Menyoal Grup Inses di Facebook: Surga Predator, Neraka bagi Korban

Peringatan: Artikel ini mungkin bisa membuatmu tidak nyaman

Perilaku manusia masa kini tak ada hentinya membuat saya tercengang. Beberapa hari lalu, ramai di X obrolan terkait grup inses yang masyhur di Facebook. Grup bernama “Fantasi Sedarah” yang beranggotakan 32.000, juga “Cerita Dewasa Sedarah” yang menembus 60.000 pengikut–yang saya bahkan tak mampu menyebut mereka sebagai orang atau manusia melihat dari perilakunya.

Isi dari grup itu pun menyesakkan dada saya. Dengan entengnya dan tanpa merasa berdosa, para pelaku membagikan fantasi seksualnya bersama anak kandung atau anak tirinya. Foto-foto anak perempuan, dengan mudahnya mereka unggah tanpa sensor, sementara jari mereka bebas berbicara di balik anonimitas. 

Caption yang mereka susun pun berhasil membuat dahi saya mengernyit jijik, seperti “Selalu kepengen sama anak tiri,” atau yang lebih biadab lagi, “Pernah dikeluarin pake tangan si kecil yang masih usia 3 tahun, sejauh ini my wife belum curiga, ges.”

Saya bahkan harus berdiam diri, memejamkan mata, dan berpikir dalam-dalam setelah membaca unggahan tersebut: Bagaimana para laki-laki yang mengaku ayah ini tega menyakiti tubuh anak perempuannya sendiri? Sekaligus untuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah bagian dari fiksi distopia, seperti buku-buku yang saya baca. Ini nyata. Sungguh nyata dan terjadi di Indonesia.

Korea Selatan Pernah Alami Hal Serupa

Kasus serupa juga pernah terjadi di Korea. Salah satu akun X @ssosohae1 membagikan bagaimana perempuan Korea membagikan pengalaman mereka terhadap grup chat bernama “humiliation-room”, yang di dalamnya terdapat “sister-room” dan “mother-room” berisi konten inses, deepfake porno, hingga video pelecehan terhadap anggota keluarga sendiri yang direkam saat mereka tertidur. Bahkan, ada pelaku yang sengaja memberi mereka obat tidur.

Lebih mengejutkan lagi, 62% pelaku inses di Korea adalah ayah kandung. Fakta ini menjadi pemicu munculnya gerakan #2nd_Metoo_SK, yang menyerukan perlawanan terhadap kekerasan seksual dalam lingkup domestik. Gerakan seperti yang terjadi di Korea pun tak mustahil akan muncul di Indonesia, melihat betapa kuatnya akar permasalahan yang sama. 

Baca Juga: Kerusuhan Mei 1998: Luka Sejarah dan Ketegangan Rasial yang Disederhanakan

Meski menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Ketimpangan Gender pada 2023 menurun 0,447%, realitas sosial kita tak menunjukkan fakta yang sama. Kekerasan seksual, terutama dalam ranah privat seperti kasus inses ini, masih sulit terungkap karena stigma, rasa takut, dan ketimpangan kekuasaan dalam keluarga. Padahal, kasus ini bukanlah semata penyimpangan seksual. Ini adalah bentuk ideologi patriarki yang ekstrem; sebuah sistem yang menormalisasi kuasa laki-laki atas tubuh perempuan dan anak-anak.

Ketika Keluarga Jadi Ruang Kekerasan

Penelitian Babchishin, dkk. (2024) dan Orak, dkk. (2023) menegaskan bahwa inses bukan hanya soal hasrat seksual yang menyimpang. Dalam banyak kasus, pelaku adalah anggota keluarga dekat yang memanfaatkan struktur kekuasaan dan kepercayaan dalam sistem keluarga. Lingkungan keluarga disfungsional, relasi kuasa yang timpang, serta budaya diam dan pengabaian menjadikan anak-anak korban kekerasan terjebak dalam trauma yang rumit, berlapis, dan sulit disuarakan.

Temuan ini memperkuat argumen bahwa inses adalah persoalan sistemik, bukan kasus individual semata. Keluarga yang seharusnya jadi tempat paling aman justru bisa jadi ruang kekuasaan yang menekan perempuan dan anak-anak. Dalam The Dialectic of Sex (1970), Shulamith Firestone menjelaskan bahwa keluarga dibentuk dengan cara yang membuat perempuan jadi bergantung secara ekonomi dan biologis, seperti hamil, melahirkan, atau tak punya penghasilan sendiri. Dari situlah muncul ketimpangan mengenai siapa yang berhak berkuasa dan yang patuh.

Padahal, menurutnya, keluarga itu adalah institusi politik, bukan sekadar urusan pribadi. Ketika kekerasan seperti inses terjadi, itu bukan suatu kebetulan. Itu adalah bentuk nyata dari struktur yang membuat laki-laki merasa punya kuasa atas tubuh anak-anaknya. Oleh karenanya, ia memberikan tawaran untuk mengeliminasi konsep keluarga tradisional yang menghasilkan keluarga oedipal, sebagai pemantik terjadinya inses. 

