Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif: Langkah Menuju Kesetaraan Gender

Pada minggu lalu, hari jum’at 27/09/2024 Prodi Sekolah Kajian Gender Universitas Indonesia  bersama Populix mengadakan seminar mengenai lingkungan kerja yang inklusif sebagai cara menuju kesetaraan gender yang dihadiri oleh Vivi Zabkie, selaku kepala Penelitian Sosial Populix, Nurdin Adyaksoono dari Kementerian Ketenagakerjaan RI, Jemirah dari Serikat Buruh Indonesia dan Dr. Hariati Sinaga selaku Dosen Kajian Gender UI.

Ketua Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia, Mia Siscawati memberikan sambutan. Ia mengatakan pada masa Orde Baru, perempuan masih ditempatkan dalam kerangka yang sempit, dimana perempuan hanya dikondisikan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas di ranah domestik untuk hamil dan mengurus anak. Dukungan perempuan bekerja di sektor informal masih sangat terbatas. 

Kemudian sejak tahun 1990-an, upaya untuk mendukung perempuan bekerja mulai muncul di Indonesia. Inisiatif seperti penyediaan fasilitas penitipan anak di tempat kerja diharapkan dapat meringankan beban perempuan yang bekerja dan juga berperan ganda sebagai ibu. Namun, Dengan meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak perempuan dan tuntutan kesetaraan gender, dukungan ini semakin berkembang. Tetapi, meskipun ada kemajuan, Mia mengatakan bahwa masalah diskriminasi gender dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan di tempat kerja masih menjadi tantangan besar di Indonesia hingga hari ini.

Ketidaksetaraan Gender di Lingkungan Kerja

Brian, Presiden dari Populix memberikan sambutan kedua, menurutnya kesetaraan gender di tempat kerja adalah isu krusial yang masih membutuhkan perhatian serius di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Populix menemukan bahwa sekitar 45% pekerja perempuan di Indonesia mengaku mengalami perlakuan tidak menyenangkan di lingkungan kerja. Hal ini mencakup perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan, pelecehan seksual (baik secara fisik maupun psikis), serta kurangnya penanganan terhadap diskriminasi gender.

Diskriminasi semacam ini memperlihatkan bias yang masih kuat di banyak tempat kerja, terutama dalam hal penggajian, promosi, dan pengakuan kontribusi. Beberapa bentuk pelecehan yang dialami perempuan di tempat kerja meliputi pelecehan seksual verbal seperti catcalling, serta pelecehan fisik yang sering kali tidak dilaporkan atau tidak ditangani dengan serius. 

Perempuan yang menjadi korban cenderung diam karena takut akan dampak negatif jika melaporkan pelecehan tersebut. Kurangnya dukungan dari perusahaan, seperti tidak adanya ruang menyusui, cuti menstruasi, atau prosedur standar operasional (SOP) yang jelas untuk menangani kasus pelecehan, semakin memperburuk situasi ini. Akibatnya, perempuan terpaksa menghadapi lingkungan kerja yang tidak ramah dan tidak mendukung. Menurut data penelitian Populix, 77% responden mengatakan bahwa adanya pimpinan perempuan dalam manajemen di dalam perusahaan bisa menciptakan gender equality.

Kesenjangan Pemimpin Perempuan di Manajamen Perusahaan

Vivi Zabkie, selaku peneliti dari Populix, menyoroti pentingnya keberadaan perempuan dalam kepemimpinan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Populix menunjukkan bahwa meskipun jumlah pekerja perempuan di banyak perusahaan cukup besar, posisi manajemen dan kepemimpinan masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan masih mengalami hambatan dalam mencapai posisi strategis di perusahaan, terutama di level kepemimpinan.

Menurut hasil survei yang dilakukan, meskipun ada beberapa perusahaan yang mengklaim memiliki distribusi kepemimpinan yang seimbang, mayoritas posisi manajemen atas tetap dipegang oleh laki-laki. Kurangnya representasi perempuan di posisi kepemimpinan ini menghambat terciptanya lingkungan kerja yang lebih setara.

 Padahal penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam posisi manajemen dapat memberikan dampak positif yang signifikan, baik dari segi produktivitas maupun kesejahteraan karyawan. Program-program yang memberdayakan perempuan di tempat kerja tidak hanya penting untuk mendorong kesetaraan, tetapi juga untuk meningkatkan performa perusahaan secara keseluruhan. Vivi juga mengatakan bahwa adanya diskriminasi terhadap jenis kelamin umumnya terjadi pada perempuan dimana masih ada Pay Gap, catcalling, no menstrual leave, no opportunitis for promotion, no pumping room dan lain-lain. 

Populix juga pernah melakukan riset mengenai masyarakat urban pedesaan, banyak kelompok tani di Indonesia masih dipimpin oleh laki-laki, dengan syarat bahwa hanya kepala keluarga yang diakui sebagai pemimpin. Ini menjadi masalah karena banyak perempuan yang terlibat dalam kelompok tani, tetapi tidak diakui sebagai pemimpin karena norma sosial yang masih kental. Praktik semacam ini memperkuat bias gender yang sudah ada dan menghalangi perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor.

