Siapa yang tidak kenal sosok Luna Maya? Saat melihat Luna Maya, kagum adalah kata yang terlintas di benak saya. Karena, perjalanan kariernya pun tak mudah. Dimulai menjadi seorang model di majalah Aneka Yess! hingga masuk ke nominasi Piala Citra di tahun 2006 dalam kategori Best Leading Actress. Dari situ, nama Luna Maya semakin harum di layar kaca tanah air, baik sebagai model, bintang film dan sinetron, brand ambassador, pembawa acara, hingga puncaknya memiliki bisnis di bidang kecantikan.
Namun, dibalik kariernya yang cemerlang, Luna Maya juga pernah mengalami keterpurukan yang cukup mendalam. Ia pernah menjadi korban penyebaran video intim atau yang dikenal sebagai NCII (Non-Consensual Dissemination of Intimate Images). Saat menjadi korban, masyarakat pun seperti tidak berpihak padanya. Karena, mereka turut menjadi pelaku penyebaran, yang tentunya semakin membuat mental Luna terpuruk pada saat itu.
Luna Maya Menjadi Korban Berlapis dari NCII
Dalam video podcast-nya bersama Boy William, Luna membagikan pengalamannya saat menghadapi kasus tersebut. Perempuan ini terlihat berusaha tetap tegar, meski saya melihat ekspresi wajah Luna menunjukkan banyak sekali emosi yang ia sembunyikan. Karena, masa ketika video intimnya itu tersebar, ia memilih untuk vakum dari industri hiburan tanah air–yang kemudian membuat kariernya meredup.
Pada saat Luna menjadi korban penyebaran video intim bersama Ariel, respons masyarakat dan media sosial sangat keras. Luna bahkan ditinggalkan oleh sebagian besar teman-teman dan koleganya. Sementara itu, narasi yang berkembang di media sosial kala itu lebih condong menyalahkan Luna. Dan, ironisnya, videonya banyak dicari dan disebarkan secara tidak etis oleh warganet, seolah-olah rasa ingin tahu lebih penting daripada kehormatan seseorang. Padahal, Luna tidak mengedarkan videonya sendiri karena ia adalah korban dari kelalaian dan penyebaran tanpa izin oleh pihak lain, yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ariel sebagai pemilik perangkat.
Dari pengalaman pahitnya itu, ia pun berusaha untuk bangkit kembali dan mencari sumber lain sebagai strategi pemberdayaan, seperti berbisnis. Upaya yang Luna lakukan memacu saya belajar untuk mengakui kesalahan dan belajar kembali untuk menerima dan memaafkan diri atas tragedi yang telah terjadi. Meskipun, saya melihat bagaimana masyarakat, bahkan lingkungan terdekat begitu kejam pada perempuan sebagai korban.
Sebagai perempuan, saya merasa marah, sedih, dan kecewa. Bukannya dilindungi, Luna malah sempat diposisikan sebagai tersangka dalam proses hukum yang membingungkan. Meski akhirnya tak ditahan, status itu cukup untuk mempermalukannya di ruang publik yang sudah terlebih dahulu menghakimi. Di sini terlihat jelas bahwa Luna adalah korban dari kekerasan berlapis. Pertama, ia menjadi korban NCII, lalu dihakimi masyarakat, dan akhirnya dibiarkan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Yang paling mengkhawatirkan adalah, bagaimana jika ini terjadi pada perempuan lain, yang bukan publik figur, yang tidak punya sumber daya untuk memulihkan hidupnya? Banyak korban NCII yang mengalami tekanan psikologis ekstrem, kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga, bahkan berujung pada bunuh diri. Mereka tidak punya panggung untuk bicara, tidak punya sistem untuk mengadu, dan tidak punya kekuatan untuk melawan. Mereka hanya bisa diam, menanggung malu atas sesuatu yang bukan salah mereka.
Dari kasus Luna Maya, negara seharusnya belajar bahwa perlindungan terhadap korban NCII tidak bisa setengah-setengah. Harus ada sistem hukum yang berpihak, edukasi masyarakat yang empatik dan berpihak pada korban, serta mekanisme pemulihan yang nyata. Karena, upaya ini akan melindungi perempuan lainnya karena kasus serupa. Karena dalam setiap konten yang tersebar tanpa izin, ada manusia yang hancur di balik layar.
Keputusan Egg Freezing yang Kontroversial
Hal lain yang membuat saya merasa kagum adalah keputusan Luna yang cukup kontroversial. Di usianya yang sudah tidak muda dan sebelum menikah dengan Maxime Bouttier, Luna melakukan egg freezing atau pembekuan sel telur saat berusia 35 tahun. Metode ini digunakan untuk menjaga kesuburan perempuan dengan cara membekukan dan menyimpan sel telur karena seiring bertambahnya usia cadangan sel telur secara alami akan mengalami penurunan kuantitas dan kualitas–dan Luna menyadari ini.
Keputusan Luna untuk melakukan metode ini saya lihat sebagai hak reproduksinya sebagai seorang individu. Karena, setiap perempuan memiliki kebebasan dan hak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri, termasuk kapan dan bagaimana ia ingin menjadi seorang ibu, sebagai bagian dari bodily integrity, sexual freedom, dan affirmative rights. Luna, sebagai individu yang sadar akan realitas biologis dan sosial yang dihadapi perempuan, menegaskan posisinya sebagai subjek penuh yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya.
