Cantik Menurut Siapa? Membongkar Label “Eksotis” pada Warna Kulit Perempuan

Saya sering kali mendengar komentar, “Cantik banget kulit sawo matangnya, eksotis gitu.” atau “Eksotis banget. Idaman bule-bule ini mah.” terhadap perempuan berkulit lebih gelap. Istilah ini, terlalu sering digaungkan hingga kerap jadi standar pujian yang dilekatkan untuk perempuan dari Asia Tenggara, Pasifik, hingga Afrika. Artis seperti Tara Basro atau Ayu Gani, misalnya, lebih dari sekali disebut ‘eksotis’ oleh media hanya karena warna kulitnya.

Kalimat yang sekilas terdengar seperti pujian itu ternyata menyimpan makna yang jauh lebih rumit. Kata “eksotis” kerap dilekatkan pada perempuan dengan kulit sawo matang atau gelap. Seolah kecantikan mereka hadir karena ‘berbeda’. Saya pun bertanya-tanya: kenapa cantik berkulit gelap selalu butuh embel-embel ‘eksotis’? Mengapa tidak cukup disebut cantik, sama seperti perempuan berkulit ‘putih’?

Eksotisme sebagai Colonial Gaze yang Masih Hidup

Akar dari eksotisme yang berlanjut hingga kini tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Selama masa penjajahan, tubuh orang Indonesia sering kali dijadikan objek tatapan oleh kolonial (colonial gaze). Segalen dalam Essay on Exoticism (1978) menyebut eksotisme sebagai bentuk voyeurisme, yakni melihat kelompok “yang lain” dengan rasa ingin tahu sekaligus superioritas. Dengan pandangan ini, perempuan Indonesia diposisikan sebagai objek konsumsi visual dan seksual, bukan manusia setara.

Dalam arsip kolonial Belanda, banyak lukisan, foto, atau cerita perjalanan yang menampilkan perempuan Jawa dengan kain jarik atau bertelanjang dada sebagai “pemandangan eksotis”. Protschky (2008) menjelaskan bahwa representasi kolonial sering mengaitkan objek tropis dengan erotika dan eksotisme, sehingga perempuan Indonesia diposisikan sebagai salah satu bagian dari objek tersebut. 

Baca Juga: Antara Rasa Bersalah dan Tubuh yang Menjerit: Dilema Seksualitas Istri dalam Pernikahan

Tubuh mereka dikonstruksikan sebagai simbol tropis, yakni indah, liar, namun tidak setara. Pandangan itu membekas hingga hari ini dalam bentuk colorism yang mengakar di masyarakat. Tanpa sadar, mereka membuat hierarki warna kulit yang menempatkan putih sebagai superior, dan kulit gelap sebagai variasi yang hanya menarik bila sesuai narasi tertentu, misalnya terlihat terawat atau glowing

Suryakusuma melalui konsep “ibuisme negara” menunjukkan bagaimana negara ikut membentuk penampilan perempuan ideal, yang dianggap mewakili kehormatan keluarga dan negara. Sejalan dengan nilai tersebut, kulit cerah diasosiasikan dengan kerapihan, kehormatan, dan citra keluarga baik-baik. Sebaliknya, kulit gelap dengan “eksotis” adalah upaya untuk menyingkirkan kulit gelap dari standar utama, meski dibungkus dengan kesan apresiasi.

Kapitalisme dan Industri yang Memperkuat Bias Warna Kulit Hingga Kini

Label “eksotis” pun dipelihara oleh kapitalisme hingga kini. Naomi Wolf dalam The Beauty Myth (1990) menyebutkan bahwa standar kecantikan adalah alat kontrol yang membuat perempuan sibuk dengan tubuhnya sendiri. Kontrol ini tidak berhenti di ranah personal, tetapi merembes ke ranah sosial-ekonomi. Bonnie Berry dalam Beauty Bias (2007) menambahkan, diskriminasi berbasis penampilan berimplikasi langsung pada akses kerja, pendidikan, dan mobilitas sosial perempuan.

Diskriminasi ini membuka potensi bagi industri kosmetik untuk melebarkan sayapnya secara besar-besaran. Pada era 1990 hingga 2000-an, iklan sabun dan lotion pemutih kulit di Indonesia gencar mempromosikan “putih itu cantik”. Siaran televisi dipenuhi narasi bahwa kulit gelap harus “diatasi” dengan serum, krim, atau sabun cuci muka tertentu. Tagline seperti “kulit putih bersinar” atau “cerah dalam tujuh hari” membentuk persepsi bahwa kulit gelap adalah masalah yang harus segera diatasi.

