Mengapa Kita Harus Tetap Berisik Soal Pemerkosaan Massal Mei 1998?

Peringatan: Artikel ini mungkin bisa membuatmu tidak nyaman karena menceritakan secara eksplisit kejadian pemerkosaan massal Mei 1998.

Belum lama ini, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon dalam sebuah wawancara dengan IDN Times menyampaikan pernyataan kontroversial yang menyulut kemarahan publik. Ia meragukan kebenaran tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 dan menyebutnya sebagai “cerita”, bukan fakta sejarah. Bahkan, pria ini menantang siapa pun untuk menunjukkan bukti konkret terkait peristiwa perkosaan massal Mei 1998

Bahkan, dalam rils persnya, Kementerian Kebudayaan RI menyikapi kejadian ini dengan dalih bahwa istilah “massal” belum terbukti secara sah. Kami melihat bahwa narasi ini adalah bentuk pengkhianatan kepada para korban dan pendamping korban yang telah lama berjuang menghadapi trauma dan impunitas hukum. Ini juga bentuk penyederhanaan kekerasan sistemik dan mengabaikan konteks sosial-politik yang membuat banyak kasus tidak pernah terungkap sepenuhnya ke publik atau dibawa ke ranah hukum.

Dokumen TGPF: Fakta Pemerkosaan Massal dalam Kerusuhan Mei 1998

Dilansir Historia, pada 15 Juli 1998, tokoh-tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengajukan permohonan bertemu dengan Presiden Habibie yang baru menggantikan Soeharto untuk membicarakan kekerasan seksual dan penganiayaan fisik yang dialami para korban. Di hari yang sama, Presiden Habibie menyatakan permintaan maaf yang disiarkan secara langsung di televisi.

Merespons adanya pemerkosaan massal Mei 1998, pada 23 Juli 1998, Presiden Habibie dan sejumlah menteri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Dalam laporan resminya, TGPF menemukan 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan, yang dilakukan secara sistematis dan menyasar perempuan Tionghoa.

Berikut ini adalah kesaksian salah seorang kakak perempuan yang menjelaskan bagaimana adik perempuannya mengalami trauma setelah melihat langsung seorang perempuan Tionghoa diperkosa secara bergilir (gang rape).

Kutipan ini diambil dari dokumen Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, bagian Dokumentasi Awal No. 3 tentang Perkosaan Massal dalam Rentetan Kerusuhan: Puncak Kebiadaban dalam Kehidupan Bangsa (hlm. 67)

Minimnya pelaporan dalam kasus kekerasan seksual Mei 1998 sering dijadikan dalih untuk meragukan keberadaannya. Padahal, ketidakhadiran korban dalam ruang publik merupakan hasil dari kekerasan struktural dan kultural yang kompleks. Banyak korban perkosaan, bahkan para saksi mata, mengalami trauma psikologis yang mendalam sehingga memilih memendam luka ini dalam diam–yang terus bergulir hingga ke generasi selanjutnya.

Lebih dari itu, kematian Ita Martadinata secara misterius juga menjadi simbol bisu dari bagaimana pembungkaman benar-benar dilakukan untuk menghentikan perjuangan perempuan melawan nafsu kebinatangan para penguasa. Tragedi yang dialaminya adalah representasi ketakutan korban perkosaan dan saksi mata yang sebenar-benarnya.

Kutipan ini diambil dari dokumen Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, bagian Dokumentasi Awal No. 3 tentang Perkosaan Massal dalam Rentetan Kerusuhan: Puncak Kebiadaban dalam Kehidupan Bangsa (hlm. 67)

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana budaya misoginis dan seksis sudah sejak dulu dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa, tubuh perempuan selalu direduksi sebagai objek yang bisa dikoyak-koyak. Tidak heran, hingga hari ini, negara belum mampu memberikan sistem perlindungan yang layak bagi para korban kekerasan seksual. Selain itu, penyangkalan terhadap peristiwa ini pun membuktikan bahwa Fadli Zon sebagai wajah pemerintah yang ahistoris telah menunjukkan keberpihakan kepada pelaku kekerasan dengan cara melindunginya–yaitu menghilangkannya dari catatan sejarah.

