Dalam budaya patriarki, perempuan dan kata “malam” sering diasosiasikan negatif, seolah-olah malam adalah waktu yang berbahaya dan tidak tepat untuk perempuan berkeliaran. Jika perempuan berada di luar rumah pada malam hari, ia sering dicap sebagai “perempuan malam” atau “kupu-kupu malam” yang kemudian dikaitkan dengan citra yang buruk atau tidak bermoral.
Pemberian stereotip seperti ini adalah usaha penguncian gerak perempuan yang mengakar dalam norma-norma sosial yang telah terbentuk dari kekuatan patriarki. Saya sendiri pernah dibatasi ruang geraknya karena cukup sering pulang malam. Walaupun Mama tidak protektif berlebihan, namun ia tetap beberapa kali menyampaikan keresahannya terkait waktu pulang yang terlalu larut.
Bahkan, sesekali Mama juga memberikan larangan untuk tidak pulang malam. Larangan ini bukan tanpa alasan karena Mama khawatir akan keamanan dan keselamatan saya. Padahal, saya tidak masalah untuk berjalan kaki sendiri dari halte ke rumah. Saya pun pernah sampai rumah hingga pukul setengah tiga pagi—waktu termalam saya—dengan selamat.
Kompleksitas “Malam Hari” bagi Perempuan
Sayangnya, waktu malam menjadi permasalahan yang kompleks bagi perempuan. Pemerintah Tangerang pada 2006 sampai repot-repot membentuk Perda untuk merazia perempuan yang berkeliaran. Begitu pula organisasi masyarakat di Aceh Utara yang menyerukan larangan untuk anak-anak dan perempuan; anak-anak haram tanpa orang tuanya, perempuan haram tanpa mahram-nya.
Kebijakan yang tidak solutif tersebut justru semakin mengunci ruang gerak perempuan di ranah publik dan terus menarik mereka untuk aktif di ranah privat. Namun, jika merenungkan kembali bagaimana perkataan Mama sekaligus kebijakan di Tangerang atau Aceh, kekhawatiran mereka adalah hasil budaya yang telah mengkonstruksi malam sebagai waktu berbahaya bagi perempuan.
Baca Juga: Melawan Hagsploitation: Reklaim Narasi Perempuan yang Menua di Film Horor
Padahal, ancaman terbesar yang dihadapi perempuan bukan karena mereka berada di luar saat malam hari, melainkan ketakutan terhadap laki-laki yang kerap menjadi pelaku kejahatan. Meskipun berdalih pada keamanan, larangan dan kebijakan tersebut membatasi ruang gerak perempuan dan tidak menargetkan pelaku utama.
Patriarki yang Mengurung Perempuan dalam “Malam”
Menurut Cixous dalam The Newly Born Woman (1986), budaya patriarki membangun biner hierarkis yang mengurung perempuan ke dalam citra negatif. Ia menggambarkan bagaimana sistem patriarki mengonstruksi perempuan sebagai “the dark continent” (benua gelap) yang sulit dipahami dan asing dalam pandangan laki-laki.
Bagi Cixous, konsep ini mengungkapkan cara perempuan direpresikan dalam sistem yang menempatkan mereka sebagai “yang lain” terutama dalam konteks simbol siang dan malam. Laki-laki diasosiasikan dengan terang, kekuatan, dan kebenaran, sementara perempuan erat kaitannya dengan kegelapan, ketidakpastian, dan kelemahan.
Posisi ini lantas memberi celah bagi budaya patriarki untuk membatasi perempuan, terutama pada malam hari, yang dikaitkan dengan kekuatan gelap atau destruktif sehingga mereka harus “dijinakkan” atau “dikendalikan”. Persepsi ini terlihat dalam bagaimana perempuan yang keluar malam dicap dengan istilah-istilah negatif, seperti “perempuan malam” atau “kupu-kupu malam”.
Kata-kata ini memperkuat asumsi bahwa malam adalah ranah yang tidak layak bagi perempuan yang “baik”, padahal laki-laki jika keluar rumah tidak pernah mendapat stigma buruk seperti itu. Justru, mereka akan dipandang lebih hebat karena dianggap “pekerja keras” sebab pulang larut untuk mencari nafkah.
