Nyai sebutan bagi perempuan pribumi yang menjadi istri tanpa ikatan pernikahan resmi bagi pria Belanda. Berbeda dari penggambaran Nyai sebelumnya, Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia, ataupun film Nyai Dasimah yang digambarkan mendapatkan kemewahan dari tuannya, Dido Michielsen, seorang penulis Belanda keturunan Indonesia, menuliskan kisah seorang Nyai melalui novel fiksi yang berjudul Lichter dan ik (2019) kemudian diterjemahkan oleh Marjin Kiri tahun 2022 dengan judul Lebih Putih Dariku. Novel ini justru mengangkat cerita tentang seorang Nyai yang berada dibawah kolonial dan patriarki yang bernama Isah.
Isah, merupakan simbol perlawanan serta kerentanan perempuan pada masa kolonialisme. Cerita dimulai ketika Isah menceritakan ceritanya kepada temannya, Canting Wiggers seorang perempuan Indonesia yang menikahi laki-laki keturunan Indo-Belanda. Isah dahulu bernama Piranti merupakan anak seorang pembatik di Keraton Jogja. Ibu Isah bercerita kepada dirinya, bahwa bapak kandung Isah adalah Pangeran Natakusuma, anak sultan dari Keraton Yogyakarta. Namun, karena bapak Isah tidak pernah mengakui ibunya sebagai selir resmi, Isah pun dianggap sebagai anak di luar nikah. Akibatnya, Isah harus menjalani hidup dalam strata sosial terendah di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Isah yang saat itu belum berumur 17 tahun, dijodohkan oleh ibunya bersama seorang laki-laki tua dan beristri. Alih-alih ingin bebas dari perkawinan serta ingin mendapatkan status sosialnya, Isah pergi keluar Keraton dan mencari laki-laki Belanda totok untuk dinikahinya. Ia berharap bahwa menikah dengan pria kulit putih akan meningkatkan statusnya dan memberinya kebebasan pada hidupnya sendiri.
Perempuan Pribumi Terjebak Kolonialisme dan Patriarki
Dalam Keraton, Isah seringkali mendapatkan peraturan yang tidak masuk akal bagi dirinya. Ia tidak boleh memakai batik dengan corak kesukaannya, ia tidak boleh memakai perhiasaan, benda ataupun peliharaan kesukaannya diambil oleh anak-anak selir Keraton dan Isah tidak boleh menunjukkan kekesalannya itu.
Terlahir sebagai perempuan adalah kesialan, namun terlahir menjadi perempuan dan berada diruang feodal merupakan kesengsaraan. Mungkin inilah yang menggambarkan nasib Isah. Banyaknya ketidakadilan yang dialami Isah sedari kecil sampai ia harus dijodohkan oleh seorang laki-laki yang entah tidak ia kenal, bagi Ibu isah, pernikahan adalah satu-satunya jalan bagi perempuan untuk meraih kebahagiaan dimana perempuan tidak perlu repot untuk mencari nafkah karena dengan menikah perempuan akan aman hidupnya.
Isah melawan ketidakadilan yang ia rasakan. Isah pergi keluar keraton mencari laki-laki Belanda totok, dan ia bertemu dengan Adriaan Rudolph Willem Gey van Pittius seorang perwira Belanda. Isah membuat strategi agar Gey tertarik pada dirinya sehingga ia bisa menjadi bebas dari Keraton.
Tak lama, Isah dan Gey sering berhubungan dan Gey menawarkan Isah untuk menjadi Nyai untuk mengatur harta serta urusan domestik pada Isah. Tak pikir panjang, Isah pun menerima tawaran itu, Isah memilih kabur dari Keraton dan menjadi seorang Nyai untuk tuannya Gey.
Lama kelamaan Isah jatuh cinta kepada Gey, seorang laki-laki berkulit putih itu selalu memperlakukan hangat Isah saat diranjang. Bagi Isah, saat bersama dengan Gey ia merasa mendapat kebebasan, ia bahkan bisa menjadi seorang nyonya dirumah itu. ia hanya perlu menyuruh-nyuruh jongos. Ia menikmati hal itu. Namun, kebahagiaan yang dirasakan Isah adalah hal yang semu. Ia tetap hanya seorang Nyai yang dimiliki tuannya.
Di Balik Status Nyai yang Tak Diakui
Nasib Isah seperti tidak pernah memihak padanya. Isah seperti berada dalam penjara kehidupan. Ia tidak pernah bisa bebas-sebebasnya. Ia melahirkan dua orang anak perempuan bersama Gey. Alih-alih diakui untuk menjadi istrinya, justru Gey membuang Isah kepada temannya, Arnold.
Bagi Gey, Isah hanyalah seorang pembantu dan pemuas nafsu dirinya. Gey bahkan berusaha keras untuk menyangkal keberadaan anak-anak yang lahir dari hubungannya dengan Isah. Pouline dan Louisa, anak-anak campuran Belanda dan pribumi, tidak pernah tahu siapa ayah mereka meskipun tinggal serumah.
Arnold dan istrinya Lot, seorang darah campuran Indo-Belanda menerima anak Gey dan Isah untuk diadopsi oleh mereka. Gey memberikan saran kepada Isah untuk mencari tuan baru, namun Isah tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya. Isah memohon kepada Arnold untuk ikut dengan anak-anaknya. Akhirnya, Arnold menawarkan kepada Isah jika ingin terus berada di dekat anaknya, Isah boleh ikut asalkan ia hanya menjadi pengasuh anak-anaknya dan tidak pernah menyebutkan bahwa ia adalah ibu kandungnya.
Kebebasan yang diimpikan Isah hanya tetap menjadi angan-angan utopis. Sebagai perempuan Jawa yang menjadi Nyai, kebebasan bukan lagi pilihan baginya. Kisah Isah sebagai Nyai menjadi bagian dari sejarah kelam dalam era kolonialisme Belanda.
Kisah Isah bukan hanya terjadi pada dirinya, melainkan banyak terjadi pada perempuan di Indonesia yang menjadi Nyai saat itu. Perempuan dimasa itu sudah dibelenggu patriarki, dibelenggu juga oleh kolonialisme.
Perempuan yang menjadi Nyai sering kali berada dalam posisi yang sangat terbatas. Di satu sisi, ia dianggap lebih tinggi dari status sosial pribumi lainnya, namun disisi lain ia hanyalah seorang budak seks oleh tuannya yang kapan saja bisa disingkirkan.
Melalui novel Lebih Putih Dariku Karya Dido Michielsen, melihat kisah seorang perempuan pribumi yang menjadi Nyai lebih dalam. Tentunya, kisah Isah mendobrak stigma negatif seorang Nyai dan juga membuka kenyataan yang ada bahwa nyai-nyai pribumi memang tidak seindah seperti yang diceritakan sebelumnya, Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia ataupun dalam film Nyai Dasimah.
0 comments