Pemerkosaan Massal Mei 1998 sebagai Cikal Bakal Berdirinya Komnas Perempuan

Dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie, Saparinah Sadli dan Mely G. Tan, selaku perwakilan dari Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, memberi usulan kepada Presiden Habibie untuk membentuk Komisi Nasional yang secara spesifik bergerak dalam isu perempuan di Indonesia. Dilansir Komnas Perempuan, usulan ini didasari pada pemikiran bahwa kepentingan perempuan harus disuarakan agar tidak sekedar dititipkan kepada lembaga yang punya berbeda ideologi dengan gerakan perempuan.

Melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Presiden Habibie meresmikan berdirinya Komnas Perempuan sebagai komitmen konkretnya atas kasus pemerkosaan perempuan yang sebagian adalah etnis Tionghoa pada saat kerusuhan Mei 1998.

Enam tahun kemudian, Keppres tersebut digantikan dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Karena ada beberapa penyesuaian, Keppres tersebut diubah dengan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Menyikapi penyangkalan itu, pada 15 Juni 2025, Komnas Perempuan mengeluarkan siaran pers sebagai bentuk keprihatinan dan kritik terhadap pernyataan Fadli Zon. Menurut Dahlia Madanih, selaku Komisioner Komnas Perempuan, narasi yang disampaikan Fadli Zon berpotensi memperpanjang impunitas, mengaburkan sejarah, serta mengingkari penderitaan yang nyata dialami para penyintas.

Baca juga: Menolak Lupa: Rekomendasi Buku untuk Menyuarakan Ingatan Kolektif Tragedi 1998

Pelaku Kekerasan Seksual Mei 1998 Tidak Pernah Diadili

Presiden Habibie menjadi satu-satunya presiden yang secara terbuka mengakui adanya pemerkosaan massal dan kekerasan seksual lainnya dalam Mei 1998. Namun, pengakuan ini belum diikuti dengan langkah hukum yang tegas. Rekomendasi TGPF untuk membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM telah dijalankan, bahkan menemukan adanya bukti permulaan atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Tapi hingga hari ini, tidak satu pun pelaku kekerasan seksual dalam Mei 1998 pernah diadili di Pengadilan HAM.

Melalui sebuah unggahan dalam akun Instagram-nya, Gina S. Noer, seorang penulis dan sutradara film Rudy Habibie, memberi kesaksiannya saat ia berkesempatan bertanya ke Presiden Habibie terkait kasus pemerkosaan massal Mei 1998. Gina bertanya, “Mengapa pelakunya tidak diungkap dan dihukum?”. Lantas Presiden Habibie menjawab, “Karena bisa kacau negara ini. Makanya saya akhirnya memutuskan untuk mendorong pendirian Komnas Perempuan.”

Selanjutnya, Gina kembali bertanya, “Siapa yang bersalah, Eyang?”. Kemudian Presiden Habibie membalas, “Saya tidak boleh jawab itu. That is why, once you become a president, you will always be called ‘President’.” Kami memaknai jawaban Presiden Habibie sebagai bentuk dilematis posisinya; pemimpin negara yang tidak hanya merepresentasikan sikap politis secara tunggal, tetapi juga secara kolektif mewakili sikap Indonesia sebagai sebuah negara yang tidak mentolerir segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Sayangnya, dalam setiap pergantian pemerintahan Indonesia, akan selalu ada pihak-pihak yang berusaha menutup dan mengaburkan sejarah kelam ini. Mereka tidak hanya memanipulasi sejarah, tetapi juga melakukan pembodohan masif terhadap rakyat secara tersistem agar kita tidak pernah mempersoalkan masalah moral negara. Generasi muda dipaksa larut dalam kecemasan mencari kerja di tengah gelombang PHK.

Seperti yang dikatakan Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf India, dalam Development as Freedom (1999), bahwa kebebasan ekonomi adalah syarat penting agar warga negara bisa menjalankan kebebasan lain, yaitu berpartisipasi dalam politik dan proses demokrasi. Tanpa jaminan kerja dan hidup layak, rakyat kehilangan ruang untuk berpikir kritis, apalagi terlibat aktif dalam menggugat ketidakadilan sejarah.

Oleh sebab itu, kami mengajak teman-teman semua untuk melawan dengan cara yang paling sederhana, yaitu merawat ingatan kita tentang perkosaan massal Mei 1998. Karena, nafas perjuangan harus terus digaungkan sampai titik darah penghabisan, seperti yang sudah dilakukan oleh Ita, Marsinah, dan sahabat-sahabat kita lainnya.

0 comments

Leave a Comment