Baca Juga: Femisida: Ketika Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Andrea Dworkin, yang sangat disayangkan adalah zionis, menyampaikan pandangan yang relevan ketika membahas pornografi dan hubungannya dengan inses. Kritiknya dalam Pornography: Men Possessing Women (1989) menjelaskan industri pornografi yang memperkuat fantasi inses ini, dan menjadi bagian dari budaya yang menormalisasi kekerasan seksual. 

Kenyataannya, konten pornografi bertema inses (meskipun palsu atau disebut fauxcest) justru makin populer di situs arus utama seperti Pornhub dan xHamster. Data Pornhub menunjukkan bahwa pada 2019, kategori ini masuk dalam 10 besar pencarian terbanyak, dan mengalami peningkatan hingga 178% dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, 1 dari 10 pembelian konten pornografi oleh anak muda adalah video bertema “keluarga”, seperti hubungan antara ibu tiri, anak tiri, atau saudara tiri. 

Begitu pula jika kita mencari konten pornografi dalam bentuk teks yang tersebar di Wattpad atau AO3–genre inses juga kerap memiliki peminat tinggi. Hal ini memperlihatkan betapa fantasi inses yang dulunya dianggap tabu kini menjadi konsumsi publik dan dinormalisasi, bukan hanya lewat pornografi, tapi juga oleh sistem budaya yang mendiamkan atau bahkan membenarkan kekerasan seksual dalam keluarga.

Dampak Nyata bagi Korban

Yang seharusnya paling kita khawatirkan dari perilaku seksual menyimpang ini adalah dampaknya terhadap korban, terutama anak-anak perempuan yang dilecehkan di usia sangat dini. Masa kecil yang seharusnya diisi dengan pengasuhan penuh kasih sayang berubah menjadi pengalaman traumatis yang membekas hingga dewasa.

Penelitian menunjukkan bahwa trauma akibat inses tidak berhenti ketika kekerasan berakhir. Fitzgerald, dkk. (2005) mencatat bahwa banyak korban mengalami kesulitan besar saat menjadi orang tua karena merasa tidak mampu atau takut mengulang pola kekerasan yang mereka alami. Gichaz, dkk. (2022) bahkan menemukan bahwa luka psikologis akibat inses bisa bertahan hingga korban menjadi ibu, bahkan nenek. 

Price (1993) menambahkan bahwa inses bukan hanya soal kekerasan seksual, tapi juga penghancuran identitas korban, terutama perempuan, yang berdampak pada kepribadian, kemampuan menjalin relasi, dan citra diri mereka. Misalnya, banyak korban merasa tidak layak dicintai atau terus-menerus menyalahkan diri atas apa yang terjadi.

Sementara itu, Lipovsky, dkk. (1993) menggarisbawahi bahwa relasi korban dengan pelaku, yang sering kali adalah ayah sendiri, menjadi sangat rusak. Namun, ironisnya, pelaku kerap menyangkal dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, atau bahkan tak menyadari adanya kehancuran hubungan tersebut. Hal ini terlihat dari usaha pelaku mengubah grup “Fantasi Sedarah” itu dengan nama lain seperti “Suka Duka”, yang membuktikan penyangkalan atas perilaku menyimpang mereka.

Lantas, Apa Upaya Negara?

Dengan segala kecanggihan digital yang dimiliki aparat, melacak pelaku dari akun anonim seharusnya bukan hal yang mustahil. Tapi anehnya, grup predator ini bisa bertahan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Dan, seperti pada kasus kekerasan lainnya, ia baru diproses saat ada pelaporan dari masyarakat, juga budaya viral. 

Padahal, grup-grup serupa dengan nama yang berbeda, masih beroperasi secara bebas di berbagai platform media sosial. Sehingga, perlunya pengawasan dan kerja penuh dari para aparat ini untuk memburu predator-predator yang meresahkan ini. Tentunya, jika mereka memang masih ingin melindungi dan menjamin keselamatan sipil.

Baca Juga: Vasektomi Sebagai Syarat Bansos: Politisasi Tubuh dan Kekuasan Negara pada Masyarakat Miskin

Negara yang begitu lantang atas nama moral ketika mengejar “penghina pejabat” justru bungkam saat anak-anak jadi korban kekerasan seksual di ruang digital. UU ITE yang katanya dibuat untuk “melindungi masyarakat di ruang digital” pun tak unjuk gigi saat predatornya secara terang-terangan melecehkan anak kecil tak berdosa.

Dan, ketika negara gagal melindungi, kita sebagai masyarakat pun tak boleh ikut diam. Jika kekerasan terjadi di sekitar kita, apalagi dalam lingkup domestik yang sering dianggap urusan “pribadi”, keberpihakan kita pada korban adalah bentuk perlawanan penting, lewat bersuara, melaporkan, dan tidak menormalisasi kekerasan. 

0 comments

Leave a Comment