Ketidakadilan yang Dialami Buruh Perempuan

Sementara itu, Jemirah, aktivis buruh, mengungkapkan bahwa buruh perempuan di Indonesia sering kali tidak menyadari bahwa mereka mengalami ketidakadilan gender. Salah satu contoh ketidakadilan yang sering terjadi adalah perbedaan dalam pemotongan pajak. Dalam beberapa kasus, buruh laki-laki tidak dikenakan pajak, sementara buruh perempuan dikenakan pemotongan pajak sebesar 15%, meskipun beban pekerjaan yang mereka emban sama.

Selain itu, buruh perempuan juga sering kali dianggap lebih lemah dan lebih mudah diatur oleh rekan kerja laki-laki. Di lingkungan kerja yang didominasi oleh buruh laki-laki, perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang merendahkan, seperti ditegur hanya karena menggunakan toilet terlalu lama, meskipun laki-laki tidak mendapatkan perlakuan serupa. Hal ini menunjukkan adanya standar ganda dalam perlakuan terhadap pekerja laki-laki dan perempuan.

Salah satu bentuk pelecehan yang sering terjadi di kalangan buruh perempuan adalah pelecehan seksual. Relasi kuasa antara pimpinan produksi dan buruh sering kali menjadi penyebab utama pelecehan ini. Misalnya, perempuan kerap mengalami pelecehan fisik, seperti dicolek atau dibawa ke tempat sepi oleh pimpinan mereka. Sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang berani melaporkan kasus ini, karena takut akan kehilangan pekerjaan atau dipindahkan ke tempat yang kurang nyaman. Bahkan, ada serikat buruh yang dipimpin oleh laki-laki yang justru terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap anggota perempuan.

Selain itu, kurangnya fasilitas bagi perempuan, seperti ruang menyusui, membuat buruh perempuan semakin terpinggirkan. Misalnya, banyak buruh perempuan yang kehilangan air susu ibu (ASI) di pabrik, tetapi hal ini tidak pernah diselidiki dengan serius. Ada kecurigaan bahwa ASI tersebut dicuri untuk dijual atau diambil oleh buruh lain, tetapi kasus-kasus semacam ini tidak mendapatkan perhatian dari manajemen pabrik.

Perspektif Ekonomi Politik Feminis terhadap Kerja

Hariati Sinaga, seorang akademisi yang mendalami ekonomi politik feminis, menekankan bahwa dalam pandangan feminis, konsep "kerja" harus dilihat lebih luas daripada sekadar pekerjaan yang menghasilkan uang. Banyak perempuan yang bekerja di sektor domestik, seperti mengurus rumah tangga dan anak, tetapi pekerjaan ini sering kali tidak diakui sebagai kerja, meskipun memiliki kontribusi besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, pekerjaan reproduksi sosial, seperti perawatan anak dan keluarga, dianggap tidak bernilai karena tidak menghasilkan pendapatan langsung.

Dalam konteks global, banyak perempuan yang bekerja di sektor-sektor seperti industri garmen, tetapi mereka masih menghadapi tantangan besar terkait bias gender. Meskipun pekerjaan di sektor ini dianggap sebagai kemajuan dalam kesetaraan gender karena perempuan bisa mendapatkan upah, kondisi kerja yang mereka alami sering kali kurang layak. Norma sosial yang menganggap perempuan tidak mampu memimpin atau memiliki nilai kerja yang lebih rendah dibandingkan laki-laki masih kuat di masyarakat. Hal ini terlihat dalam berbagai kebijakan perusahaan yang tidak mendukung perempuan untuk mencapai potensi maksimal mereka di dunia kerja.

Bahkan, perempuan yang bekerja di sektor formal maupun informal sering kali masih harus menjalankan tugas-tugas domestik di rumah. Ini menciptakan beban ganda bagi perempuan, yang tidak hanya harus berperan sebagai pekerja produktif, tetapi juga sebagai pengurus rumah tangga. Ketidakadilan ini semakin memperkuat ketimpangan gender di dunia kerja, di mana perusahaan sering kali tidak memberikan dukungan yang memadai untuk meringankan beban perempuan, seperti cuti melahirkan yang layak atau ruang menyusui.

Ketidakadilan Gender dalam Lingkungan Kerja 

Ketidakadilan gender di tempat kerja adalah masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Perempuan masih menghadapi diskriminasi, baik dalam bentuk pelecehan seksual, perbedaan gaji, maupun kurangnya akses ke posisi kepemimpinan. Meskipun ada kemajuan dalam upaya untuk menciptakan kesetaraan gender, tantangan yang dihadapi perempuan di dunia kerja masih besar.

Dukungan dari perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan setara. Ini termasuk menyediakan fasilitas yang mendukung kebutuhan perempuan, seperti ruang menyusui dan penitipan anak, serta mengimplementasikan kebijakan yang adil terkait gaji dan promosi. Selain itu, perlunya penanganan yang benar terkait kasus pelecehan seksual serta mendorong terciptanya ruang aman bersama khususnya kepada perempuan. Hanya dengan kerja sama dari semua pihak, kesetaraan gender di dunia kerja dapat benar-benar terwujud.

0 comments

Leave a Comment