Melawan Hagsploitation: Reklaim Narasi Perempuan yang Menua di Film Horor

Sewaktu melihat karakter film horor belakangan ini, dari Gladys dari Weapons (2025), The Mother di Barbarian (2022), sampai Pearl di X (2022), saya jadi penasaran. Kenapa banyak tokoh perempuan lansia diceritakan sebagai sosok menakutkan? Penuaan (aging) perempuan semakin sering dijadikan simbol horor—seolah keriput atau tubuh renta bukan sekadar tidak memiliki daya tarik, tetapi sudah sepatutnya ditakuti. 

Sebenarnya saya melihat ada hal positif dari fenomena ini, aktris-aktris yang sudah menua tak perlu memakai botox untuk tetap bersinar di industri film. Namun, jika penggambaran karakter tak ditulis dengan baik, audiens tetap sulit–bahkan keliru–memahami bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh perempuan tersebut. Begitu pula dari rumah produksi yang pada akhirnya hanya mengeksploitasi kehadiran mereka.

Hagsploitation: Stereotip Karakter Perempuan yang Menua

Bentuk dari eksploitasi tokoh lansia perempuan dalam film horor dikenal sebagai hagsploitation. Shelley dalam Grande Dame Guignol Cinema: A History of Hag Horror From Baby Jane to Mother (2009) menyoroti kemunculan figur hag—perempuan tua yang digambarkan seram, gagal, dan terjebak pada standar kebahagiaan semu. Di tengah Hollywood era 1950-70an yang jarang memberi ruang glamor bagi para aktris menua, hagsploitation muncul sebagai alternatif. What Ever Happened to Baby Jane? (1962) membuka tren “grande dame guignol” ketika perempuan lansia mengalami gangguan mental akibat eksploitasi semasa remaja. 

Dikisahkan, Baby Jane (Bette Davis), adalah seorang bintang cilik yang adiktif akan spotlight karena ego ayahnya dan kebutuhan keluarga. Namun menjelang usia tua, Baby Jane terjebak pada kebahagiaan semu masa kecil, sampai melukai saudara perempuannya sendiri, Blanch Hudson (Joan Crawford) yang baru saja mulai membintangi film. Sayangnya, subgenre hagsploitation ini tidak memberi peluang bagi aktris lansia untuk mengontrol narasi cerita. Stereotip misoginis justru melihat wajah dan tubuh menua para perempuan sebagai grotesk yang perlu diperbaiki—seperti yang terjadi juga dalam Elizabeth Sparkle di The Substance (2024) atau Aunt Gladys dari The Weapons (2025).

Baca juga: Cantik Menurut Siapa? Membongkar Label “Eksotis” pada Warna Kulit Perempuan 

Pandangan Tradisional terhadap Perempuan yang Menua di Film Horor

Seiring perkembangan genre horor, representasi perempuan tua justru semakin menyempit. Karakter yang sebelumnya masih tampil dalam dinamika psikologis dan hubungan personal, mulai tergeser menjadi figur supranatural semata. Misalnya, Miss Tanner dan Madame Blanc dalam Suspiria (1977) adalah penggerak kekuatan magis yang menakutkan. Pergeseran ini memperlihatkan genre horor sering kali memosisikan tubuh menua perempuan sebagai sumber ancaman, bukan subjek dengan pengalaman hidup yang beragam.

Ketakutan terhadap aktris lansia dalam horor Barat juga bersinggungan dengan karakter hag. Dalam film horor Indonesia, motif serupa juga muncul dengan lapisan kultural dan sosial yang khas. Representasi hantu perempuan mencerminkan bagaimana masyarakat memandang perempuan menua yang dianggap kehilangan fungsi sosial maupun nilai dalam komunitasnya.

Film Wewe (2015) misalnya, masih menggambarkan sosok perempuan tua menyeramkan yang sekadar menculik anak. Karakter Wewe dalam film ini muncul tanpa latar belakang emosional yang kompleks sehingga ia berfungsi semata sebagai ancaman bagi orang tua, khususnya ibu yang bergelut dalam ruang domestik. Representasi ini menegaskan pola horor Indonesia yang sering mengedepankan ketakutan atas gangguan eksternal, tanpa memberi ruang bagi penonton untuk memahami kondisi sosial yang melahirkan figur hantu tersebut. 

