Beberapa waktu lalu, viral sebuah postingan dengan gambar seorang ibu yang sedang menyusui bayinya di tempat umum. Tidak ada yang salah sebenarnya dari aktivitas tersebut, karena tidak menganggu orang lain. Justru salah netizen karena menghujat aktivitas tersebut. Mengapa hujatan sangat tidak pantas diberikan kepada seorang ibu yang sedang menyusui? Seperti yang kita ketahui bahwa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui adalah pengalaman otentik yang hanya dimiliki oleh perempuan.
Barangkali pengetahuan semacam ini tidak perlu diberitahukan lagi, sebab setiap orang mengetahui hal itu. Namun, tidak semua orang memiliki sensitivitas gender, terutama sikap menormalisasi aktivitas menyusui di tempat publik seperti yang divisualisasikan dalam sebuah foto. Tidak hanya itu, bayi memerlukan ASI setiap waktu, sehingga mengharuskan ibu untuk siap melakukan direct breastfeeding (DBF) di mana pun dan kapan pun, termasuk ketika berada di area publik. Jika seseorang yang memotret memiliki sensitivitas gender, justru akan menyuarakan tersedianya ruang laktasi di tempat fasilitas publik agar ibu-ibu yang membawa anak kecil bisa melakukan DBF di mana saja dengan aman dan nyaman. Perilaku mem-bully ibu-ibu yang sedang menyusui adalah sebuah bukti bahwa pengetahuan tentang gender yang dimiliki oleh masyarakat kita masih rendah.
Lain halnya cerita di atas, kita tentu masih ingat sebuah video viral seorang perempuan yang menertawakan perempuan lain yang sedang rebahan di kursi kereta karena mengalami kram perut akibat nyeri haid. Mengapa aktivitas merekam kejadian tersebut sangat tidak manusiawi? Seperti yang kita ketahui, setiap perempuan yang mengalami menstruasi, pasti mengalami sakit atau kram perut. Meskipun kadar kesakitan setiap orang berbeda-beda, perilaku merekam dan menertawakan adalah bukti bahwa si perekam tidak memiliki sensitivitas gender yang cukup, sehingga tidak menghargai momentum yang dirasakan oleh perempuan yang sedang haid.
Video yang viral tersebut mendapatkan banyak kecaman dari netizen. Seharusnya, sikap yang ditujukan terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi adalah memberikan pertolongan ataupun menemaninya. Sikap tidak peka terhadap kodrat perempuan ini seringkali dimiliki oleh setiap orang tanpa memandang jenis kelamin. Perempuan seringkali tidak sadar bahwa, meskipun memiliki pengalaman ketubuhan (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui), tidak memiliki rasa sensitif yang tinggi dalam memperlakukan perempuan lain.
Fenomena lain yang juga menyesakkan dada adalah komentar netizen yang diberikan kepada Xaviera, perempuan muda yang ikut dalam kompetisi Clash of Champion oleh Ruang Guru, yang belakangan namanya menjadi buah bibir masyarakat karena sederet prestasi dan kemampuannya yang sangat bagus. Di antara banyak sekali pujian yang diperoleh, komentar netizen lain yang bikin greget berisi “Percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya ke dapur”, tulis sebuah akun pada postingan foto Xaviera. Membaca komentar tersebut, setidaknya kita memahami bahwa masih banyak masyarakat kita yang masih berpikir bahwa pendidikan sangat tidak penting bagi perempuan. Masyarakat kita masih banyak yang menganggap tugas domestik adalah kodrat perempuan yang wajib ditunaikan. Anggapan melakukan pekerjaan domestik adalah lebih mulia dibandingkan dengan berpendidikan masih melekat pada masyarakat. Bagaimana menyikapi hal ini?
Fenomena di atas merupakan hal biasa yang kita temui di masyarakat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas gender terhadap seseorang adalah melalui pendidikan gender. Bagaimana pendidikan gender dimulai? Keluarga adalah pendidikan utama seorang anak. Pendidikan gender bisa dimulai dari penanaman kebiasaan dalam sebuah keluarga yang akan dijadikan contoh oleh seorang anak dalam praktik kehidupan yang dilakukan di masyarakat. Dalam contoh sederhana, tugas domestik yang dilakukan dalam keluarga perlu diberikan kepada anak-anak tanpa melihat jenis kelamin. Baik laki-laki atau perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci, menyapu, hingga memasak.
