Tradisi adalah nilai dan norma yang keberlanjutannya bergantung pada mereka yang bersedia menjaganya. Tumbuhan merupakan salah satunya dengan segudang manfaat; obat-obatan, pewarna, dan makanan. Perempuan adalah sosok yang menjadi penjaga, sekaligus pewarisnya. Sayangnya, masyarakat masih menganggap perempuan sebagai kanca wingking (orang yang hanya pintar urusan belakang, seperti mencuci, memasak, dan berbagai pekerjaan domestik rumah lainnya).
Tulisan ini adalah hasil pengamatan saya dengan beberapa perempuan di sebuah tempat, yang terpanggil jiwanya sebagai penjaga tradisi seni membatik dengan menggunakan pewarna alam dari tumbuhan. Di Dusun Gempol, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, para perempuan menjadi garda depan dalam mewariskan nilai-nilai konservasi dan tradisi budaya yang diejawantahkan melalui sebuah seni membatik. Mereka memilih berdaya, di tengah segala keterbatasan dan segala ancaman, lewat seni kain.
Seni Membatik ala Perempuan Lereng Gunung Ungaran

Para perempuan percaya bahwa melalui kebaikan alam dan tumbuhan, seni membatik akan lebih hidup dan bermakna. Sebab membatik adalah seni berbicara yang bukan dimiliki kaum tertentu. Karena melalui seni, jutaan kata akan terwakili, termasuk memotret keragaman hayati mereka yang kian hari kian menipis.
Dan, tumbuhan dengan karakteristik yang berbeda, memberi mereka kekuatan berpesan untuk disalurkan kepada generasi selanjutnya. Tumbuhan yang disalurkan menjadi pewarna itu mereka gunakan untuk motif-motif di kain. Beberapa di antaranya adalah burung merak dan elang jawa yang merupakan hewan langka dan dilindungi akibat ancaman kepunahan. Seperti, burung merak yang cantik nan jelita, dan sayangnya kini hanya tersisa sebuah nama tempat: Merak Mati.
Pertanyaannya, mengapa mereka memilih hewan sebagai motif batik? Sebab, daerah lereng sebagai pusat penyangga juga menjadi pusat biodiversitas. Keberadaan flora dan fauna menjadi indikator dari keseimbangan lingkungan. Ketika satu flora atau fauna mati atau terancam, artinya habitat mereka sedang tidak baik-baik saja.
Jika hutan sebagai tempat tinggal mereka rusak, manusia jugalah yang sengsara. Hal ini karena Gunung Ungaran adalah salah satu gunung yang paling penting di Jawa Tengah, dan hutannya termasuk hutan lindung. Namun, realitasnya kini banyak biodiversitas terancam punah, yang menandakan situasi genting hutan dan segala yang terdampak darinya.
Baca juga: Triple Roles Perempuan Bali: Realitas yang Dibalut oleh Budaya Patriarki
Perempuan Pembatik dan Agensi untuk Menjaga Alam
Para perempuan yang rata-rata tamatan sekolah dasar dan menengah pertama ini, membuktikan bahwa pengabdian tak terhalang oleh jenjang pendidikan formal. Sebab yang mereka perlukan hanyalah kesadaran. Sebuah nilai yang tidak menunggu kau siapa dan anak siapa, tapi hanya perlu telinga dan hati yang terbuka sebagai pintunya.
Meskipun, beberapa masyarakat belum bisa menghargai sepenuhnya usaha yang mereka lakukan lewat seni membatik dengan pewarna alam–sebagai upaya kampanye keragaman hayati Gunung Ungaran. Karena dianggap tidak menjanjikan secara finansial seperti bisnis batik lainnya. Namun, hal itu tak membuat para perempuan gentar. Mereka adalah orang-orang pilihan yang memilih berjalan di atas pilihan yang mereka ambil.
Sebuah sanggar bernama Omah Sawah yang bergerak di isu konservasi menjadi pusat kegiatan mereka. Di sanalah perempuan hebat ini dikenalkan dengan kesenian membatik dan keramahan warna alam. Biru, kuning, jingga, merah, tidak sekadar warna yang merekah. Mereka diproses dari sebuah perjalanan, pengamatan, dan sebuah pembuktian akan keajaiban alam.

