7 Rekomendasi Buku September Hitam: Ingatan Pantang Padam!

September menjadi bulan yang selalu menghadirkan bayang-bayang kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa 1965 atau G30S menjadi salah satu pelanggaran HAM terbesar, ditandai dengan kudeta politik oleh Soeharto yang berujung pada penumpasan PKI dan simpatisannya. 

Jutaan orang tak bersalah menjadi korban. Mahasiswa Indonesia di luar negeri kehilangan kewarganegaraan karena paspor mereka dicabut, hidup terlunta-lunta sebagai eksil. Organisasi politik paling progresif dikambinghitamkan, gerakan perempuan dibungkam, karya seni dimusnahkan, begitu pun sejarah yang dikontrol ketat.

Sayangnya, pelanggaran HAM tidak berhenti di 1965. Sampai hari ini, kasus serupa terus terjadi berulang kali; seperti 1998, hingga aksi akhir Agustus sampai awal September 2025 kemarin. Negara, melalui aparat, terus merepresi upaya kita sebagai warga negara yang kritis. Penghilangan, adalah taktik mereka untuk melakukan kekerasan demi “stabilitas”, sementara propaganda dipakai untuk membenarkan tindakan represif. 

Kita, sebagai masyarakat, dipaksa melupakan, dipaksa menerima bahwa kejahatan adalah hal biasa. Karenanya, salah satu cara merawat ingatan adalah lewat bacaan. Berikut tujuh rekomendasi buku yang mengulas tragedi 1965 dari berbagai perspektif sastra, arsip, hingga kajian kritis budaya.

Baca juga: Kerusuhan Mei 1998: Luka Sejarah dan Ketegangan Rasial yang Disederhanakan

1. Pulang (2013) – Leila S. Chudori

Leila Chudori menulis Pulang (2013) dengan gaya naratif yang hangat namun penuh luka. Novel ini mengisahkan kehidupan Dimas Suryo dan tiga kawannya, para eksil politik Indonesia yang terpaksa tinggal di Paris setelah peristiwa 1965. Mereka hidup di tanah asing, membawa kerinduan sekaligus trauma yang tak pernah sembuh.

Yang menarik, kisah ini tidak berhenti pada generasi 1965. Melalui Lintang, putri Dimas, kita diajak menyelami bagaimana warisan sejarah terus membekas hingga Reformasi 1998. Lintang yang tumbuh di Prancis mendapat kesempatan pulang ke Indonesia untuk merekam sejarah keluarganya. 

Novel ini menyajikan hubungan antara pengasingan, identitas, dan ingatan, sekaligus membuka pertanyaan: bagaimana sebuah bangsa bisa berdamai dengan masa lalunya, jika terus berusaha melupakannya?

2. Amba (2012) – Laksmi Pamuntjak

Laksmi Pamuntjak menawarkan pendekatan berbeda melalui Amba (2012). Dengan latar Pulau Buru, tempat para tahanan politik ditahan selama bertahun-tahun, novel ini mengisahkan perjalanan Amba Kinanthi yang mencari kekasihnya, Bhisma, yang hilang pasca 1965.

Meski berbasis sejarah kelam, novel ini tidak kehilangan sentuhan puitis. Kisah cinta Amba dan Bhisma menjelma menjadi metafora tentang kehilangan generasi dan trauma yang diwariskan.

Laksmi berhasil memadukan sejarah, sastra, dan mitologi dengan indah. Sehingga, Amba tidak hanya bicara tentang represi politik, tetapi juga tentang bagaimana cinta bertahan di tengah kekerasan negara.

Baca juga: Menolak Lupa: Rekomendasi Buku untuk Menyuarakan Ingatan Kolektif Tragedi 1998

3. Entrok (2010)  – Okky Madasari

Berbeda dengan dua novel sebelumnya, Entrok karya Okky Madasari menghadirkan cerita dari perspektif rakyat kecil. Tokoh utamanya, Sumarni, hanyalah seorang perempuan desa yang ingin memiliki entrok (bra) sebagai simbol kebebasan tubuhnya. 

Keinginan sederhana itu ternyata membuka jalan ke kisah yang lebih luas. Ketika kehidupan rakyat kecil bergulat dengan kekuasaan militer dan struktur sosial yang menindas. Novel ini menyingkap bagaimana otoritarianisme Orde Baru merembes ke ranah paling intim; tubuh perempuan, keluarga, hingga ruang ekonomi desa. 

