Perempuan seringkali dianggap sebagai sosok pendukung di balik layar dan posisi mereka jarang untuk bisa berada sejajar dengan laki-laki. Hal ini tidak hanya dapat kita dengar dalam budaya suku Jawa, tetapi budaya dari suku lain seperti Batak, Bugis, Minangkabau, Bali dan beberapa suku lain di luar sana pun beranggapan hal yang sama. Konsep perempuan sebagai pendukung dari belakang ini sudah diturunkan dari leluhur terdahulu dan masih dapat dirasakan hingga era modern ini. Seperti halnya perempuan suku Jawa menamai konsep ini sebagai ‘kanca wingking’.
Kanca wingking memiliki arti harfiah sebagai ‘teman di belakang’, hal ini sangat erat kaitannya dengan stigma perempuan jawa itu hanya meliputi kegiatan berdandan untuk menyenangkan hati suami (macak), melahirkan keturunan (manak), memasak yang lezat dan bergizi (masak). Hal ini ditujukan pada perempuan Jawa yang mayoritas dari mereka melakukan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya mulai dari berbelanja bahan pangan, membersihkan rumah, mengasuh anak hingga mengurus keperluan kerja suami. Kegiatan-kegiatan tersebut sesuai kesadaran diri mereka terhadap kodrat mereka yang memiliki peran sebagai seorang istri dan juga ibu.
Konsep kanca wingking ini juga akan menyiratkan pemaksaan bagi perempuan untuk selalu mengutamakan kebutuhan orang-orang disekitarnya seperti pasangan, anak, orangtua, atau bahkan saudara mereka. Tidak jarang perempuan-perempuan ini menghiraukan kebutuhannya sendiri hanya karena rasa pengabdiannya. Dengan ini perempuan seolah-olah dihargai dari seberapa besar kerelaannya dalam mengabdi, tanpa mempertimbangkan keinginan dan kebutuhannya sendiri. Di era modern, tekanan ini masih terasa, terutama bagi perempuan yang diharapkan menjalankan peran ganda: sebagai anak, ibu, istri, pekerja, sekaligus pendukung bagi semua orang di sekitarnya. Beberapa perempuan yang tidak menyadari ketidakadilan ini akan memaknai pengorbanan mereka sebagai bentuk dari pembuktian cinta yang besar kepada orang tersayang mereka. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, perempuan-perempuan yang masih memerankan peran ganda ini sangat rentan mengalami kelelahan fisik maupun mental.
Dilansir dari artikel jurnal Triratnawati, A. (2005) bahwa Perempuan Jawa juga seringkali menganggap dirinya dadi wong atau menjadi seseorang yang sukses adalah dengan melihat dirinya yang sudah berstatus kawin. Hal ini menjadi pembenaran dari konsep kanca wingking. Lalu bagaimana dengan anak perempuan yang berstatus lajang? Putri yang bisa juga diartikan sebagai anak perempuan ini merupakan singkatan dari ‘Putus Tri Perkawis’ yang berarti menjadi seorang putri atau anak perempuan dituntut dapat memenuhi perannya sebagai Wadon, Wanita dan Estri. Berikut arti dibalik kata wadon, wanita dan estri:
- ‘Wadon’ memiliki arti abdi, berasal dari kata ‘wadu’. Istilah tersebut juga dapat diartikan bahwa setiap wanita yang telah dilahirkan di dunia ini memiliki kodrat sebagai abdi (mengabdi) semasa hidupnya.
- ‘Wanita’ berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa yang berarti, wani (berani) dan tata (teratur). Wani Tata ini memiliki dua pengertian yang berbeda, yakni; (1) ‘wani ditata’ yang berarti wanita harus berani (mau) untuk diatur. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa perempuan yang harus tetap tunduk pada pasangannya (suami). (2) ‘wani nata’ yang mempunyai maksud, bahwa perempuan (sebagai ibu rumah tangga) harus berani mengatur. Hal ini juga dapat diartikan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab atas pendidikan anak dan seluruh pengaturan (kesejahteraan, kesehatan, kerapian, dll) keluarga. Maka dari itu pendidikan bagi perempuan menjadi perhatian penting agar para perempuan dapat memerankan perannya dengan baik.
- ‘Estri’ memiliki arti pendorong, berasal dari bahasa kawi ‘estren’. Kata estri mengandung konsekuensi yang berupa tanggung jawab yang melekat. Seperti kata pepatah yang mengatakan bahwa “di balik laki-laki yang hebat, selalu ada wanita hebat di belakangnya”. Kalimat tersebut mengartikan bahwa seorang estri harus mampu mendorong suami. Seperti contoh-contoh sederhana saat seorang estri dapat membantu dalam memutuskan sebuah pertimbangan, terutama saat jiwa dan semangat pasangannya (suami) sedang melemah.
Dengan memahami makna dari setiap kata yang ada, terlihat jelas bahwa seorang perempuan memiliki peran besar sebagai kanca wingking dari setelah dia terlahir di dunia ini sebagai perempuan. Hal inilah yang menjadi alasan bagi perempuan jawa sering ditempatkan sebagai manusia kelas dua, yang keberadaannya dinilai berdasarkan seberapa baik ia menjalankan perannya dalam keluarga. Pandangan ini tentu perlu dikritisi, terutama dalam konteks kehidupan modern yang semakin membuka ruang bagi perempuan untuk berkiprah di berbagai bidang.
Dalam artikel jurnal lain yang ditulis oleh Jati, W. R. (2015) juga menjelaskan bahwa secara budaya, masyarakat Jawa adalah masyarakat patrilineal yang menempatkan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (suami). Hal inilah yang nantinya akan menciptakan produk budaya patrilineal seperti kanca wingking maupun macak, masak, manak seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tidak dapat disangkal bahwa konstruksi peran ini telah membentuk ekspektasi masyarakat terhadap perempuan. Ketidakadilan gender dan peran tugas yang dibebankan pada perempuan masih menjadi persoalan bagi perempuan hingga saat ini.
Di sisi lain, era modern membawa perubahan yang signifikan dalam memaknai konsep kanca wingking. Kini, perempuan tidak lagi hanya terbatas pada pekerjaan domestik. Banyak perempuan yang mulai berani untuk dapat berkarir, berwirausaha, dan berkontribusi dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Dukungan dari pasangan, keluarga, dan masyarakat menjadi faktor penting agar perempuan dapat menyeimbangkan peran dalam keluarga maupun di ruang publik. Sudah seharusnya sebagai perempuan Indonesia kita dapat meniru perjuangan R.A. Kartini untuk dapat mematahkan stigma bahwa perempuam hanya perlu berkutat di balik layar. Dengan begitu perempuan dapat lebih berani tampil menjadi sosok pendukung yang berada di samping dan setara dengan laki-laki. Melalui sejarah dan makna dari konsep-konsep ini, penting bagi kita untuk tidak lagi melihat perempuan hanya sebagai "teman di belakang" tetapi sebagai individu yang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri.
Sumber:
Triratnawati, A. (2005). Konsep dadi wong menurut pandangan wanita Jawa. Humaniora, 17(3), 300-311.
0 comments