Belakangan, muncul juga iklan di media sosial yang menampilkan model berkulit sawo matang dalam setting tropis. Namun, tetap menekankan perawatan kulit supaya menimbulkan efek sun-kissed. Artinya, kulit gelap baru dianggap cantik jika memenuhi syarat tertentu, seperti tetap bersih dan berkilau. 

Begitu pula dalam industri pariwisata yang menjual citra perempuan tropis dengan kulit sawo matang untuk dipromosikan bagi konsumsi turis asing. Di sini pun terlihat paradoks yang nyata bahwa di pasar domestik, kulit gelap ditekan dan dipaksa memutih, sementara di pasar global, kulit yang sama dieksploitasi sebagai daya tarik.

Baca Juga: Menentang Standar Kecantikan yang Dibentuk Media: Menerima Diri dan Merayakan Keberagaman

Standar yang diperkuat oleh industri kecantikan juga berdampak hingga pada media hiburan. Banyak artis perempuan berkulit gelap dipuji bukan karena prestasinya, melainkan karena “eksotisme” penampilannya. Hal serupa juga tampak di industri fashion internasional, yang memasarkan model Asia atau Afrika sebagai ‘wajah baru’, namun tetap memandang mereka sekadar unik dan berbeda agar bisa ‘dijual’.

Ketika Kulit, Gender, dan Kelas Bertemu

bell hooks dalam Black Looks: Race and Representation (1992) mengkritik bagaimana standar kecantikan global selalu menempatkan perempuan kulit berwarna sebagai other (yang lain). Hal serupa tampak dalam Primisata, dkk. (2016) yang menunjukkan tubuh perempuan dalam video musik Indonesia diperlakukan sebagai komoditas visual. Dengan kulit terang sebagai norma dan kulit gelap hanya hadir sebagai variasi. 

Kelas sosial pun turut memperkuat bias yang ada. Orang-orang kelas menengah ke atas kerap memandang perempuan berkulit gelap dari kelas bawah sebagai “kurang terawat” atau “jarang mandi”. Ironi makin kontras jika dilihat dari standar kecantikan Barat, tren tanning dipromosikan sebagai simbol gaya hidup glamor, liburan tropis, atau status sosial tinggi. Kulit gelap pun akhirnya diadopsi sebagai fashion semata, sementara perempuan kulit gelap dari lahir dipandang ‘rendahan’.

Kontradiksi ini menegaskan bahwa warna kulit tidak pernah sekadar persoalan estetika, melainkan persoalan kuasa dan kelas. Hierarki ini menunjukkan bagaimana warna kulit juga berkaitan erat dengan klasisme. Semakin rendah kelas sosial seseorang, semakin besar kemungkinan kulit gelapnya dipandang negatif.

Menggeser Cara Pandang Lama dengan Menghindari Pujian Berbalut Bias Warna Kulit

Bahaya dari istilah “eksotis” bukan hanya ada pada ranah wacana atau iklan, tapi juga pada bagaimana perempuan memandang harga dirinya. Perempuan yang tumbuh dengan label ini sering merasa harus terus membuktikan diri; cantik dengan syarat tertentu. Perempuan belajar sejak dini bahwa tubuh mereka adalah sesuatu yang harus ‘dipoles’ atau ‘diperbaiki, sehingga terus menerus berfokus pada kondisi fisik dibandingkan potensi dan prestasi yang ada. 

Identitas perempuan pun direduksi menjadi warna kulit, bukan karya, intelektualitas, atau kepribadian. Istilah ini turut menjaga keutuhan status quo dengan kulit terang sebagai standar yang normatif, sementara kulit gelap sebagai ‘selingan’ yang sesekali mendapat pujian. Selama hierarki itu tidak dipertanyakan dan dihentikan, banyak perempuan yang akan terus hidup dengan standar yang bukan milik mereka.

Baca Juga: Hari Ini dan Esok: Mengenang Kartini di Luar Balutan Politik Kebaya ala Orde Baru

Menggeser cara pandang berarti berhenti melabeli perempuan dengan istilah yang mengandung bias tertentu. Perempuan tidak berutang cantik pada siapa pun, apalagi pada standar kolonial-kapitalis yang merendahkan. Yang perlu diakui adalah keberadaan mereka sebagai subjek penuh yang memiliki suara dan kualitas setara. 

Mungkin banyak orang yang masih menganggap kritik pada istilah eksotis terlalu sensitif. Namun, selama kita masih menganggap pujian ini netral dan menormalisasinya, diskriminasi akan terus bersembunyi di balik kata-kata manis. Sudah saatnya kita berhenti menyebut perempuan “eksotis” seolah-olah mereka adalah objek langka yang harus dikagumi secara fisik. Sebaliknya, keberagaman harus diapresiasi tanpa hierarki dengan cukup mengakui kecantikan perempuan apa adanya, tanpa standar manapun. 

0 comments

Leave a Comment