Politik Seksualitas: Program Keluarga Berencana (KB) sebagai Warisan Pemerintahan Orde Baru

Pasti kita semua tidak asing dengan sejumlah slogan yang digunakan oleh BKKBN dalam mengkampanyekan program Keluarga Berencana atau KB, seperti 'dua anak lebih baik', 'dua anak cukup', 'berencana itu keren', sampai 'dua anak lebih sehat'. Kampanye KB disosialisasikan di berbagai ruang media dan institusi, baik pemerintahan maupun swasta. Upaya ini terus dilakukan pemerintah sampai saat ini sebagai salah satu cara untuk menekan angka stunting dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia.

BKKBN telah menetapkan tujuan strategis untuk meningkatkan angka penggunaan alat kontrasepsi modern dari 61,78% di tahun 2020 menjadi 63,41% di tahun 2024. Hal ini dilakukan untuk mengisi kebutuhan KB yang tidak terpenuhi dari 8,6% di tahun 2020 menjadi 7,4% di tahun 2024. Per tahun 2021, jumlah penggunaan kontrasepsi modern di Indonesia dilaporkan sebanyak 57,0%, yang mengindikasikan sedikit peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Tetapi, tahukah kamu bahwa KB adalah salah satu program unggulan nasional warisan dari pemerintahan Orde Baru? Yuk, kita simak penjelasan di bawah ini.

Sejarah Hadirnya Program KB

soeharto-dan-tien-kb

Sumber foto: https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/07/keluarga-berencana-di-era-pak-harto 

Tahun 1950-an merupakan tahun terberat bagi Indonesia dalam menghadapi permasalahan tingginya angka kelahiran dan kematian ibu saat melahirkan. Dalam merespons hal tersebut, beberapa dokter dan aktivis perempuan di tahun 1957 sepakat membentuk PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). PKBI menyebarluaskan program KB untuk pertama kali secara diam-diam karena Presiden Soekarno saat itu menerapkan kebijakan pronatalis.

Era kepemimpinan Presiden Soeharto memulai pergerakan kebijakan kependudukan di Indonesia secara masif. Dari pembentukan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), hingga pembentukan BKKBN yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1970 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Pada tahun 1973, KB dikukuhkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN.

Keberhasilan program KB banyak dipengaruhi faktor budaya. Kultural masyarakat Jawa yang menganut ideologi patriarki, yaitu menempatkan perempuan sebagai kanca wingking (teman belakang) dan konsep macak, manak, masak (berias, melahirkan, memasak), memberikan dampak besar terhadap perkembangan program KB di Indonesia. Perempuan Jawa dianggap lebih mudah diatur melalui kebijakan KB karena peran-peran reproduktif yang melekat pada dirinya. Jawa dianggap sukses dalam mengimplementasikan program KB saat itu, kota Surakarta merupakan salah satunya.

Dinamika Perempuan Kader KB

https___kompas-id_wp-content_uploads_2019_07_PRESIDEN-SOEHARTO84-02_1564354256

Sumber foto: https://www.kompas.id/baca/arsip/2019/07/29/pasang-surut-keluarga-berencana 

Saat itu, BKKBN menggunakan strategi jemput bola untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat agar dapat terlibat dalam program KB. Bersama dengan PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), sukarelawan atau kader KB juga berperan penting dalam kesuksesan program KB. Para kader KB terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan istri-istri PNS yang tergabung dalam korps organisasi wanita bentukan pemerintah. Mereka melakukan home visit, mengunjungi setiap rumah dan keluarga untuk memberikan penjelasan tentang KB.

Meskipun kader KB juga terdiri dari kader laki-laki, tetapi kader perempuan tetap dijadikan ujung tombak keberhasilan program KB karena seringkali pendekatan hanya dilakukan kepada istri saja. Adanya faktor psikologis menjadikan kader perempuan dianggap lebih memahami masalah keperempuanan. Dengan kata lain, program KB sejak awal memang dipandang sebagai “masalah tubuh perempuan”.

Kerja para kader KB tidak berjalan dengan mulus karena adanya penolakan dari beberapa kelompok masyarakat yang masih memegang erat norma “banyak anak banyak rezeki”, sehingga terkadang kader KB juga didampingi perangkat kelurahan, kecamatan, Babinsa (Bintara Pembina Desa), bidan, kepolisian, dan beberapa dinas pemerintah. Hal tersebut memberi kesan pemaksaan kepada masyarakat untuk mengikuti program KB.

Tidak sedikit kader KB harus mengeluarkan dana pribadinya untuk biaya akomodasi. Selain itu, mereka juga memberi uang dan beras agar sebuah keluarga mau ber-KB. Bahkan, kader KB yang merangkap tugas sebagai anggota PKK juga tidak segan mendonasikan uangnya untuk mendirikan klinik KB.

KB, Politik Seksualitas Jaman Orde Baru

Sumber foto: https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/07/keluarga-berencana-di-era-pak-harto 

Sejak adanya program KB di Indonesia, masalah seksualitas yang semula berada di ranah privat berubah menjadi ranah publik. Program KB menunjukkan realitas seksualitas perempuan menjadi sebuah komoditas politik bagi pemerintahan Orde Baru. Melalui analisis Michel Foucault dalam bukunya, The History of Sexuality: Sex and Power, ia berpendapat bahwa seksualitas bukanlah semata-mata fakta biologis atau alamiah, melainkan sebuah konstruksi yang dibentuk oleh norma-norma sosial dan dinamika kekuasaan. Ia juga menekankan bahwa secara historis manusia berusaha untuk mengatur dan mengkategorikan perilaku seksual, membingkainya sebagai sebuah kebenaran yang perlu diatur.

Pada saat itu, pemerintahan Orde Baru mengiringi program KB dengan wacana kesejahteraan keluarga, yaitu menekankan peranan perempuan sebagai ibu dan istri yang bertanggungjawab atas suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara. Pemerintah Orde Baru membawa wacana kesejahteraan keluarga bersamaan dengan wacana kesehatan reproduksi, menempatkan negara seperti halnya sebuah keluarga, sehingga negara berkuasa untuk mengatur urusan seksual anggota keluarga melalui kebijakan kontrol populasi.

Perempuan kader KB ikut merasakan imbas dari politik seksualitas pemerintah Orde Baru secara terstruktur dan sistematis. Mereka menjadi alat legitimasi kekuasaan saat itu untuk mengendalikan hegemoni atas tubuh perempuan. Di sisi lain, keberhasilan program KB mustahil tercapai tanpa pengorbanan dari para kader terhadap negara. Namun, minim perhatian pemerintah Orde Baru dengan kesejahteraan kader KB, yaitu tidak memberikan upah/gaji atas kerja keras yang sudah dilakukan kader-kader KB.

Catatan: Artikel populer ini merupakan pengembangan dari riset yang berjudul “Forgotten Heroes: Family Planning Cadres in Politics of Sexuality in Surakarta (1973-1998)” oleh Adi Putra Surya Wardhana. Bisa diakses di sini.

0 comments

Leave a Comment