Rupa tumbuhan seperti kesumba (bixa orelana), jalawe (terminalia bellarica), mahoni (swietenia mahagony)¸ tarum (indigofera tinctoria), indigo asam (strobilanthes cusia), tertanam di basecamp tempat para perempuan biasa berkarya juga di beberapa jalan yang melintasi perkampungan. Layaknya seorang anak yang belajar dengan kesungguhan, para perempuan ini juga dengan saksama menyerap ilmu yang notabenenya tidak dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat.
Lewat sebuah percakapan, Bu Arifah, sebagai salah satu ibu muda mengatakan kepada saya bahwa kesempatan belajar seperti ini membuatnya merasa lebih utuh. Ia merasa diberikan kesempatan lagi untuk belajar lagi layaknya seorang siswa. Perempuan ini bahkan mengaku tidak terbesit apakah dengan belajar membatik dan warna akan memperkaya dirinya secara finansial. Namun, pengakuannya memberi sinyal bahwa ia menyukai dan menikmati proses belajar ini.
Membatik sebagai Keahlian yang Diwariskan
Para perempuan ini kemudian meneruskan keahlian mereka kepada teman-teman dan anak-anak, hingga satu per satu dari mereka akhirnya menjadi terampil dan dapat menggunakan canting layaknya seorang pelukis dengan kuasnya. Seperti yang dikatakan Bu Ani, seorang pembatik senior bahwa membatik adalah seni yang memerlukan ketenangan. Artinya ketika membatik sebaiknya tidak sedang memendam amarah. Dan, ketenangan itu yang dibutuhkan dari hiruk pikuk rumah tangga.
Baca juga: Melihat "Kebebasan" Lewat Penculikan dalam Highway (2014)
Pada tahun 2018 anak-anak dari para perempuan hebat ini berhasil menyelesaikan delapan karya bertema bumi yang merupakan sebuah gubahan ilustrasi dari buku berjudul Bumi dan Sebuah Pesan untuk Manusia (2019), yang berkolaborasi dengan seniman botanical art dari Meksiko, Cristina Rodriguez Sosa. Kedelapan karya tersebut kini berada di Meksiko sebagai bagian dari kampanye konservasi.
Kini, para perempuan kecil itu turut merawat kesenian membatik dan warna alam di sanggar tersebut. Bahkan, diwariskan kembali melalui upaya pengajaran kepada adik-adiknya. Sungguh, ini adalah lingkaran yang sehat: dari seorang ibu ke anak perempuannya, kemudian dimanifestasikan menjadi sebuah jembatan anak perempuannya untuk berbagi dengan anak-anak lainnya.
Sebagai seorang perempuan dan ibu, banyak yang menjalani pekerjaan domestik setiap hari tanpa henti. Namun, di tengah rutinitas tersebut, tak sedikit yang memilih untuk tetap menghidupkan diri; tetap mengaktualisasi potensi, berkarya, dan terlibat dalam kerja-kerja sosial di masyarakat. Karena perempuan mampu menjadi penggerak perubahan, bahkan dalam aspek sosial yang lebih luas.

Perempuan kerap disandingkan dengan bumi, bukan karena kodrat biologis atau naluri alamiahnya. Melainkan, karena keduanya sama-sama memikul beban yang besar; memberi kehidupan, menopang keberlangsungan, namun sering kali diabaikan. Merawat bukan semata-mata tugas perempuan, tetapi banyak dari mereka memilih menjadikannya sebagai bentuk kesadaran, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketimpangan.
Seperti para perempuan dari Lereng Gunung Ungaran ini yang menumbuhkan gerakan-gerakan sosial melalui tubuh-tubuhnya. Yang kemudian menumbuhkan nilai kesabaran, keberanian, dan berpijak pada harapan akan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
0 comments