Generasi Toleran dan Inklusif: Mengapa Pendidikan Gender Perlu Dijadikan Prioritas?

Saat ini, isu gender kembali hangat dibicarakan di berbagai platform media sosial dan kehidupan sehari-hari. Tidak jarang perbincangan tentang gender menuai perdebatan di tengah masyarakat. Masalah sosial di suatu negara seringkali disebabkan oleh isu-isu gender, seperti kesalahpahaman terkait kesetaraan gender, hak perempuan, identitas gender, dan peran gender secara umum. Menurut Fakih Mansour dalam bukunya yang berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, gender adalah penggolongan secara gramatikal yang berkaitan dengan perbedaan peran, fungsi, serta tanggungjawab perempuan dan laki-laki sebagai hasil bentukan masyarakat. Oleh karena itu, gender juga bersifat dinamis dan terbuka pada segala perubahan.

Perkembangan teknologi menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menyebarluaskan pemahaman gender di masyarakat tanggap digital. Namun, informasi yang tersebar luas belum cukup menumbuhkan kepekaan seseorang terhadap isu gender secara komprehensif. Pemahaman gender yang baik akan membentuk pribadi yang kritis terhadap isu-isu ketimpangan sosial, sehingga diperlukan strategi pendekatan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian isu-isu berbasis gender.

Pendidikan gender dijadikan salah satu strategi efektif yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pemahaman dan sikap kritis masyarakat terhadap isu gender. Pendidikan gender mampu memperkenalkan konsep-konsep seperti kesetaraan, persamaan hak, dan menciptakan persepsi yang lebih inklusif serta menghargai keragaman identitas gender. Pendidikan gender bisa dimulai dari peran serta generasi muda sebagai agen perubahan. Generasi muda perlu dididik dan dipersiapkan untuk menjadi aktor yang memegang peranan penting dalam mewujudkan kehidupan adil gender.

Pendidikan gender dapat membantu mencetak generasi muda bertumbuh dengan pemikiran yang lebih terbuka dan bebas dari pembatasan yang tidak adil berdasarkan jenis kelamin. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya mencapai 54,42%, sementara laki-laki mencapai 83,98%. Stereotipe masyarakat umum masih bias dalam melihat peran laki-laki yang bekerja untuk mencari nafkah dan perempuan bekerja hanya membantu keuangan suami. Pemahaman bias gender ini memberikan hambatan yang nyata secara struktural dan kultural, sehingga perempuan seringkali terhalang jalannya untuk berkontribusi maksimal di sektor ekonomi. Berangkat dari permasalahan ini, generasi muda diharapkan dapat memahami bahwa laki-laki dan perempuan sejatinya memiliki potensi yang sama untuk mengejar karier, memiliki minat yang beragam, dan memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam segala bidang.

Pendidikan gender dapat menjadikan generasi muda lebih sensitif terhadap isu kekerasan berbasis gender dan mencari upaya pencegahannya. Berdasarkan Laporan CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2023, secara berturut-turut kasus kekerasan yang dihimpun dari Komnas Perempuan, lembaga layanan, dan BADILAG yaitu sebanyak 3.303 kasus, 6.305 kasus, dan 279.503 kasus. Data tersebut belum mencangkup kekerasan berbasis gender yang dialami oleh laki-laki. Pendidikan gender perlu memampukan generasi muda mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan gender, salah satunya adalah kekerasan berbasis gender. Harapannya, generasi muda yang mendapatkan pendidikan gender sedini mungkin dapat membantu mewujudkan lingkungan yang aman, mengutamakan nilai-nilai kesetaraan, dan menghormati perbedaan gender.

Pendidikan gender dapat meningkatkan kesehatan mental dan emosional seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Stentiford (2024) menunjukkan pentingnya merubah persepsi stereotipe gender yang keliru pada anak-anak sekolah untuk meningkatkan kesehatan mental mereka, yaitu dengan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Stereotipe gender seringkali menyebabkan tekanan psikologis bagi individu yang merasa tidak sesuai dengan peran-peran yang diharapkan oleh masyarakat. Jika pemahaman ini sudah diberika sejak usia muda, generasi selanjutnya dapat terus tumbuh dengan rasa empati yang tinggi dan rasa saling menghargai. Pendidikan gender yang inklusif juga dapat memberi ruang bagi setiap individu untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut dan malu, sehingga membentuk kestabilan emosi dan meningkatkan kesehatan mental.

Pendidikan gender sebagai sarana untuk mendorong potensi keadilan sosial. Isu-isu keadilan sosial di masyarakat memiliki kaitan erat dengan dinamika gender dalam kehidupan sehari-hari. Memahami perbedaan dan kompleksitas peran gender dapat membantu kita melihat bagaimana persoalan gender mempengaruhi akses terhadap sumber daya, kekuasaan, dan peluang. Tidak hanya generasi muda, seluruh lapisan masyarakat bertanggungjawab dalam upaya menciptakan kehidupan yang lebih adil dan setara. Oleh karena itu, kemajuan sosial dan inovasi dari seluruh masyarakat perlu dimanfaatkan dengan baik.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mewujudkan pendidikan gender pada generasi muda saat ini?

Pendidikan gender yang inklusif memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Pemerintah dan lembaga pendidikan bertanggungjawab mengeluarkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender terintegrasi ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Guru dan tenaga pendidik lainnya perlu mendapatkan pelatihan berperspektif gender agar dapat mempromosikan kesetaraan gender dalam interaksi dengan muridnya. Selain itu, peran serta organisasi sosial dan komunitas dapat turut serta membantu melalui program-program yang mendukung kesetaraan gender, seperti kampanye dan edukasi berkelanjutan. Kontribusi dari lintas aktor ini diharapkan dapat membuahkan hasil pendidikan gender yang efektif dan tepat sasaran.

Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan kembali setelah melalui proses edit oleh Tim Perempuan Threads.

4 comments

Leave a Comment