Dengan bahasa lugas, Okky menghadirkan kritik tajam pada relasi kuasa, gender, dan negara. Membaca Entrok membuat kita sadar bahwa tragedi 1965 membuat rakyat biasa dipaksa untuk menanggung akibatnya.

4. Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015) – Salim Haji Said

Tulisan Salim Haji Said ini agak berbeda dari rekomendasi di atas. Sebab, ia adalah karya berbasis dokumen sejarah. Secara komprehensif, Gestapu 65 membedah pertanyaan besar: siapa sebenarnya aktor utama di balik peristiwa 30 September 1965?

Dengan memanfaatkan arsip, wawancara, dan data historis, Salim Haji Said menyajikan analisis mengenai peran Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Ia tidak menawarkan jawaban tunggal, melainkan memperlihatkan kompleksitas politik Indonesia kala itu. 

Buku ini penting karena membantu pembaca memahami bahwa 1965 bukan sekadar konflik ideologi, tetapi juga perebutan kekuasaan yang diwarnai manipulasi informasi.

5. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) – Saskia E. Wieringa

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah gerakan perempuan yang paling terdampak pasca 1965. Organisasi perempuan progresif ini difitnah secara sistematis oleh rezim Orde Baru, dituduh terlibat dalam kekerasan seksual terhadap jenderal yang dibunuh. 

Melalui riset mendalam, Saskia Wieringa membongkar bagaimana fitnah itu dibuat, disebarkan, dan digunakan untuk membungkam gerakan perempuan. Melalui politik negara yang patriarki, keduanya bersatu melemahkan gerakan-gerakan perempuan.

Lewat karyanya, Saskia membuktikan bahwa sejarah Gerwani dipelintir demi legitimasi kekuasaan. Ia mengembalikan suara bagi perempuan-perempuan yang dikorbankan, sekaligus membuka ruang baru untuk memahami politik seksualitas dalam tragedi 1965.

Baca juga: Kisah Nyai di Bawah Bayang Kolonial dan Patriarki: Ulasan Lebih Putih Dariku

6. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (2008) – Muhidin M. Dahlan & Rhoma Dwi Aria Yuliantri

Kelindan seni, sastra, dan politik terpaut erat dalam buku ini. Lekra Tak Membakar Buku (2008) adalah dokumentasi arsip Harian Rakjat, media yang menjadi corong kebudayaan kiri di era Demokrasi Terpimpin.

Buku ini adalah upaya untuk melestarikan memori kolektif yang dihancurkan oleh Orde Baru. Dengan membaca arsip-arsip ini, kita bisa melihat bagaimana seniman dan intelektual kiri menyuarakan gagasan tentang keadilan sosial, kebudayaan rakyat, hingga harapan atas Indonesia merdeka. 

Dan yang terpenting, buku ini menjadi penangkal narasi tunggal yang selama puluhan tahun mendiskreditkan Lekra.

7. Kekerasan Budaya Pasca-1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (2013) – Wijaya Herlambang

Buku ini membongkar bagaimana rezim Orde Baru menggunakan budaya populer untuk mengukuhkan kekuasaannya. Melalui analisis film dan sastra, Wijaya Herlambang menunjukkan bagaimana negara menanamkan ideologi antikomunisme lewat produk budaya, mulai dari film propaganda hingga buku pelajaran sekolah.

Melalui Kekerasan Budaya Pasca-1965, kita diajak memahami bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk fisik, tetapi juga simbolik. Melalui budaya, generasi muda Indonesia dibesarkan dengan narasi yang menakut-nakuti sekaligus mendistorsikan sejarah. 

Membacanya akan membuat kita lebih kritis dalam melihat bagaimana negara mengontrol memori kolektif melalui seni dan media. Seperti yang terjadi di masa kini, ketika media dan seni semakin masif dikontrol oleh rezim.

Menolak Lupa, Merawat Ingatan

Ketujuh buku di atas hanyalah sebagian kecil dari lautan literatur yang membicarakan tragedi 1965. Namun, mereka memberi kita jalan masuk untuk memahami sejarah dari berbagai sisi. Membaca buku-buku ini adalah bentuk perlawanan terhadap amnesia kolektif yang ditanamkan rezim. 

Ia mengingatkan kita bahwa sejarah sejatinya adalah situasi yang berulang. Ketika rezim menggunakan cara-cara lama yang diadaptasi, kita harus belajar untuk menangkalnya. Membaca sejarah menjadi salah satu upaya agar kita tak terkukung pada kekerasan serupa. Karena bangsa yang lupa pada sejarahnya, hanya akan mengulang tragedinya.

0 comments

Leave a Comment