Hadirnya Lovely Man (2011) membuka angin segar bagi kehadiran queer di industri perfilman Indonesia. Cerita yang diangkat pun cukup dekat dengan keseharian kita–ketika waria sering kali distigmatisasi dan diolok-olok karena pilihan hidupnya. Padahal, mereka juga manusia yang perlu dihormati, sama seperti kita.
Menceritakan Cahaya, remaja religius, yang pergi ke Jakarta untuk mencari sang ayah, Syaiful (Ipuy). Saat ditemui, Syaiful digambarkan tak sesuai dengan sosok “ideal” ayah di mata Cahaya dan masyarakat, karena ia adalah waria. Dalam malam yang panjang nan kelam, keduanya belajar untuk memahami situasi hidup satu sama lain yang tak pernah bisa didefinisikan secara tunggal.
Ketika Cinta Datang dalam Bentuk yang Tidak Biasa
Dalam obrolannya bersama Cahaya di sepanjang jalan Jakarta, Ipuy mengungkapkan ia bekerja sebagai kuli bangunan pada siang hari. Ia menikahi ibu Cahaya karena hal yang sederhana, yaitu rasa nyaman. Ia terbiasa mampir ke rumah perempuan itu dengan disuguhi mie instan dan teh manis setelah seharian kerja berat sebagai kuli bangunan. Perasaan nyaman itu pun berubah jadi keputusan besar untuk menikah.
Baca Juga: Mengapa Kita Harus Tetap Berisik Soal Pemerkosaan Massal Mei 1998?
“Ya gue juga nggak tahu, mungkin itu kali, ya, yang namanya cinta,” jawab Ipuy ketika Cahaya bertanya kenapa pada akhirnya ia menikah dengan sang ibu jika pada akhirnya harus berpisah–dan berakhir menjadi waria.
Saya melihat kalimat itu sebagai penggambaran bagaimana cinta dalam kehidupan Ipuy bukanlah hal yang absolut, melainkan cair dan bisa tumbuh dari kebiasaan yang diulang dalam kesehariannya. Dari kisah Ipuy, saya melihat konsep performativitas Judith Butler dalam Gender Trouble (1990) berupa pembentukan identitas lewat tindakan berulang yang diakui oleh mayoritas.
Bisa jadi, Syaiful mencintai sang istri karena ia menjalani serangkaian aksi yang akhirnya dimaknai sebagai cinta, seperti tinggal bersama, makan bersama, menjalani hidup berdua. Cinta pada Syaiful pun tidak datang sebagai kesadaran yang utuh sejak awal, tapi sebagai efek dari tindakan-tindakan kecil yang diulang dan diberi makna.
Karena pada akhirnya, cinta dan kenyamanan itu tak bertahan lama. Setelah lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga, sang istri pun akhirnya tahu bahwa di malam hari, suaminya menjadi waria yang mencari penghidupan dari tubuhnya sendiri: ia berdandan bahkan mengenakan wig.
Tubuh Syaiful yang sehari-hari menjalani peran suami dalam kerangka heteronormatif, perlahan juga memperlihatkan performa lain. Bagi Syaiful, upaya ini adalah bagian dari pencarian jati diri dan kebutuhan ekonomi. Namun, sang istri melihatnya sebagai pengkhianatan atas norma karena ia mengharapkan konsistensi identitas.
Menjadi Waria, Menjadi Ayah sebagai Tubuh yang Membelah Diri
Setelah perceraian, Ipuy pergi ke Jakarta. Ia melanjutkan hidup sebagai waria dan bekerja di malam hari. Sekaligus, tetap bertanggung jawab sebagai sosok ayah dengan mengirimkan uang untuk biaya sekolah Cahaya. Upayanya pun sangat menyentuh saya, karena ia menjalankan fungsi ayah yang lebih konsisten dari banyak pria cishetero.
Saya pun melihat tubuh Syaiful tidak bisa dipahami secara tunggal. Tubuhnya adalah wujud dari seorang ayah, waria, laki-laki (dalam data sipil), dan perempuan (dalam ekspresi dan aspirasi). Ia hidup dalam lapisan-lapisan identitas yang saling bertubrukan tapi juga saling menopang.
Alih-alih bertanya, “Siapa sebenarnya Syaiful?”, film ini justru mengajak saya melihat bagaimana tindakan dan relasi berkelindan dalam membentuk identitasnya. Ketika tubuhnya menjadi saluran untuk mencintai, memberi nafkah, sekaligus mengekspresikan diri, Ipuy menunjukkan bahwa identitas adalah sesuatu yang terus bergerak, dinegosiasikan, dan dapat berbaur sesuai dengan konteksnya.