Aktivitas tersebut akan mendidik anak untuk tidak berpikir bahwa pekerjaan domestik adalah kodrat perempuan yang harus dilakukan. Tentu, cerminan yang harus dilakukan oleh orang tua juga wajib melaksanakan tugas domestik bersama untuk memberikan pendidikan gender kepada anak secara tidak langsung. Sebab teladan yang diberikan oleh orang tua menjadi pendidikan gender yang akan membentuk kepribadian sang anak. Selain tanggung jawab domestik, pemberian hak berpendidikan pada sang anak perlu ditunaikan oleh orang tua tanpa memandang jenis kelamin. Anak laki-laki dan perempuan berhak untuk mengenyam pendidikan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya.
Sejauh ini, dalam konteks pendidikan, kesenjangan pendidikan perempuan dan laki-laki masih kerap kali terjadi. Anggapan masyarakat bahwa pendidikan tidak penting bagi perempuan masih sangat kuat. Ini bisa dibuktikan dengan respon masyarakat yang masih diskriminatif apabila ada seorang perempuan yang cerdas dan memiliki pendidikan tinggi. Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi adalah rival bagi laki-laki, sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pandangan semacam itu tidak berlaku bagi laki-laki yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Kesenjangan ini terus mengakar pada masyarakat dan dianggap sebuah kebenaran.
Masalah ketidaksetaraan gender dalam dunia pendidikan terkait erat dengan diskriminasi. Diskriminasi tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu diskriminasi de jure dan diskriminasi de facto. Diskriminasi secara de jure merupakan diskriminasi secara aturan. Di dalam aturan tersebut laki-laki dan perempuan benar-benar dibedakan. Padahal, dalam dunia pendidikan tidak ada peraturan yang membedakan antara keduanya. Justru keduanya diberikan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Dengan kata lain, secara de jure sejatinya tidak ada diskriminasi. Namun, secara de facto masih terdapat persepsi yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, muncul pandangan bahwa perempuan merupakan warga kelas dua yang berada di bawah laki-laki.
Karenanya, mereka tidak berhak memiliki pendidikan yang sama dengan laki-laki. Dalam konteks perguruan tinggi pun diskriminasi antara laki-laki dan perempuan masih terlihat. Dalam hal pemilihan jurusan misalnya, masih terdapat anggapan jika perempuan itu baiknya mengambil jurusan sastra, sedangkan laki-laki itu teknik. Selain itu, tidak sedikit dari masyarakat juga masih melihat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, sehingga dalam pendidikan mereka lebih diutamakan.
Oleh karena itu, pendidikan gender dalam keluarga yang ditanamkan sejak dini melalui kebiasaan ataupun praktik secara langsung. Dari hal tersebut, akan mengantarkan pada pemikiran anak untuk senantiasa menghargai seseorang dan memberikan kesempatan pada yang sama pada seseorang, tanpa memandang jenis kelaminnya.
Selain pendidikan gender dalam keluarga, masyarakat juga perlu berpartisipasi aktif untuk mengadakan workshop keberlanjutan, pendidikan gender di media sosial, dan lain-lain. Sejauh ini, media sosial adalah ruang yang sangat strategis untuk memberikan pendidikan pada anak muda. Mereka menyerapkan informasi dari media sosial dengan kadar hampir 90%. Oleh karena itu, semakin banyak masyarakat memanfaatkan media sosial dengan memberikan pendidikan gender, berupa konten, pelatihan ataupun wadah atau organisasi, anak muda akan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap gender. Kesetaraan gender bukanlah hal sesuatu yang tercipta secara kebetulan. Ia perlu diupayakan dengan berbagai aktivitas berkelanjutan, sehingga masyarakat mampu menciptakan lingkungan yang setara tanpa adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Sebab negara kita belum disebut sebagai demokrasi, apabila tidak melibatkan atau meniadakan peran perempuan dalam berbagai aspek.
Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan kembali setelah melalui proses edit oleh Tim Perempuan Threads.
0 comments