Walaupun prosedur ini sangat membantu jika perempuan ingin merencanakan kehamilan di kemudian hari, di negara yang peraturan Islamnya cukup ketat, seperti Malaysia, pembekuan sel telur untuk alasan nonmedis dilarang bagi perempuan lajang, sementara di Mesir diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Sementara di Indonesia, meski belum ada regulasi khusus, tapi beberapa rumah sakit telah memperbolehkan prosedur ini.
Meskipun egg freezing adalah solusi bagi permasalahan biologis & sosial perempuan, seperti endometriosis, gangguan ovarium, ingin menunda kehamilan, perempuan yang mudah stres karena stigma kesuburan, atau ingin hamil di usia dewasa, namun ia masih memiliki serangkaian hambatan. Misalnya, harganya yang cukup mahal dan tidak bisa diakses oleh seluruh perempuan. Sehingga, teknologi seperti ini pun hanya bisa dinikmati oleh perempuan kalangan atas. Sementara yang lainnya masih harus berjuang dengan keterbatasan, baik secara ekonomi, informasi, maupun akses layanan kesehatan.
Saya melihat, teknologi ini justru memperjelas jurang ketimpangan. Perempuan dari kelas menengah ke bawah sering kali tidak punya kemewahan untuk “menunda”, karena mereka harus segera menikah sebab tingginya tekanan sosial. Mereka tidak punya waktu, ruang, atau dana untuk berpikir soal pembekuan sel telur. Jika negara ingin benar-benar hadir dalam isu kesehatan reproduksi perempuan, perlu ada kebijakan yang membuat teknologi ini lebih inklusif, tidak hanya jadi hak istimewa segelintir orang, tapi bisa diakses oleh semua perempuan, apapun latar belakangnya.
Pemecah Stereotip: Perempuan Tidak Harus Nikah Muda
Saya melihat sisi lain dari kemegahan pesta dan keindahan adat yang mereka tampilkan di Bali, yaitu keputusan Luna untuk menikah di usianya yang sudah menginjak 41 tahun. Di tengah masyarakat yang melazimkan pernikahan dini, Luna justru mendobrak stigma itu dengan memperlihatkan bahwa usia bukanlah batas bagi seseorang, terutama perempuan, untuk menjalani hidup sesuai pilihannya. Ini terlihat dari masih banyaknya suara miring dari masyarakat patriarkal yang menganggap perempuan seharusnya menikah sebelum “terlambat”.
Sebagai perempuan, saya bisa merasakan tekanan sosial yang selama ini membayangi banyak perempuan lajang di atas usia 30. Perempuan sering kali dijadikan objek dari hitung-hitungan waktu yang kaku, seperti kapan harus menikah. Dan secara simbolik, Luna Maya berhasil membongkar konstruksi ini. Keputusannya untuk menikah di usia matang bukan hanya soal personal, tetapi juga menyentil norma sosial yang selama ini membatasi perempuan. Ia mengajarkan kepada saya bahwa perempuan tak harus menjadikan pernikahan sebagai ajang balapan, dan bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh kepatuhan terhadap standar usia atau ekspektasi masyarakat.
Hal lain yang patut diapresiasi adalah kehadiran Maxime Bouttier sebagai pasangan yang jauh lebih muda secara usia tetapi matang dalam sikap. Banyak yang mengapresiasi cara Maxime memandang dan memperlakukan Luna dengan penuh penghargaan, melampaui batasan usia dan norma tradisional gender. Publik menyaksikan bagaimana Maxime tampak terpukau oleh sosok istrinya, menunjukkan bahwa cinta dan penghormatan tidak terukur dari perbedaan umur, melainkan dari kesetaraan dan rasa saling menghargai.
Oleh karena itu, saya berharap pernikahan Luna dan Maxime adalah momentum refleksi bagi masyarakat kita bahwa perempuan berhak menentukan arah hidupnya, termasuk kapan dan dengan siapa ia menikah. Bahwa kebahagiaan seorang perempuan tidak seharusnya diukur dari standar sosial seperti kapan ia harus menikah atau dari kecepatan untuk memenuhi standar sosial tersebut. Luna menunjukkan bahwa perempuan bisa tetap punya kendali atas hidupnya, menjalani fase-fase dengan kesadaran penuh, bukan karena social pressure.
Refleksi ini penting, karena masih banyak perempuan yang merasa dikejar waktu, dihantui pertanyaan “kapan nikah?”, atau dianggap gagal jika belum menikah di usia tertentu. Padahal, jalan hidup setiap perempuan berbeda. Ada yang memilih menikah muda, ada yang memilih menunggu, dan keduanya sama-sama sah. Dari kisah Luna, saya pun belajar bahwa keputusan hidup perempuan baik soal pernikahan, karier, atau tubuhnya sendiri layak dihormati, bukan dihakimi.
Dari perjalanan hidup Luna, seharusnya kita belajar bahwa perempuan tidak seharusnya dinilai dari luka masa lalunya, batas biologis tubuhnya, atau usia saat ia menikah. Ia telah melalui fase menjadi korban yang dihakimi publik dengan keputusan-keputusan hidupnya. Tiga fase ini bukan hanya soal Luna sebagai individu, tapi juga cerminan dari perjuangan banyak perempuan di luar sana yang ingin hidup sesuai pilihannya sendiri.
0 comments