Hampir setiap harinya, diskursus Makan Bergizi Gratis (MBG) terus digulirkan. Program yang sejatinya bertujuan mengentaskan kemiskinan serta memenuhi gizi anak sekolah, balita, dan ibu hamil, berubah menjadi malapetaka. Lebih dari 10.000 korban keracunan terjadi hingga Oktober. Pantas, bila ia diklasifikasikan sebagai kejadian luar biasa yang harus terus dipantau pelaksanaannya.
Namun, pengawasan sipil saja tidak cukup. Melalui artikel ini, saya dan teman-teman Perempuan Threads, ingin kembali mengajak para pembaca untuk terus kritis dalam memaknai arti ‘pangan’ yang sesungguhnya. Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia, kami ingin memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan pangan dalam bentuk MBG, sebenarnya mencederai bagaimana sebuah sistem dan kedaulatan yang harusnya dikontrol tiap insan, maupun rumah tangga.
Benarkah MBG Memenuhi Janji Pangan untuk Semua?
Seperti yang kita tahu, proyek pemerintah cenderung berwajah populis; terlihat tulus, padahal isinya penuh akal bulus. Sebagai program dengan nol naskah akademik, MBG memperlihatkan bagaimana negara menggunakan topeng ini seakan-akan peduli pada perut rakyatnya. Mereka mengatur, menentukan, bahkan menyeragamkan gizi para kelompok sasaran.
Misi yang sudah Prabowo bawa sejak masa kampanye ini, ternyata merupakan cerminan dari gagasannya dalam Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022). Dalam tulisannya, Prabowo menekankan masalah gizi adalah persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan. Ia menyoroti kondisi anak di Nusa Tenggara Timur dan Jakarta yang terkena stunting. Baginya, ini berbahaya. Padahal, proyeknya jauh lebih mematikan.
Dibandingkan memperluas kedaulatan pangan keluarga, MBG justru memperkecil ruang kita untuk menentukan apa yang dianggap sehat, bergizi, dan layak. Semuanya, serba ditentukan dari atas (top-down) seolah gizi bisa diseragamkan dan selera bisa diatur lewat lidah yang sama. Dalam logika semacam itu, masyarakat di luar Pulau Jawa dikasihani karena belum pernah mencicipi burger, spageti, dan pizza.
Baca Juga: Bahasa Pejabat yang Tak Bermartabat dan Kerap Merendahkan Rakyat
Masalahnya, idealisme “bergizi” itu sering kali kandas di dapur. Di balik panci-panci besar, banyak pekerja MBG berhadapan dengan realitas yang menghantam. Tersendatnya pembayaran dan kejaran waktu penyajian, membuat mereka tak mampu berpikir ulang untuk menyiapkan menu lainnya. Maka, bahan pangan murah dan instan jadi solusi cepat—nugget, sosis, atau produk ultra-proses lain yang minim gizi, bahkan sulit dikenali komposisi sebenarnya.
Padahal, menurut konsep food sovereignty (kedaulatan pangan), hak atas pangan seharusnya tidak berhenti pada kenyang. Ia juga harus mencakup kebebasan menentukan makanan yang sesuai dengan nilai, lingkungan, dan cara hidup tiap keluarga. Sehingga, ia akan berdampak pada peningkatan kesehatan, kesejahteraan sosial, dan ketahanan komunitas. Ketika masyarakat memiliki kendali atas sistem pangannya, mereka cenderung mengonsumsi makanan yang lebih segar, beragam, dan sesuai dengan nilai serta lingkungan hidup mereka.
Pangan dalam Bayang-bayang Kuasa Negara
Alhasil, rakyat pun hanya menjadi objek yang diatur, bukan subjek yang menentukan. Seperti yang dikatakan Kabeer (2020) bahwa kebijakan semacam ini mencerminkan logika randomista. Artinya, kebijakan yang berorientasi pada eksperimen dan angka, bukan pemulihan hak dan agensi masyarakat. Akibatnya, pangan direduksi menjadi proyek birokratis, bukan ruang partisipasi.
Padahal, seperti ditekankan gerakan La Via Campesina, pangan seharusnya menjadi hak setiap orang. Hak untuk menentukan sendiri apa yang mereka tanam, masak, dan konsumsi sesuai dengan ekologi dan budayanya. Negara tak seharusnya mengambil alih peran dapur rakyat, kedaulatan itu perlahan memudar. Karena perlahan, ia dapat memperkuat ketergantungan struktural terhadap negara.
Namun, negara kita memang pandai bersilat lidah agar proyek ini tetap berjalan. Dalam siaran pers Badan Gizi Nasional, Ketua Dewan Energi Nasional, Luhut Pandjaitan menegaskan MBG dirancang untuk memperkuat ekonomi lokal dengan memberdayakan petani, peternak, dan pelaku UMKM. Diperkirakan, MBG mampu meringankan beban rumah tangga miskin hingga Rp300.000–Rp500.000 per bulan, sekaligus membuka peluang bagi UMKM dan petani lokal untuk masuk dalam rantai pasok pangan sekolah. Klaim yang terdengar ideal, namun realitasnya jauh dari kata layak.
