Kasus Bunuh Diri Ibu dan Anak di Bandung: Wajah Femisida Struktural

Peringatan: Artikel ini mengandung isu sensitif terkait bunuh diri yang mungkin bisa memicu trauma.

Awal September lalu, kita kembali mendengar kabar duka mendalam dari perempuan. Seorang ibu berinisial EN (34), bersama dua anaknya yang masih berusia AA (9) dan AAP (11 bulan) ditemukan tewas di kamar kontrakannya, di Kabupaten Bandung. Dalam suratnya, tertulis bahwa EN tengah dililit utang sang suami yang menumpuk dan tak kunjung teratasi.

Ia juga menumpahkan kekecewaan terhadap suaminya yang diduga kecanduan judi, membuat kondisi ekonomi keluarga kian terpuruk. Ditambah lagi, sang suami kerap kali berbohong dan tidak pernah sadar, menambah beban emosional EN–sebagai perempuan yang dikonstruksikan untuk menjadi garda terdepan dalam keutuhan rumah tangga.

Apa yang menimpa EN menyingkap satu kenyataan pahit. Ketika keluarga jatuh ke jurang krisis, perempuan sering kali menjadi pihak yang menanggung beban paling berat. Mereka dipaksa bertahan, mengurus anak-anak, sekaligus menanggung rasa malu atas kegagalan ekonomi rumah tangga.

Judi Online: Bom Waktu dalam Rumah Tangga

Judi online bagaikan jeratan tak terlihat bagi banyak rumah tangga, yang bisa menghancurkan banyak keluarga di Indonesia. Fahrudin, dkk. (2024) menegaskan bahwa kecanduan judi online kerap berdampak pada kehancuran relasi keluarga, meningkatnya utang, hingga memicu kekerasan dalam rumah tangga. 

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada 1.066.000 pemain judi online di Indonesia sepanjang kuartal pertama 2025. Ironisnya, mayoritas pemain judi online justru berasal dari kelompok marginal. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan 71% pemain judi berasal dari golongan dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa judi online beroperasi seperti predator finansial dengan memangsa mereka yang paling rentan, khususnya di Indonesia.

Seperti ditunjukkan Dayan, dkk. (2022), femisida di berbagai negara selalu punya wajah lokal. Misalnya, di India ia tampil sebagai dowry killing, di Ghana sebagai pembunuhan akibat tuduhan sihir. Di Indonesia, kita bisa melihat judi online sebagai salah satu wajah baru femisida struktural. Suami EN yang kecanduan judi pun membuat keluarga terjerat utang menumpuk, sehingga beban itu jatuh ke pundak EN, yang pada akhirnya kehilangan harapan hidup.

Baca juga: Femisida: Ketika Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Bunuh Diri Bukan Masalah Individu Semata

Sering kali, bunuh diri dipandang hanya sebagai persoalan individu pada soal kesehatan mental atau lemahnya iman. Namun, sosiolog, Émile Durkheim dalam Suicide: A Study in Sociology (2002) menegaskan bunuh diri juga adalah fenomena sosial yang muncul ketika individu terjebak dalam tekanan luar biasa tanpa dukungan sosial yang memadai. 

Menurutnya, tindakan bunuh diri bisa dipahami melalui empat tipe.

  1. Egoistik (seseorang merasa terasing dan kehilangan keterikatan sosial),
  2. Altruistik (bunuh diri demi kepentingan kelompok atau norma),
  3. Anomik (bunuh diri akibat runtuhnya aturan atau kepastian sosial-ekonomi), dan
  4. Fatalistik (bunuh diri karena tekanan hidup yang terlalu mengekang dan tanpa harapan).

Kasus EN di Bandung mencerminkan seluruh tipe bunuh diri yang diungkapkan Durkheim. Pertama, ia merasa terasing karena hilangnya dukungan sosial yang menyediakan ruang aman (egoistik); terjebak dalam logika pengorbanan sebagai ibu yang bahkan dibawa sampai ke akhirat (altruistik); kehilangan kepastian akibat krisis ekonomi akibat ulah sang suami (anomik); dan terkekang oleh tekanan sosial serta beban moral yang menjerat sebagai seorang ibu (fatalistik).