Baca juga: Menentang Standar Kecantikan yang Dibentuk Media: Menerima Diri dan Merayakan Keberagaman

Evolusi Karakter yang Diberi Ruang dan Suara

Namun, perkembangan mulai terlihat pada Marni: The Story of Wewe Gombel (2024), menceritakan tentang Marni, penjual jamu yang hamil akibat pemerkosaan. Alih-alih dilindungi, ia justru dikucilkan warga dengan label “anak haram” bagi kandungannya, sehingga ia kehilangan kesempatan hidup normal bersama anaknya. Dalam kerangka Harrington dalam Women, Monstrosity and Horror Film: Gynaehorror (2018), penuaan itu bukan hanya berpijak pada umur biologis, tapi juga soal kehilangan fungsi sosial, kapasitas reproduktif, dan agensi.

Secara sosial, Marni diperlakukan seperti perempuan yang menua. Ia dikucilkan, tidak dihormati, kehilangan martabat, dan tidak punya agensi. Trauma dan ketidakadilan sosial itu kemudian membentuk latar belakang kenapa ia menjelma menjadi sosok hantu Wewe Gombel yang “menculik anak”. Evolusi ini menunjukkan bahwa horor Indonesia mulai membuka ruang lebih empatik bahwa hantu perempuan tua tidak lagi diposisikan sekadar sebagai simbol teror, melainkan juga sebagai produk dari luka sosial yang mendalam.

Berdasarkan visual Marni sebagai Wewe Gombel—payudara menggelambir, The Mother dari Barbarian (2022) juga ditampilkan demikian. Sehingga, masih terasa nuansa hagsploitation. Namun, seiring cerita berjalan, penonton mengetahui bahwa The Mother lahir dari praktik incest yang terus dilakukan Frank sejak 1980. Pergeseran ini membuat karakter The Mother tidak hanya berfungsi sebagai sumber ketakutan, tetapi juga sebagai cermin penderitaan akibat kekerasan seksual yang diwariskan. Dengan begitu, tubuhnya menjadi paradoks: objek horor sekaligus representasi trauma patriarki yang brutal.

Menyikapi Penokohan Mereka dengan Bijak

Meski sering dianggap mereduksi perempuan, film horor juga bisa menjadi ruang penting untuk merebut kendali narasi. Hal ini karena horor memberi kesempatan bagi perempuan untuk merefleksikan ketakutan terdalam dan membuka pemahaman baru yang mungkin belum disadari masyarakat. Ia dapat menjadi medium untuk mengeksplorasi kerentanan, trauma, sekaligus kekuatan perempuan. Namun, penting juga membacanya dalam kacamata kritis. MacKinnon dalam Toward a Feminist Theory of the State (1989) menegaskan bahwa kemarahan perempuan kerap dikecilkan sebagai histeria.

Baca juga: Perempuan Tidak Harus Jinak: Mengulas Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (2020) 

Padahal, tokoh mereka memiliki sisi emosional yang kompleks. Berbeda dengan laki-laki yang penuaannya diterima sebagai fase alamiah bahkan diasosiasikan dengan kebijaksanaan, tubuh perempuan justru didemonisasi. Mereka tidak diberi ruang untuk memiliki hasrat seksual atau perasaan ingin dikagumi.

Film X (2022) dan Pearl (2022) menyoroti hal ini dengan berani. Tubuh dan wajah renta Pearl di X bukan hanya pengalaman menua yang suka disimplifikasi oleh patriarki. Melainkan perang batin antara keinginan ingin dicintai oleh banyak orang termasuk ibunya. Kedua versi Pearl dari film yang berbeda memperlihatkan bagaimana usia, seksualitas, dan trauma perempuan bisa hadir secara kompleks dalam karakter horor.

Oleh karena itu, ketika menyikapi penokohan perempuan yang menua dalam horor, kita perlu melihatnya dengan bijak. Saya berharap di masa depan nanti, bukan hanya genre horor yang membuka ruang diskusi tentang kecemasan menua terhadap perempuan, tetapi juga genre lainnya. Karena perempuan tidak ingin sekadar dikonsumsi sebagai tontonan, melainkan dihormati sebagai individu dengan pengalaman hidup yang kompleks.

0 comments

Leave a Comment