.

Sementara itu, Link hadir sebagai The Chosen One; pahlawan yang gagah, tangguh, dan memegang kendali penuh atas dunia di sekitarnya. Menurut Healey (2016), ia mewakili konsep digital boyhood, ketika laki-laki bisa menyalurkan rasa heroik dan kejantanan lewat aksi dalam game. Dan tanpa Zelda yang tersandera, cerita tentang Link tak akan pernah ada. Sebab, ia adalah alasan mengapa sang pahlawan memulai perjalanan.

Baca juga: "Keder Balike": Lagu Lama, Masalah yang Masih Sama

Misi 02: Temukan & Selamatkan Tuan Putri, Lagi!

Jika merujuk pada judul game, banyak yang mengira tokoh yang dimainkan bernama Zelda. Meski nama sang ratu terpampang nyata di judul, namun ia tak berarti apa-apa. Selama lebih dari dua dekade, Zelda selalu digambarkan nelangsa; diculik, dikutuk, dirasuk, bahkan disihir menjadi patung batu. Ia seperti sengaja disingkirkan dari panggung utama meski menjadi alasan utama cerita ini ada.

Kehadiran Zelda sebagai damsel in distress justru membuat sosok Link tampak semakin kuat. Semakin lemah perempuan, semakin besar pula heroisme laki-laki yang ditonjolkan. Link selalu diberi kekuatan baru, senjata lebih hebat, dan kemampuan lebih canggih untuk menegaskan perannya sebagai penyelamat sejati.

Bahkan, ketika teknologi dan grafis game ini terus berkembang, alur ceritanya tetap tak berubah. Ia terus berulang dalam kisah yang sama; menyelamatkan sang ratu, lagi dan lagi. Zelda pun kian tersisih, karena yang lebih menarik bagi pemain justru menjelajah dunia luas dan membasmi musuh, bukan menjemputnya di menara.

Dan, jika dikategorikan, kisah Zelda sendiri masuk dalam disposable woman, yaitu karakter perempuan yang hanya dimunculkan untuk memicu aksi sang pahlawan. Namun, damsel in distress tak berhenti di sana. Berdasarkan Curtis (2015), ada versi lain dari trope ini yang lebih tragis. Ialah mercy killed, ketika perempuan dibunuh demi kebaikan orang banyak, seolah hidupnya tak lebih dari alat untuk menggerakkan cerita, seperti Elizabeth dari Bioshock Infinite. 

Lalu stuffed into fridge, ketika perempuan mati di luar layar hanya untuk memunculkan rasa kehilangan dan amarah protagonis, seperti Mari dari OMORI. Kategori-kategori ini memperlihatkan satu pola besar bahwa dunia game masih kerap menempatkan perempuan sebagai objek pelengkap narasi maskulin. Entah itu objek keinginan, penderitaan, atau kematian.

Bahkan, damsel in distress hanyalah satu dari banyak wujud hipermaskulinitas dalam dunia game. Ada yang digambarkan sebagai sexual objects, yaitu karakter dengan tubuh berlebihan dan pakaian minim yang dirancang hanya untuk memanjakan pandangan pemain; invisible objects, sekadar NPC yang mengisi ruang tanpa punya peran penting; bahkan hatred objects, karakter yang sengaja dibuat menyebalkan agar pemain merasa terganggu.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis (MBG), Kedaulatan Pangan, dan Dampaknya Bagi Perempuan

Misi 03: Temukan & Selamatkan… Sang Pahlawan!

Jika merujuk kembali pada premis, sosok Zelda dulu sering dianggap sebagai karakter perempuan paling “beban” di dunia game. Namun, stigma itu perlahan memudar. Dalam The Legend of Zelda: The Wind Waker (2002), sisi hipermaskulin Link mulai luntur. Ia bukan lagi menjadi The Chosen One karena takdir, melainkan karena keinginannya sendiri untuk menyelamatkan Zelda. 

Zelda pun mendapat pengembangan karakter yang lebih kaya. Ia bukan sekadar menjadi putri yang menunggu, tapi penuntun yang membantu Link menemukan artefak dan membuka jalan petualangan. Seiring waktu, citra damsel in distress meluntur. Puncaknya hadir di The Legend of Zelda: Echoes of Wisdom (2024), ketika kita, sebagai player, akhirnya bisa bermain sebagai Zelda sendiri. 

Hal ini memperlihatkan; kali ini, bukan Zeldalah yang diselamatkan, melainkan ia hadir sebagai penyelamat. Zelda dalam seri ini memulai petualangan untuk menolong “Swordsman in Green”, sosok pahlawan laki-laki yang selama ini menjadi pusat cerita.

Konsep ini dikenal sebagai post-damsel narrative, yaitu saat karakter perempuan mengambil peran yang dulu hanya diberikan pada tokoh laki-laki. Dalam Echoes of Wisdom, Zelda tak hanya menyelamatkan seseorang, tapi juga seluruh kerajaan Hyrule. Setelah bertahun-tahun hanya menunggu di menara, kini sang putri akhirnya punya kendali penuh atas takdir dan dunianya sendiri.

Baca juga: Sydney Sweeney dalam Bayang-bayang Gaze yang Membelenggu

Misi [tamat]: Selamat! Saatnya Menerima Hadiah!

Terlepas dari dunia fiksi, kenyataannya, masih banyak yang memandang perempuan sebagai “hadiah” bagi laki-laki yang telah berjuang dan bekerja keras. Seolah-olah perempuan ada hanya untuk dijemput, dilamar, lalu menunggu di ujung perjalanan sang pahlawan. Padahal, perempuan juga memiliki agensi untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Mereka bisa bertindak, memutuskan, dan menyelamatkan diri tanpa harus menunggu siapa pun.

Karenanya, karakter damsel in distress secara tak sadar ikut memperkuat budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa. Pola semacam ini bisa membentuk cara pandang pemain terhadap dunia nyata; laki-laki selalu harus berperan sebagai penyelamat, sementara perempuan layak ditempatkan di posisi yang pasif. Tak heran, jika narasi game yang penuh ketimpangan peran gender dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang relasi, peran, dan nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai laki-laki sekaligus gamer, saya melihat trope damsel in distress ini sudah tak relevan. Karena perempuan bukan hanya hadir sebagai hadiah yang menanti di akhir level, melainkan sosok dengan kehidupan dan tujuan sendiri. Mereka juga bukan NPC yang bisa diabaikan setelah permainan selesai.

Jika ada penghargaan yang pantas diterima setelah perjuangan panjang, mungkin bukan berupa sosok putri di menara, tapi ucapan sederhana:

“Terima kasih atas kerja kerasnya. Aku bangga sekali padamu!”

0 comments

Leave a Comment