Rantai pasok MBG justru dikuasai oleh segelintir pemasok besar yang memiliki akses politik dan modal lebih kuat. Keuntungan ekonomi terkonsentrasi pada kelompok tertentu, sementara petani kecil dan pelaku UMKM lokal tetap berada di pinggir distribusi. Melihat fenomena ini, MBG justru memperdalam ketimpangan dalam sistem pangan nasional karena ternyata yang berdaulat bukan masyarakatnya, melainkan negara dan korporasi.
Hilangnya Agensi Perempuan Karena Militerisme Pangan
MBG tak ubahnya wajah baru dari apa yang disebut McMichael (2009) sebagai rezim pangan. Sebuah sistem yang menempatkan pangan bukan sebagai hak dasar manusia, melainkan sebagai instrumen kuasa politik dan ekonomi. Ironisnya, hal itu semakin terlihat jelas ketika TNI AD dikirim ke Singapura untuk belajar memperkuat implementasi, seolah urusan makan sipil harus diatur lewat militer. Sementara perempuan, hanya dijadikan ‘alat’ politik agar proyek ini terus bergulir.
Baca Juga: Prabowo Penuh Omon-Omon: Menagih Janji Presiden Terhadap Pengesahan RUU PPRT
Dalam masyarakat patriarkal, perempuan menjadi aktor terpenting dari keberlangsungan kedaulatan pangan keluarga. Mereka kerap menjadi juru kunci untuk menentukan apa yang dimakan oleh pasangan dan anak. Mereka juga diminta memastikan anak-anak makan bergizi, tapi tak diberi ruang untuk menentukan sumber dan bentuk pangan itu sendiri. Ditambah, mereka seperti tak pernah dilibatkan dalam implementasinya secara strategis.
Belum lagi, beban kerja perempuan bertambah berat karena harus menanggung beban negara yang lepas tangan. Para ibu, bukan hanya kehilangan hak menentukan makanan anak, tapi juga dipaksa menanggung risikonya. Di Brebes, mereka bahkan harus menandatangani surat pernyataan akan bertanggung jawab jika anaknya keracunan MBG. Hal ini adalah bentuk pemindahan tanggung jawab dari negara ke individu. Posisi perempuan pun dilemahkan karena mereka dikontrol oleh sistem, dan tetap dimintai tanggung jawab atas hasilnya.
Perempuan juga terdampak secara ekonomi. Desi, seorang pedagang kantin sekolah yang terdampak MBG, menuturkan tetap harus memberi uang saku sebab anaknya belum menerima program. Sementara Yanti, seorang kepala keluarga, mengaku tak punya keahlian lain. Ia mulai berpikir untuk menjadi pekerja rumah tangga jika penjualannya terus menurun. Kebijakan yang digadang sebagai “penolong rakyat kecil”, justru menyingkirkan perempuan dari ruang ekonomi.
Lantas, Bagaimana Kedaulatan Pangan Seharusnya?
Ironisnya, Prabowo sendiri menulis bahwa Indonesia adalah negeri kaya sumber daya alam dan manusia. Artinya, negara seharusnya bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Namun, pengakuan atas kekayaan itu sirna ketika negara justru menyeragamkan cara makan rakyat. Padahal, yang seharusnya dibenahi bukan penyediaan pangan, melainkan sistem akses terhadap pangan itu sendiri.
Misalnya, memperkuat rantai pasok lokal yang saling terhubung antara petani, pasar, dan dapur keluarga. Petani menanam bahan pangan sesuai musim dan kebutuhan daerahnya, sekolah dan koperasi membeli langsung hasil panen mereka, sementara rumah tangga akan mengolahnya menjadi makanan bergizi bagi anak-anak.
Sisa bahan pangan pun bisa diolah kembali menjadi pupuk atau pakan ternak, yang lalu dikembalikan ke lahan pertanian. Bukan seperti MBG yang justru menumpuk sampah makanan sisa karena target sasaran enggan memakannya. Sementara pemerintah, cukup berperan sebagai fasilitator yang menyediakan infrastruktur, memastikan harga adil, dan menjamin akses bagi semua. Dalam sistem yang berputar semacam ini, pangan pun akan tumbuh dari gotong royong masyarakat itu sendiri.
Baca Juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan
Sebagaimana diingatkan Keske (2021), kedaulatan adalah prasyarat keberlanjutan pangan. Tanpa kendali lokal dan kemandirian komunitas, rakyat hanya akan terus bergantung pada sistem yang menyerupai kolonialisme pangan. Jika benar Indonesia ingin berdaya, ia harus dimulai dari meja makan keluarga. Sebab, bangsa yang berdaulat bukan diukur dari banyaknya makanan gratis yang dibagikan, tetapi dari sejauh mana rakyatnya punya kuasa atas pangan yang mereka makan setiap harinya.
0 comments