Setiap bulan September, kita diingatkan kembali pada sejarah kelam yang penuh darah dan pelanggaran hak asasi manusia. September 1965, yang dihubungkan dengan peristiwa G30S/PKI, menjadi salah satu titik balik politik paling tragis di negeri ini. Di balik narasi resmi yang dibangun rezim Orde Baru, ada satu organisasi perempuan progresif yang turut menjadi korban, ialah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Selain dihapus dari sejarah, mereka difitnah sebagai biang kebiadaban. Organisasi perempuan yang pernah memperjuangkan pendidikan, hak perkawinan, dan kesejahteraan buruh itu, dipelintir menjadi sekumpulan perempuan “jalang” yang menari telanjang sambil menyiksa para jenderal.
Dari Gerwis hingga Gerakan Perempuan Progresif
Lahir pada 1950, organisasi ini mulanya bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) dengan anggota sekitar 500 orang. Empat tahun kemudian, ia berkembang pesat dan mengganti nama menjadi Gerwani. Kerja-kerja yang dilakukan amat penting dalam memberdayakan perempuan Indonesia di pedesaan.
Gerwani terjun langsung untuk memberantas buta huruf. Karena sebagian besar perempuan pada saat itu, tak dididik untuk membaca dan menulis. Mereka turut menyuarakan perubahan UU Perkawinan yang dinilai merugikan perempuan, memperjuangkan upah layak bagi buruh perempuan, serta mengampanyekan kesehatan ibu dan anak. Bahkan, Gerwani–juga PKI–sangat keras menolak poligami.
Dalam Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia (2007), Hikmah Diniah menegaskan bahwa Gerwani adalah organisasi perempuan dengan pengaruh politik besar. Mereka aktif dalam kampanye pemilu 1955, mendukung pembebasan Irian Barat, bahkan mengirim sukarelawan untuk berkonfrontasi melawan Malaysia.
Dengan basis massa mencapai 1,5 juta, Gerwani adalah simbol kekuatan perempuan terorganisir. Mereka membawa semangat feminisme awal, meski istilah “feminis” belum populer saat itu. Justru karena keberanian inilah, Gerwani dianggap berbahaya oleh rezim ‘Bapak’, yang alergi terhadap perempuan mandiri.
Propaganda dan Fitnah Seksual yang Melekat
1965 menjadi titik hancurnya Gerwani. Organisasi perempuan yang diperkirakan terbesar ketiga di dunia ini dituduh terlibat dalam peristiwa G30S/PKI karena dianggap dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Padahal, tuduhan itu tidak berdiri di atas bukti yang kuat.
Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (1999) Saskia Wieringa mengatakan propaganda negara melukiskan anggota Gerwani sebagai perempuan biadab. Mereka difitnah melakukan kekerasan seksual terhadap para jenderal di Lubang Buaya: menari telanjang, menyilet kemaluan, bahkan menyiksa hingga tewas.
Narasi itu menyebar luas lewat media massa (seperti Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha), bahkan diabadikan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984) yang ditonton berjuta-juta anak sekolah setiap September. Saya pun menjadi salah satu anak yang pernah menonton dokudrama propaganda itu.
Dalam How Did The Generals Die (1987), Sosiolog, Ben Anderson mempublikasikan bahwa hasil otopsi jenazah para jenderal menunjukkan nihilnya tanda-tanda mutilasi maupun penyiksaan seksual. Dengan kata lain, fitnah itu hanyalah propaganda Orde Baru yang kini telah ditumpahkan ke ingatan kolektif masyarakat.
Citra Gerwani yang penuh nilai progresif untuk memberdayakan perempuan, dirusak oleh negara. Mereka dikonstruksikan sebagai perempuan liar–yang keji, tak berperikemanusiaan, dan jauh dari kodrat perempuan yang seharusnya tertutup.
Baca juga: Kerusuhan Mei 1998: Luka Sejarah dan Ketegangan Rasial yang Disederhanakan
Penghancuran Gerwani Melalui Banalitas yang Dikonstruksikan Negara
Faktanya, para anggota Gerwani mengalami penyiksaan yang begitu menyakitkan. Setelah tragedi 30 September itu, mereka ditangkap tanpa proses hukum dan dijadikan tahanan politik. Tak jarang pula, mereka dipaksa menanggalkan pakaian untuk “diperiksa” cap Gerwani, mengalami pemukulan, pelecehan seksual, dan penyiksaan fisik.