Hal ini pun akhirnya menciptakan dualisme yang kuat antara “perempuan baik” yang beraktivitas pada siang hari dan “perempuan nakal” yang berada di luar pada malam hari. Dualisme ini tidak hanya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap perempuan, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang membatasi kebebasan perempuan dalam mengakses ruang publik.
Perempuan Malam yang Dianggap Melanggar Peran Tradisional
Ketika perempuan berada di luar pada waktu malam, mereka dianggap melanggar peran tradisional sebagai “penjaga rumah” atau keluar dari karakter femininnya yang lembut dan terkendali. Hal ini menegaskan perempuan sebagai sosok yang harus tetap dalam ruang dan waktu “terang” karena dianggap aman, sementara malam adalah kondisi yang gelap dan terlarang bagi perempuan.
Oposisi biner ini menciptakan ketidakadilan akses bagi perempuan ke ruang publik pada waktu tertentu dan mereduksi perempuan sebagai sosok yang terus-menerus membutuhkan perlindungan. Padahal, seperti yang saya lihat sendiri saat pulang menggunakan Transjakarta, masih banyak perempuan yang beraktivitas hingga larut malam bukan sebagai bentuk pembangkangan, melainkan karena kebutuhan.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya kontradiksi di lapangan dengan kebijakan larangan keluar malam. Kebijakan semacam itu justru memperkuat asumsi bahwa perempuan yang ada di ruang publik malam hari adalah ancaman yang perlu diawasi. Perempuan PSK yang bekerja di malam hari sering kali tidak memiliki pilihan karena faktor ekonomi.
Sayangnya sistem patriarki membuat mereka dilihat sebagai bagian dari sisi “gelap” masyarakat yang dianggap harus dikontrol. Kebijakan yang hanya merazia, tanpa mengatasi masalah kemiskinan atau keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang layak, tidak menyelesaikan akar permasalahan dan malah menghukum perempuan yang sudah termarginalisasi.
Mari Kembali Merebut “Malam” yang Aman
Banyaknya perempuan yang beraktivitas di malam hari dapat dibaca sebagai salah satu cara untuk mendobrak konstruksi patriarkal yang mengekang mereka dalam stereotip tertentu. Melalui konsep Cixous soal écriture féminine atau “tulisan perempuan”, perempuan diberi jalan untuk menuliskan ulang pengalaman mereka di malam hari tanpa harus tunduk pada stigma dan mitos patriarkal–seperti yang saya lakukan sekarang.
Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Ibu dan Anak di Bandung: Wajah Femisida Struktural
Namun, penulisan feminis saja tidak cukup tanpa dukungan struktural. Seruan kepada pemerintah perlu digalakkan agar hak warga negara benar-benar dipenuhi, terutama dalam penyediaan fasilitas publik yang aman, transportasi umum yang nyaman, serta kebijakan yang berpihak pada perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Upaya ini sangat penting karena kelompok-kelompok tersebut masih sering menjadi korban kejahatan di ruang publik, sehingga mereka bisa beraktivitas di malam hari tanpa dihantui rasa takut.
Selain itu, kampanye sosial dapat menjadi solusi lain untuk mengubah norma dan budaya patriarki yang masih mengakar. Kampanye ini tidak hanya menargetkan perempuan, tetapi juga melibatkan laki-laki dalam menciptakan ruang publik yang aman. Fokusnya bisa diarahkan pada pendidikan tentang batasan-batasan interaksi sosial, penghormatan terhadap privasi, serta kesadaran bahwa keselamatan bukan hanya tanggung jawab perempuan.
Dengan begitu, perempuan tidak lagi terpenjara oleh label-label negatif yang mengekang mereka. Harapannya, perempuan juga dapat menikmati hak yang sama untuk berada di ruang publik kapan pun mereka mau—tanpa rasa takut, stigma, dan harus tunduk pada konstruksi patriarki yang sudah terlalu lama mendominasi.
0 comments