Bukan Suka Sama Suka: Hubungan Orang Dewasa dengan Anak di Bawah Umur Adalah Child Grooming

Skandal video viral yang melibatkan seorang guru DH ( 57 tahun  )  dan siswi P ( 16 tahun ) di Gorontalo telah memicu kemarahan di seluruh Indonesia. Peristiwa tersebut mengungkap hubungan tidak pantas antara seorang guru pria dan siswi dari sebuah madrasah setempat. 

Guru berinisial DH kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Kementerian Agama menegaskan komitmennya untuk menjaga standar profesionalisme yang tinggi di lembaga Kementerian Agama. Untuk itu, Kemenag berjanji akan menerapkan tindakan disipliner sesuai dengan peraturan pegawai negeri sipil di Indonesia, termasuk sanksi yang bervariasi dari penurunan pangkat sementara hingga pemecatan permanen.

Dikutip Kompas.id, DH dijerat pasal 81 ayat 3 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman 15 tahun penjara. Dari kejadian ini, Netizen menganggap bahwa itu adalah hal yang didasari suka sama suka. Banyak yang berkomentar bahwa sang anak memang menyukai aktivitas seksual yang ia lakukan padahal dalam hal ini merupakan child grooming, di mana seorang dewasa memanfaatkan posisinya untuk membangun kepercayaan dan kemudian mengeksploitasi korban secara seksual.

Apa itu Child Grooming?

Child Grooming adalah suatu proses di mana pelaku secara bertahap membangun hubungan dekat dan kepercayaan dengan seorang anak, untuk tujuan mengeksploitasi mereka secara seksual. Dalam banyak kasus, child grooming melibatkan manipulasi emosional, di mana pelaku sering kali memberikan perhatian lebih, pujian, dan bantuan kepada korban agar mereka merasa nyaman dan mempercayai pelaku. Child Grooming juga bisa mencakup penyalahgunaan posisi otoritas, seperti dalam hubungan guru dan siswa, di mana kesenjangan kekuasaan sangat besar.

Pelaku child grooming tidak selalu langsung memaksa anak untuk melakukan tindakan seksual, proses ini sering kali dilakukan dengan sangat halus, sehingga korban mungkin tidak sepenuhnya menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Pelaku menciptakan situasi di mana anak-anak merasa terikat secara emosional, sering kali menyebabkan mereka bingung atau merasa bersalah ketika pelecehan terjadi. Hal ini menjadikan grooming sebagai bentuk kekerasan yang sangat berbahaya, karena bisa menciptakan ketergantungan emosional yang kuat antara korban dan pelaku.

Dalam kasus video viral di Gorontalo, guru DH yang terlibat memanfaatkan posisinya sebagai figur otoritas di sekolah untuk mendekati dan memanipulasi siswi P yang menjadi korbannya. Kesenjangan kekuasaan antara seorang guru dan siswanya jelas terlihat di sini. Guru dianggap sebagai figur yang dihormati, dipercaya, dan memiliki kekuasaan untuk mengatur nilai akademis siswa serta masa depannya. Sementara itu, siswa, terutama anak-anak dan remaja, berada dalam posisi yang lebih rentan secara psikologis dan emosional. Dalam klarifikasi korban, pelaku DH membantu korban untuk mendapatkan beasiswa dan korban merupakan anak yatim dan piatu sehingga pelaku memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan korban. 

Interaksi guru dan siswa harusnya dibatasi oleh norma-norma profesionalisme, namun dalam kasus ini, norma tersebut dilanggar demi kepentingan pribadi pelaku. Ketika seorang guru yang seharusnya memberikan bimbingan moral dan pendidikan justru melakukan eksploitasi seksual, kepercayaan yang dibangun dengan susah payah antara institusi pendidikan dan masyarakat runtuh. Kesenjangan kekuasaan antara guru dan siswi ini memungkinkan pelaku untuk mendominasi korban, membuat mereka merasa tak berdaya atau takut untuk melawan.

Dampak korban Child Grooming, Salahkan Pelaku Bukan Korban

Dalam kasus Siswi P ( 16 tahun ) Gorontalo, masih banyak masyarakat yang menyalahkan korban meskipun sudah jelas bahwa kasus ini bukan didasari suka sama suka melainkan child grooming. Bahkan pihak sekolah yang harusnya melindungi korban justru ikut menyalahkan korban dengan ikut mengeluarkan korban dari sekolah. Mengutip BBC Indonesia, Kepala Sekolah MAN 1 Gorontalo mengatakan bahwa siapapun yang mencemarkan nama baik instansi sekolah dikeluarkan. Namun, pihak sekolah membantah tudingan bahwa mereka tidak memberikan perlindungan kepada korban.

Child Grooming meninggalkan dampak yang mendalam pada korban, baik secara psikologis maupun sosial. Dalam kasus ini, korban yang terlibat mungkin merasa bingung, bersalah, dan bahkan malu atas kejadian yang menimpanya. Ini adalah perasaan umum yang dialami korban pelecehan seksual, terutama dalam konteks di mana mereka merasa dekat secara emosional dengan pelaku atau merasa "terlibat" dalam hubungan tersebut. Ini menjadi lebih sulit ketika ada unsur ancaman atau tekanan yang membuat korban merasa terjebak.

Selain itu, penyebaran video syur juga membawa beban tambahan. Victim blaming, atau kecenderungan untuk menyalahkan korban atas kejadian tersebut, sering kali terjadi dalam kasus-kasus pelecehan seksual. Hal ini sangat berbahaya karena memperparah trauma korban dan menghalangi mereka untuk mencari bantuan. Dalam masyarakat yang patriarkis seperti Indonesia, perempuan atau pun perempuan muda yang menjadi korban pelecehan seksual sering kali dipersalahkan, diolok-olok, atau bahkan dikucilkan, membuat mereka semakin sulit untuk pulih dari trauma.

Secara psikologis, korban grooming dan pelecehan seksual mengalami depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan masalah kepercayaan diri. Dalam jangka panjang, trauma yang dialami dapat memengaruhi hubungan sosial dan romantis korban. Oleh karena itu, perlunya menyikapi bahwa kasus child grooming dan pelecehan seksual lainnya terjadi karena relasi kuasa dan perlunya masyarakat berempati kepada korban dengan tidak menyalahkan korban melainkan menyalahkan pelaku. 

 

0 comments

Leave a Comment