Ini dikuatkan Toomistu (2018, 2019) yang menunjukkan waria di Indonesia sering menempati ruang-ruang kota yang “terbuang”, seperti salon kecil atau jalanan malam. Meski secara sosial dilabeli sebagai tempat “maksiat”, ruang-ruang itu justru menjadi arena penting bagi waria untuk mengalami afirmasi diri dan merasakan bentuk-bentuk keberadaan yang utuh.
Sehingga, bagi mereka, malam adalah tempat mencari rezeki, sekaligus ruang untuk menjadi terlihat, diakui, dan diterima sebagaimana adanya. Ketika Ipuy turun ke jalan dan berdandan, itu adalah upaya bertahan sebagai dirinya sendiri sekaligus bentuk tanggung jawabnya sebagai ayah yang memiliki anak.
Malam Panjang Penerimaan: Pertemuan dan Percakapan Tentang Hidup
Saya pun dapat memahami bagaimana kebingungan Cahya di awal. Tetapi perlahan–melalui obrolan yang bermakna, ia mulai melihat ayahnya sebagai manusia dengan luka, cinta, dan perjuangan. Mereka bahkan berbagi kenangan, termasuk saat Ipuy mengenang bagaimana ia pernah bermain hujan bersama Cahaya.
Bahkan, adegan di pasar malam, ketika Cahaya melihat Ipuy dengan pacar laki-lakinya, ia hanya mengamati dalam diam yang. Saya melihat itu sebagai ruang pemahaman gadis ini. Di percakapan tersebut, sayangnya Ipuy tetap berada dalam posisi yang tertindas sebab ia sedang berusaha menabung untuk operasi kelamin karena tuntutan sang kekasih.
Seperti yang dicatat Toomistu (2022), banyak waria di Indonesia terus-menerus berada dalam ketegangan antara pengakuan spiritual dan penghakiman sosial. Sehingga, menjadi queer bukanlah jalan keluar dari kekacauan, melainkan posisi yang terus-menerus dinegosiasikan di tengah tuntutan, cinta, dan ketidakpastian.
Oleh karenanya, saya melihat cinta dalam hidup Ipuy pun tak lepas dari negosiasi, tekanan, bahkan subordinasi. Tubuhnya yang terus dituntut untuk berubah dan beradaptasi seperti tak diizinkan sepenuhnya menjadi miliknya sendiri. Dan, di sinilah letak ironi dalam film ini.
Cahaya datang dalam keadaan krisis–santri muda yang takut karena hamil di luar nikah. Namun yang ia datangi adalah sosok yang sudah bertahun-tahun hidup lebih dulu dalam krisis struktural. Tapi, dalam tubuh yang paling ditolak itulah Cahaya akhirnya merasa aman. Ia menemukan bahwa ayahnya tetap mampu memberi tempat untuk beristirahat sejenak–yang tidak menghakimi atau memarahinya.
Identitas yang Tak Pernah Sederhana
Setelah semalam berbicara, mereka harus berpisah. Cahaya kembali ke pesantren, sementara Ipuy tetap tinggal di Jakarta–dalam dunia pinggiran yang keras dan penuh ancaman. Klien yang menagih utang Rp30 juta masih mengincarnya. Hidup Syaiful tentu berada diambang bahaya, terlebih saat ia memberikan seluruh uangnya untuk sang anak.
Tapi, saya melihat malam itu sebagai titik penting. Bagi Cahaya, ia belajar bahwa hidup tidak bisa dibagi sesederhana “baik” dan “buruk”, “ayah” dan “bukan ayah”, “normal” dan “menyimpang”. Bagi Ipuy, ia mungkin tak mendapatkan pengakuan penuh, tapi setidaknya, ia mendapat ruang untuk diingat dan dikenang–terlebih di mata Cahaya.
Walau tak menawarkan akhir yang bahagia, film ini terasa jujur dan menyentuh. Ia memperlihatkan bagaimana orang-orang queer, trans, dan mereka yang tubuhnya “tak sesuai norma” harus terus bertahan di tengah dunia yang tak ingin mereka ada. Inilah poin utama dari Lovely Man bahwa identitas adalah proses dan keberanian untuk menjadi diri sendiri meski tak ada yang siap menerimanya.
0 comments