Membongkar Mitos Keperawanan yang Selama Ini Dibentuk Hegemoni Maskulinitas

Keperawanan telah menjadi salah satu konstruksi sosial yang paling melekat dalam kehidupan perempuan. Ia tidak sekadar dimaknai sebagai kondisi biologis, tetapi dijadikan parameter moral, spiritual, dan bahkan nilai sosialnya. 

Dalam masyarakat patriarki, keperawanan dijaga, diuji, dan dipertanyakan bukan demi perempuan itu sendiri, melainkan untuk menjamin kontrol atas tubuhnya. Karenanya, mitos keperawanan menjadi mekanisme hegemonik yang terus direproduksi guna menjaga dominasi maskulinitas dan mereduksi seksualitas perempuan dalam batas-batas yang ditentukan laki-laki dan sistem sosial.

Mitos Keperawanan: Dari Dewi Kesucian hingga Pemeriksaan Selaput Dara

Sejak ribuan tahun lalu, mitos keperawanan sudah hadir di tengah masyarakat. Konsep ini muncul beriringan dengan perkembangan peradaban agraris dan sistem patriarki, ketika perempuan dipandang sebagai bagian dari harta keluarga yang harus “dijaga” hingga diserahkan dalam pernikahan.

Dalam sejarah Yunani dan Romawi Kuno, keperawanan sering dikaitkan dengan kemurnian dan martabat perempuan. Para dewi, seperti Athena dan Hestia, diidealkan sebagai simbol keperawanan abadi yang tak tersentuh oleh laki-laki dan dijadikan teladan perempuan ideal dalam sistem kepercayaan yang menekankan kesucian.

Contohnya Vestal Virgins di Romawi Kuno. Mereka adalah perempuan-perempuan muda yang dipilih untuk menjaga api suci Dewi Vesta, simbol kehidupan dan stabilitas negara. Selama 30 tahun masa baktinya, mereka diwajibkan menjaga keperawanan sebagai lambang kemurnian negara. Jika melanggar, hukumannya adalah dikubur hidup-hidup.

Dalam bukunya Enlightened Virginity In Eighteenth Century Literatur (2006), Corrinne Harrol menjelaskan pada abad ke-18, keperawanan dianggap penting karena berkaitan dengan kemurnian garis keturunan khususnya untuk menjamin siapa ahli waris dari seorang laki-laki. Karena itu, perempuan harus “murni”, dalam arti belum pernah berhubungan seksual, agar kehamilannya nanti bisa dipastikan berasal dari suaminya.

Pandangan ini pun masih membekas sampai hari ini. Padahal, hubungan seksual dan mempunyai anak adalah dua hal yang berbeda. Karena perempuan pun bisa memiliki pengalaman seksual tanpa kehamilan. Tapi narasi lama ini tetap dipaksakan, seolah-olah tubuh perempuan hanya berfungsi untuk reproduksi dan tunduk pada nilai-nilai moral mayoritas.

Baca juga: Tubuh Perempuan sebagai Objek: Kritik atas Industri Budaya dan Media

Keperawanan kehilangan makna personal dan berubah menjadi parameter utama kesucian serta nilai seorang perempuan dalam masyarakat patriarki. Keperawanan direduksi sebatas kondisi selaput dara (hymen) yang utuh. Padahal Duque-Parra, dkk. (2022) menjelaskan hymen memiliki bentuk dan elastisitas yang sangat bervariasi. Hymen bisa tetap utuh meski sudah pernah berhubungan seksual atau tampak tidak ada, tanpa adanya trauma. Ini menunjukkan selaput dara bukanlah indikator medis yang sah untuk menilai keperawanan.

Sementara itu, pendarahan saat hubungan seks sering dianggap bukti keperawanan. Faktanya, itu bisa terjadi karena kurangnya pelumasan atau stimulasi yang cukup sehingga vagina pun menjadi luka. Ini mencerminkan relasi seksual yang timpang. Sebab, laki-laki masih dominan, perempuan dibentuk untuk pasif.

Vagina Perempuan: Reduksi Seksualitas dalam Budaya Patriarki

Cara pandang laki-laki terhadap vagina sangat dipengaruhi dominasi maskulinitas dan konstruksi budaya patriarki. Dalam banyak masyarakat, vagina disimbolkan sebagai “harta berharga” yang harus dijaga hingga diberikan kepada suami saat menikah. Narasi ini menempatkan vagina sebagai satu-satunya identitas seksual perempuan. Seakan-akan tubuh perempuan dapat diawasi, dikomentari, dan dihakimi.

Naomi Wolf dalam Vagina: A New Biography (2012), mengkritik pandangan maskulin yang menganggap vagina perempuan semata-mata hanya sebagai alat seks dan reproduksi. Padahal, Wolf mengungkapkan vagina bukan hanya organ biologis, tetapi bagian dari jaringan saraf yang sangat kompleks dan terhubung langsung dengan otak.

Oleh karena itu, selain fisik, pengalaman seksual perempuan juga bersifat emosional dan neurologis. Artinya, seksualitas perempuan tidak bisa disamakan atau disimplifikasi seperti seksualitas laki-laki, apalagi dijadikan komoditas yang diukur dari ada atau tidaknya selaput dara.

