Ronald Tannur, Pelaku Femisida Terbukti Melakukan Suap Hakim

Ronald Tannur, terdakwa kasus femisida yang dibebaskan dari tuduhan pada Juli 2024, terbukti melakukan suap pada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Tannur adalah putra mantan anggota DPR dan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Edward Tannur, diduga melalui pengacaranya, Lisa Rahmat (LR), memberikan suap agar dibebaskan dalam kasus kematian kekasihnya. Kejaksaan Agung menyita uang dan bukti elektronik dalam penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah dan apartemen hakim tersangka.

Kronologi kasus ini bermula pada 3 Oktober 2023 ketika terjadi penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera di sebuah tempat hiburan malam di Surabaya. Ronald Tannur, sebagai pelaku utama, menghadapi dakwaan pasal 338, 351 ayat 1 dan 3, serta 359 KUHP. Proses hukum  ini berlanjut hingga akhirnya pada Juli 2024, dimana majelis hakim yang dipimpin oleh Erintuah Damanik memutuskan membebaskan Ronald Tannur. Mereka menyatakan bahwa penyebab kematian korban bukanlah luka yang diterima saat penganiayaan, melainkan karena efek alkohol yang dikonsumsi korban.

Putusan membebaskan Ronald Tannur sangat janggal. Hal ini memicu kemarahan publik dan juga beberapa anggota DPR meminta untuk mengusut putusan bebas Ronald Tannur. Kemudian setelah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan adanya indikasi suap dan gratifikasi terkait vonis bebas tersebut. Penyelidikan lebih lanjut mengarah pada dugaan suap yang melibatkan tiga hakim PN Surabaya: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Ketiganya disinyalir telah menerima suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat (LR), sebagai imbalan untuk mempengaruhi putusan kasus ini.

Bukan hanya itu saja, mengutip BBC.Indonesia, Kejaksaan Agung menangkap bekas pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, dalam kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Dia juga diduga terlibat berbagai kasus dugaan makelar kasus di MA. Tim penyidik Kejagung menemukan uang serta emas senilai Rp1 triliun yang diduga dikumpulkan Zarof dari pengurusan sejumlah perkara sejak 2012.

Kejagung pun melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah dan apartemen milik ketiga hakim tersangka dan LR. Dari hasil penggeledahan, ditemukan uang tunai dalam jumlah besar serta barang bukti elektronik yang menguatkan dugaan adanya transaksi suap. Selain itu, LR dan ketiga hakim tersebut akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Mengutip Kompas.id pada tanggal 22 Oktober 2024, berdasarkan ajuan kasasi dan bukti visum adanya luka akibat benda tumbuh dan lindasan roda akhirnya Ronald Tannur terbukti bersalah melanggar pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. 

Tidak Adanya Upaya Penegakan Hukum Kasus Femisida

Kematian Dini Sera terjadi adanya relasi kekuasaan dan dominasi yang ditunjukkan oleh Tannur, mengindikasikan adanya faktor gender yang kuat dalam tindak kekerasan yang dialaminya. Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk mengontrol atau menghukum Dini atas dasar relasi romantis yang penuh kekuasaan. 

Pembebasan Tannur oleh majelis hakim menimbulkan kritik keras dan pertanyaan terkait keadilan bagi korban kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, terutama pada kasus femisida. Selain itu, dugaan adanya suap dalam vonis bebas tersebut semakin memperparah ketidakadilan dalam kasus yang seharusnya membela hak korban sebagai perempuan yang tewas dalam tindak kekerasan brutal. Pengaruh kekuasaan serta relasi politik yang dimiliki Tannur juga memperlihatkan kompleksitas bagaimana kasus kekerasan gender dapat dipengaruhi oleh faktor politik dan ekonomi yang melekat pada sistem hukum.

Kasus ini menggambarkan isu serius femisida di Indonesia yang masih kerap luput dari perhatian hukum dan sosial. Akar dari femisida terletak pada struktur sosial yang masih mendukung dominasi pria dalam relasi gender, serta pada lemahnya sistem hukum dalam memberikan keadilan pada korban perempuan. Tragedi ini merupakan urgensi bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperketat penegakan hukum terkait kekerasan terhadap perempuan serta membenahi sistem peradilan yang sering kali bias terhadap korban kekerasan berbasis gender.

 

0 comments

Leave a Comment