Trigger warning: Artikel ulasan ini mungkin akan membuatmu tidak nyaman karena terdapat deskripsi kekerasan dan bunuh diri.
Dalam dunia yang masih dipenuhi stigma terhadap tubuh perempuan sebagai korban kekerasan, Korpus Uterus (2025) hadir sebagai narasi perlawanan. Isu aborsi, yang menjadi topik sentral novel ini, mengalir bagaikan seruan politik, kritik sosial, dan refleksi mendalam. Pasalnya, tubuh perempuan kerap kali menjadi arena pertarungan moral, hukum, dan kekuasaan.
Kisahnya bermula dari Kalimah, ibu Panuluh, kerap disapa Luh. Ia adalah korban pemerkosaan aparat saat dituduh sebagai antek PKI pada tahun 1965. Pengalaman traumatis itu membuatnya mencoba menggugurkan kandungannya, sampai akhirnya ia terpaksa melahirkan Luh. Yang kemudian membekas hingga mematri trauma mendalam lintas generasi.
Rahim yang Bukan Milik Perempuan
Ketika membaca karya Sasti Gotama ini, pertanyaan yang muncul di benak saya adalah: Apakah rahim benar-benar milik perempuan itu sendiri? Karena, kisahnya menggambarkan bahwa rahim seperti simbol politik yang selalu diperebutkan oleh moralitas, agama, hukum, dan negara. Ia secara tegas menunjukkan bagaimana korban kekerasan masih harus berjuang untuk memiliki otoritas atas dirinya.
Hal ini digambarkan mulai dari rumitnya akses terhadap layanan aborsi yang aman, proses hukum yang berbelit, minimnya tenaga medis yang mau membantu, hingga penghakiman sosial yang membuat banyak perempuan mengambil pilihan aborsi berisiko yang membahayakan nyawa.
Seperti kisah Yati yang memutuskan menggugurkan kandungannya seorang diri. Ia menggunakan gantungan baju besi yang dimasukkan ke dalam rahimnya. Adapun pengalaman seorang perempuan muda yang melompat dari jembatan setelah bidan menolak melakukan aborsi dan menghinanya, sebab ia tak percaya bahwa kehamilan tersebut adalah hasil pemerkosaan.
Tokoh Sentral yang Mengguncang Norma
Menariknya, tokoh sentral dalam novel ini adalah seorang laki-laki yang menjadi sekutu bagi perempuan dalam memperjuangkan hak otonomi tubuh mereka. Luh yang namanya merujuk pada sesuatu yang puitis sekaligus pahit adalah representasi dari ambiguitas, luka, dan keberpihakan. Sebab, ia lahir dari kekerasan yang justru menumbuhkan empati besar terhadap sesama korban.
Meski sejak kecil Luh ditolak dan ditelantarkan oleh sang ibu, Luh diberi kemampuan luar biasa. Luh lahir dengan telinga berbentuk kembang kol dan memiliki kemampuan mendengar hal-hal yang tak terdengar oleh manusia biasa. Kemampuan ini pun mengantarkannya menjadi seorang ahli aborsi yang selalu dicari perempuan yang putus asa. Karena ia tak ingin ada lagi Luh kedua, yang hidup dalam bayang-bayang kebencian terhadap ibunya.
Tampaknya, Sasti tak ingin membingkai tokoh ini sebagai pahlawan, melainkan sosok yang juga terus berupaya mencari makna, kebenaran, dan keadilan. Luh adalah karakter yang tak sempurna seperti manusia kebanyakan. Ia juga tak bebas dari kritik karena di beberapa bagian, ia mungkin terlihat problematik. Namun, di situlah kekuatan narasi dari novel ini, bahwa pada dasarnya gender dan seksualitas adalah isu yang penuh kompleksitas.
Kekerasan yang Terus Berulang dalam Sejarah
Hal menarik lainnya yang saya cermati adalah latar waktu yang cukup panjang. Ia mencakup peristiwa 1965, kerusuhan Mei 1998, hingga kasus-kasus awal 2000-an, yang membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pola yang berulang dalam sejarah. Sasti menunjukkan bahwa tragedi ini bukanlah insiden terpisah, melainkan warisan sistemik yang terus diatur oleh negara.