Namun, Wolf melihat bahwa budaya maskulinlah yang mengajarkan perempuan untuk malu pada vaginanya sendiri. Bahkan dalam budaya populer dan pornografi arus utama, vagina direpresentasikan secara sempit–ia harus kecil, bersih, rapat, dan “tidak ternoda”. Implikasinya, pandangan ini pun menghilangkan pengalaman perempuan atas tubuhnya dan menguatkan ketergantungan perempuan terhadap validasi laki-laki.

Baca juga: Berhenti Menyalahkan Perempuan: Alasan di Balik Pilihan Perempuan Memilih Childfree

Mitos Keperawanan dan Legitimasi Sosial: Dari Ritual hingga Pengawasan Tubuh

Mitos keperawanan tidak berdiri sendiri. Ia dilegitimasi oleh institusi sosial, hukum, dan agama secara sistematis. Di India, misalnya, konsep kanyadan melambangkan pemberian seorang perempuan perawan sebagai bentuk kesucian mutlak dalam pernikahan. Di Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah, mitos ini bahkan mendorong praktik pembedahan hymen (P2GP) demi “mengembalikan” keperawanan demi kehormatan keluarga.

Tidak berhenti di sana, mitos ini kemudian dilembagakan melalui praktik kekerasan simbolik, seperti pembatasan pergaulan, kontrol pakaian, hingga adanya aturan tes keperawanan sebagai syarat calon prajurit perempuan Tentara Nasional Indonesia pada 2015 silam. Bahkan, bukan hanya calon prajurit saja, istri dari tentara laki-laki pun demikian.

Bukan hanya itu, praktik tes keperawanan atau bahkan tes kehamilan pernah dilakukan di beberapa sekolah sebagai bentuk kontrol terhadap tubuh anak perempuan. Ironisnya, tes semacam ini dilakukan tanpa adanya pengajaran pendidikan seks yang komprehensif. Beban moral dan sosial selalu diletakkan pada perempuan, sementara laki-laki jarang, atau bahkan tidak pernah, diperiksa atau diberi standar yang sama.

Keperawanan dan Seksualitas Perempuan: Tabu dan Nilai Kesucian

Narasi tentang keperawanan sebagai lambang kesucian dan harga diri perempuan membuat banyak perempuan hidup dalam rasa takut yang konstan. Takut dibilang ‘rusak’, takut tidak laku, atau takut dicap sebagai perempuan ‘nakal’. Hal ini pun berdampak besar secara psikologis. Banyak perempuan yang mengalami tekanan emosional, bahkan trauma, karena merasa gagal memenuhi standar suci yang tidak berdasar itu.

Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat patriarki menerapkan standar ganda terhadap seksualitas. Seperti yang dikatakan Anthony Giddens dalam The Transformation of  Intimicy: Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies (1992) bahwa reputasi seorang perempuan dilihat dari cara ia menjaga keperawanannya, sedangkan laki-laki dilihat dari seberapa banyak perempuan yang bisa ditaklukkan. 

Pandangan ini menunjukkan bahwa seksualitas laki-laki justru menjadi sumber kebanggaan, sementara seksualitas perempuan dibungkam dan diatur secara ketat. Sistem ini membuat perempuan hidup dalam tekanan untuk selalu terlihat “suci”, sedangkan laki-laki justru diberi ruang luas untuk mengeksplorasi tubuh dan hasratnya.

Tidak jarang, perempuan terpaksa menjalani prosedur rekonstruksi selaput dara atau menyembunyikan pengalaman seksualnya demi mempertahankan relasi atau eksistensinya di masyarakat. Hal ini menunjukkan sistem sosial telah menciptakan ketimpangan yang begitu besar dalam hal kontrol terhadap tubuh antara laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Antara Rasa Bersalah dan Tubuh yang Menjerit: Dilema Seksualitas Istri dalam Pernikahan

Membongkar Mitos, Mengembalikan Otonomi Tubuh Perempuan

Perempuan harus diberi ruang untuk mendefinisikan ulang tubuh dan seksualitasnya secara bebas, kritis, dan utuh. Seksualitas bukan sesuatu yang harus disembunyikan, tetapi bagian dari pengalaman manusia yang sah. Kita perlu memulihkan hubungan perempuan dengan tubuhnya sendiri bukan sebagai objek moral, tapi sebagai ruang agensi dan kebebasan.

Penolakan terhadap mitos keperawanan bukan ajakan untuk seks bebas, melainkan seruan akan pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan yang seharusnya disediakan oleh negara agar semua orang, terutama perempuan, dapat memahami tubuhnya secara ilmiah, etis, dan manusiawi.

Sudah saatnya kita hentikan warisan budaya yang menjadikan vagina sebagai arena penghakiman dan keperawanan sebagai beban turun-temurun. Tubuh perempuan bukan milik negara, laki-laki, maupun keluarga melainkan milik perempuan itu sendiri. Dan hanya perempuanlah yang berhak menentukan narasinya.

0 comments

Leave a Comment