Melihat kompleksnya permasalahan yang dialami EN, maka apa yang terjadi bukanlah bunuh diri karena alasan personal semata. Kasusnya bahkan bisa dilihat sebagai femisida struktural. Russell dan Radford dalam Femicide: The Politics of Woman Killing (1992) menegaskan perempuan juga dapat kehilangan nyawa akibat praktik sosial yang menindas, seperti diskriminasi kesehatan, pemiskinan, hingga kekerasan domestik yang dibiarkan negara. 

Dengan kacamata ini, apa yang menimpa EN adalah kematian yang lahir dari relasi kuasa patriarki dan kegagalan sistem sosial memberi perlindungan.

Baca juga: Banalitas Kejahatan Negara dalam Mengonstruksi Citra Gerwani

Masyarakat Kita yang Lebih Cepat Menghakimi

 

Sayangnya, ada beberapa dari masyarakat kita yang masih belum memahami bahwa kematian EN ini adalah masalah struktural. Mereka justru melabeli korban sebagai pembunuh dari anak-anaknya. Respons semacam ini memperlihatkan betapa cepatnya publik menghakimi, bahkan pada perempuan yang jelas-jelas adalah korban.

Dalam budaya patriarki, perempuan selalu diposisikan sebagai penanggung jawab moral utama keluarga. Ia harus menjaga ekonomi, mengurus anak, sekaligus memastikan rumah tangga tetap utuh, terlepas dari kondisinya. Ketika beban itu tak tertanggungkan dan perempuan gagal bertahan, label buruk segera dilemparkan padanya. Narasi ini menutupi kenyataan bahwa EN sebenarnya sudah lama berada dalam situasi tertekan akibat ulah suaminya dan ketiadaan jaring pengaman sosial.

Fitz-Gibbon & Walklate (2023) menunjukkan bagaimana kematian perempuan sering kali disembunyikan di balik kategori “bunuh diri” atau “tragedi personal”, sehingga menghapus kekerasan berbasis gender yang melatarinya. Karenanya, menyalahkan EN berarti mempersempit kematiannya menjadi persoalan moral individu semata. Bukan dilihat sebagai akibat dari struktur patriarki, kekerasan ekonomi, dan absennya negara.

Baca juga: Menyoal Grup Inses di Facebook: Surga Predator, Neraka bagi Korban

Kegagalan Negara Menjamin Hidup yang Layak

Dalam Crisis of Care? On the Social Reproductive Contradictions of Contemporary Capitalism (2017), Nancy Fraser menjelaskan bahwa perempuan kerap dipaksa memikul beban ganda, seperti mengasuh anak, menopang kebutuhan emosional keluarga, sekaligus menjaga ekonomi rumah tangga, tanpa dukungan yang memadai. Apa yang disebut Fraser terlihat dalam kasus EN, ketika beban merawat dipaksa menjadi tanggung jawab individu, sementara negara justru menarik diri dari kewajiban menyediakan jaring pengaman sosial.

Padahal, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mewajibkan negara memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui kebijakan seperti perumahan, pangan, kesehatan, hingga pelatihan keterampilan. Namun kenyataannya, ketiadaan subsidi yang memadai, minimnya layanan kesehatan jiwa, dan absennya regulasi efektif terhadap judi online membentuk kondisi yang membuat beban perempuan semakin berat.

Ketika beban perawatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif berubah menjadi tanggung jawab individu semata, terutama perempuan, maka risiko keputusasaan dan bunuh diri seperti yang dialami EN semakin besar. Dalam hal ini, negara juga berkontribusi pada femisida, sebuah bentuk state-perpetrated violence, yang lahir dari kegagalan sistemik melindungi hidup perempuan.

Jika kita terus membiarkan narasi menyalahkan EN, kita tak ada bedanya dengan negara yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Menggeser pandangan dari “EN yang bersalah” ke “apa yang membuat EN sampai di titik itu” adalah langkah penting untuk membuka jalan perubahan. Karena sejatinya, empati adalah pintu masuk untuk mengungkap persoalan struktural yang membunuh perempuan secara perlahan. Sebab, EN tidak mati karena egois, melainkan karena sistem yang membuatnya mustahil untuk hidup.

0 comments

Leave a Comment