Sasti dengan cermat mengurai bagaimana trauma menjadi warisan turun-temurun. Ia menggambarkan bagaimana luka tidak hanya hidup dalam tubuh perempuan yang dilecehkan, tetapi juga diwariskan pada anak-anak mereka, pada cara mereka mempersepsi cinta, kebencian, dan pengampunan.
Bahkan, Korpus Uterus mengingatkan saya pada Bastard Out of Carolina (1992) oleh Dorothy Allison, ketika sang anak, Bone justru membenci sang ibu sebab ia memilih diam dan tetap bersama pelaku kekerasan. Atau, Entrok (2010) karya Okky Madasari yang menggambarkan kompleksitas hubungan Rahayu dan Marni–ibu dan anak–sebagai korban orang-orang berkuasa.
Saya juga melihat Korpus Uterus berupaya menyampaikan pesan tentang otonomi tubuh perempuan yang sejalan dengan gagasan Simone de Beauvoir feminis eksistensialis, bahwa tubuh perempuan bukanlah sekadar objek moral atau sosial, melainkan milik perempuan itu sendiri. Melalui jalan cerita yang emosional dan penuh luka, novel ini menunjukkan bagaimana hak untuk menentukan pilihan atas tubuh sering kali dirampas oleh hukum, norma, dan stigma.
Korpus Uterus juga menilik lambannya sistem dalam menangani kasus kekerasan seksual yang memerlukan tindakan aborsi. Secara hukum, korban memang diperbolehkan melakukan aborsi, namun dalam prosesnya berbelit: ia harus menjalani visum untuk membuktikan pemerkosaan, menunggu keluarnya surat izin, lalu mencari tenaga medis yang bersedia. Proses yang memakan waktu ini sering membuat usia kehamilan melewati batas yang diizinkan, sehingga aborsi tak lagi mungkin dilakukan secara legal.
Baca juga: Kisah Nyai di Bawah Bayang Kolonial dan Patriarki: Ulasan Lebih Putih Dariku
Estetika yang Tak Menjilat Luka
Dari segi penokohan dan alur, Sasti patut diapresiasi karena berhasil membangun karakter-karakter yang kompleks dan hidup, terutama dalam menggambarkan perjalanan batin Luh serta lingkaran perempuan di sekitarnya. Ia bahkan berani menampilkan tokoh-tokoh dengan dualisme, bahkan multi kepribadian, yang sangat erat dengan sifat-sifat manusia.
Meski begitu, Korpus Uterus hadir bukan tanpa cela. Kekuatan naratif yang konsisten di sepanjang novel terasa agak goyah di bagian akhir. Bab penutup tampak ditulis secara terburu-buru, seolah ingin segera menyelesaikan kisah yang sejak awal dibangun dengan begitu mendalam dan sabar. Alhasil, beberapa konflik terasa menggantung dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas dijawab.
Satu hal lagi yang cukup disayangkan adalah absennya trigger warning di awal cerita. Padahal, novel ini memuat konten yang sangat rentan dan berpotensi mengguncang pembaca secara emosional. Mulai dari penggambaran kekerasan seksual, aborsi tidak aman, penelantaran anak, hingga trauma mendalam akibat relasi keluarga yang rusak. Semuanya disajikan secara detail dan intens, tanpa jeda emosional yang cukup untuk menarik napas. Bagi sebagian pembaca, ketiadaan peringatan ini bisa menjadi pengalaman membaca yang terlalu mengejutkan bahkan menyakitkan.
Pada akhirnya, Korpus Uterus adalah novel yang mengguncang kenyamanan pembaca. Itu pula yang diutarakan Sasti saat peluncuran perdana bukunya. Ia memaksa kita bertanya: Sampai kapan tubuh perempuan diatur oleh orang lain? Sampai kapan negara hanya hadir untuk menghukum? Dan, sampai kapan kisah-kisah aborsi tak aman ini terus dianggap sebagai hal yang tak pantas secara norma?
Ia menantang pembaca untuk melihat lebih dalam, merasa lebih empatik, dan berpikir lebih kritis tentang tubuh, kekuasaan, dan kemanusiaan. Dalam dunia yang terus membatasi tubuh perempuan dengan moralitas sempit dan sistem yang diskriminatif, novel ini hadir sebagai bentuk perlawanan yang puitis sekaligus politis.
0 comments