Film Sore: Istri Dari Masa Depan (2025) mengajak kita mengikuti perjalanan Sore yang sedang berduka, namun harus berpacu dengan waktu. Hanya untuk kembali ke masa lalu dan bertemu suaminya, Jonathan. Sekilas, Sore tampak terpenjara dalam konstruksi peran gender tradisional sebagai istri di tengah budaya patriarki. Tanpa sadar, Jonathan pun demikian karena terbelenggu dinamika maskulinitasnya.
Sebagai penonton, saya justru menangkap film garapan Yandy Laurens ini berupaya membingkai maskulinitas sebagai sebuah spektrum. Hal ini pun cukup unik dikupas melalui kacamata feminisme, mengingat maskulinitas dan femininitas dianggap sebagai sesuatu yang tunggal oleh patriarki.
Meski tidak ditampilkan secara eksplisit, perkembangan nilai-nilai maskulinitas Jonathan berkelindan dengan nilai-nilai femininitas Sore dalam setiap percakapan sederhana mereka. Sehingga, dalam mengupas maskulinitas pada tokoh Jonathan pun tidak dapat terlepas dari membahas femininitas pada tokoh Sore.
Ragam Representasi Maskulinitas pada Tokoh Jonathan
Sejak awal film dimulai, kita diajak untuk mengawali perjalanan lintas waktu ini dari sudut pandang Jonathan terlebih dahulu. Saya menganggap, sepertinya, Yandy secara tidak langsung ingin kita lebih memahami dulu tentang dinamika maskulinitas Jonathan.
Baru kali ini saya melihat tokoh laki-laki dalam film romantis Indonesia digambarkan dengan cara yang tidak biasa. Sejak bertemu Sore, hidup Jonathan berubah drastis dan bergantung pada prediksi-prediksi perempuan yang datang dari masa depan itu. Penggambaran laki-laki yang umumnya menjadi penentu arah relasi romantis diimajinasikan sebaliknya.
Selain itu, saya juga melihat nilai-nilai maskulin ditonjolkan melalui kebiasaan Jonathan: merokok dan minum alkohol. Stereotip maskulinitas ini semakin diperkuat dengan keberadaan tokoh Sore—yang semakin melegitimasi kebiasaan merokok dan minum alkohol sebagai kebiasaan “milik” laki-laki. Sementara posisi Sore, sebagai perempuan, adalah pihak yang harus “mengubah” kebiasaan tersebut.
Tidak hanya itu, Sore juga datang ke masa lalu untuk membujuk Jonathan bertemu dengan ayahnya. Sisi maskulinitas Jonathan juga dihadirkan melalui keengganannya untuk duduk dan berbicara dari hati ke hati sesama laki-laki. Sebagai bentuk pelepasan emosinya. Bahkan, ketika sudah mampu mendatangi kediaman sang ayah, ia kemudian hanya meninggalkan foto beserta pesan yang menyentuh.
Alur timeloop atau yang tidak berujung dalam film ini, secara tidak langsung juga mengajak kita untuk memaknai ulang tentang maskulinitas itu sendiri di kehidupan nyata. Karena, maskulinitas yang sehat dan dikonstruksikan ulang dapat membawa hubungan romansa yang setara.
Baca juga: Thelma & Louise (1991): Ruang Menembus Batas Perlawanan dan Kebebasan
Sore sebagai Penyeimbang dan Replika Narasi Maskulinitas
Penggambaran Sore sebagai tokoh perempuan mandiri, kuat, serta memiliki keinginan dan kapasitas untuk mengarahkan dan merubah hidup pasangannya, membuat penokohannya juga terkesan seperti penyeimbang narasi maskulinitas Jonathan. Kita bisa melihat bahwa ragam representasi maskulinitas Jonathan kerap kali hadir dalam skenario cerita yang dibuat oleh Sore.
Lambat laun, Sore bahkan berubah menjadi figur yang mereplikasi bentuk maskulinitas yang tak sehat. Sore justru mempraktikkan bentuk cinta yang heroik dan penuh kontrol. Ia ingin mengubah pasangannya, menyelamatkannya, bahkan merasa bertanggung jawab atas kehidupannya. Ini adalah logika maskulinitas yang sering dilekatkan laki-laki dalam hubungan: merasa tahu yang terbaik, memegang kendali, dan tak bisa menerima pasangan apa adanya.
Alih-alih menerima takdir, ia memilih untuk mengulang waktu berkali-kali demi mencapai “versi terbaik” Jonathan. Ia tidak hanya menjadi mothering figure bagi Jonathan, tetapi juga mencerminkan cara maskulin dalam mencintai, yaitu mencinta untuk memperbaiki. Di sini, maskulinitas toksik hadir bukan dalam sosok manusia, melainkan berbentuk relasi kuasa, logika penyelamatan, dan ketidakmampuan menerima kehilangan.
Padahal, perubahan seharusnya merupakan tanggung jawab personal, bukan sesuatu yang dibebankan kepada pasangan, apalagi perempuan. Imajinasi saya justru membayangkan bahwa kehadiran Sore dalam hidup Jonathan bukan untuk terus-menerus mengulang waktu demi menyelamatkannya, melainkan sebagai cara Sore belajar menerima bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diubah, seperti kematian, dan karakter seseorang.
Carlo teman Jonathan pun mengatakan bahwa ada hal yang tidak dapat diubah salah satunya adalah kematian, dan ini seharusnya menjadi petunjuk bagi Sore untuk berhenti mengulang dan mulai belajar melepaskan.
Baca juga: Melihat Kembali Wacana “Cowok Greenflag” pada Tokoh Gwansik dalam When Life Gives You Tangerines
Saat Femininitas Menjadi Penyeimbang
Alih-alih menjadi tokoh penyelamat Jonathan, akan jauh lebih kuat jika perjalanan Sore dibaca sebagai proses spiritual untuk dirinya sendiri. Sebab ia adalah perjalanan panjang untuk menerima kehilangan, berdamai dengan luka, dan mencintai tanpa keinginan untuk mengubah.
Kenyataannya, proses berduka dan mengikhlaskan bukan sesuatu yang instan. Ia membutuhkan waktu, pengulangan, bahkan kegagalan yang menyakitkan sebelum sampai pada titik penerimaan. Seperti yang dilakukan Sore saat berada dalam pusaran timeloop dengan alur yang ia harus tentukan sendiri jalan ceritanya.
Dan, ketika akhirnya Sore berkata, “Aku istri kamu selamanya,” ini mengindikasikan bentuk penerimaan tertinggi sekaligus pernyataan cinta yang kuat. Karena, ia tak lagi terjebak dalam konstruksi maskulinitas yang mewajibkan kepahlawanan, penyelamatan, atau kepemilikan. Ia telah mengakui bahwa perubahan bukanlah tanggung jawab pasangan, melainkan pilihan dan kesadaran personal.
Sore: Istri dari Masa Depan bukan hanya kisah tentang cinta dan waktu, melainkan juga tentang relasi kuasa dan gender, serta bagaimana Sore dan Jonathan bisa mengklaim kembali cinta sebagai ruang pembebasan, bukan beban atau kewajiban. Film ini berhasil menyajikan visual yang sinematik dan alur cerita yang menarik, tapi akan lebih berarti jika kita membacanya sebagai kisah spiritual tentang bagaimana mencintai tanpa mengubah, dan mengikhlaskan tanpa kehilangan rasa.
0 comments