Mereka dipindah-pindah antar tempat tahanan (KORAMIL, KODIM, penjara-penjara seperti Wirogunan, RTCW Bukit Duri, Benteng Pendhem Ambarawa, hingga kamp khusus tapol perempuan seperti Plantungan), hidup dalam kondisi terisolasi yang penuh kekerasan dan kerja tanpa henti. Perempuan tapol yang sebelumnya aktif di ranah publik dipaksa kembali ke “kodrat” yang dibangun negara–tunduk, patuh, dan terkurung dalam kerja domestik.
Tak hanya di kamp penahanan, Gerwani juga mengalami kekerasan hegemoni yang dikonstruksikan Orde Baru. Melalui fitnah ‘kekejaman seksual’, negara terus mereproduksi narasi ini hingga membentuk opini publik bahwa Gerwani memang layak dihancurkan. Maka, secara tak langsung, kita mengalami pemiskinan epistemik karena dibentuk menjadi banal dalam memahami realitas yang terjadi pada Gerwani.
Dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (2015), Hannah Arendt memperkenalkan konsep banality of evil (banalitas kejahatan) yang menunjukkan bahwa kejahatan besar tidak selalu dilakukan oleh orang yang “jahat” secara personal, melainkan bisa dikerjakan oleh orang-orang biasa yang berada dalam sistem represif.
Aparat menahan dan menyiksa Gerwani karena itu dianggap perintah, jurnalis dan guru menyebarkan fitnah karena merasa melaksanakan kewajiban, tetangga atau keluarga ikut melabeli demi “menjaga moral”. Karenanya, refleksi moral pun nihil sebab mereka hanya repetisi tugas yang dilegitimasi negara. Inilah yang membuat kejahatan tampak wajar, legal, bahkan seolah-olah benar.
Rantai banalitas itu menghasilkan normalisasi yang begitu kuat. Fitnah dilembagakan dalam birokrasi pendidikan, diulang dalam media, dan diwariskan sebagai “ingatan kolektif”. Dengan cara ini, kekerasan terhadap Gerwani tidak berhenti pada peristiwa 1965, melainkan berlanjut dalam bentuk stigma sosial yang mengasingkan perempuan hingga lintas generasi. Dan, akhirnya kita–yang ditumpulkan nalar kritisnya–menerima kebohongan itu sebagai kenyataan.
Baca juga: Hari Ini dan Esok: Mengenang Kartini di Luar Balutan Politik Kebaya ala Orde Baru
Cara Orde Baru Mendomestikasi Perempuan
Untuk melawan Gerwani, Orde Baru mereduksi gerakan perempuan menjadi organisasi negara. Muncullah Dharma Wanita, PKK, Bhayangkari, Persit–yang menekankan peran domestik perempuan sebagai istri dan ibu ideal. Inilah yang disebut Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara (2011) sebagai upaya Orde Baru untuk memposisikan perempuan sebagai pendukung pembangunan, bukan sebagai subjek politik yang mandiri.
Aktivisme politik perempuan yang dulu diperjuangkan Gerwani ditukar dengan kegiatan-kegiatan domestik yang dibalut jargon “pengabdian kepada suami, keluarga, dan bangsa”. Di dalam organisasi itu, perempuan diarahkan untuk mengurus acara seremonial, menjahit, memasak, atau mengelola arisan, tetapi kerja-kerja ini tidak diakui sebagai kerja politik maupun kerja ekonomi.
Bahkan banyak di antaranya dilakukan tanpa upah, seolah-olah “kerelaan” adalah bagian dari kodrat perempuan. Karenanya, ibuisme negara bukan hanya mengekang ruang gerak politik, tapi juga mengeksploitasi tenaga perempuan secara gratis.
Pada akhirnya, perempuan didorong untuk merasa berharga hanya jika mendukung suami dan keluarga, sementara kerja sosial mereka yang nyata justru tak pernah dihargai. Dengan cara ini, negara berhasil menjinakkan sekaligus menumpulkan potensi politik perempuan.
Oleh karena itu, penghancuran Gerwani adalah upaya penghapusan ingatan kolektif mengenai kerja-kerja perempuan progresif pada masa itu. Ketidakmampuan negara dalam mengakui keunggulan Gerwani, justru dibungkam melalui narasi negatif yang mereduksi mereka sebagai penjahat seksual yang biadab.
Mengingat Gerwani adalah cara melawan banalitas. Mengingat berarti menolak tunduk pada propaganda. Mengingat berarti merebut kembali sejarah perempuan Indonesia yang telah dirampas, dan kini ingin dihilangkan. Tugas kita hari ini adalah berpikir kritis, menolak propaganda, dan membongkar kebohongan sejarah. Hanya dengan begitu, banalitas yang dibentuk negara akan terputus, dan organisasi perempuan yang kini sudah mengudara tak akan diperlakukan sama. Semoga.
0 comments