Membaca Ulang Tubuh, Kekuasaan, dan Perlawanan Melalui Perempuan di Titik Nol (2003)

Berangkat dari pandangan bahwa Nawal El-Saadawi adalah sosok perempuan revolusioner, saya mencoba meneroka melalui karyanya. Dalam kurun waktu dua hari, Perempuan di Titik Nol (2003) telah habis saya lahap; yang seolah-olah memanggil dalam rentetan buku di rak.

Buku ini ditulis melalui kisah nyata Firdaus atau Woman at Point Zero dalam detik-detik terakhirnya menyambut gembira hukuman mati, musabab ia telah membunuh seorang germo. Pertemuan ini tidak mudah, karena Firdaus selalu menolak bertemu orang luar. Justru saat El-Saadawi hampir menyerah, Firdaus memintanya datang untuk menceritakan hidupnya.

Firdaus mengaku, melakukan hal itu dengan kebenaran, bukan dengan sebilah pisau, pistol, ataupun benda tajam lainnya. Hal itulah yang menyebabkan “mereka” takut dan segera memvonis dan melaksanakan hukumannya.

Prostitusi yang ‘Dibentuk’ oleh Keluarga

Alkisah, Firdaus lahir di desa miskin Mesir. Ia tumbuh dalam keluarga patriarkis dengan ayah yang kasar dan ibu yang tak berdaya. Setelah ibunya wafat, ia tinggal dengan pamannya di Kairo. Alih-alih melindungi, pamannya justru melakukan kekerasan seksual. Ia kemudian dijodohkan dengan lelaki jauh lebih tua, yang kembali memperlakukannya penuh kekerasan.

Baca Juga: "Aku Nujood, Usia 10 Tahun, dan Seorang Janda": Membingkai Pengalaman Korban Perkawinan Anak dan Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga

Firdaus pun melarikan diri ke kota untuk mencari pekerjaan. Namun dunia kerja pun tak bebas dari pelecehan. Majikannya merendahkan dan memintanya melayani di luar pekerjaan administratif. Dari situ, ia masuk dunia prostitusi. Baginya, ini satu-satunya ruang untuk memilih siapa yang menyentuhnya, dengan harga yang ia tentukan.

Fenomena ini masih terjadi di Indonesia. Data Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan kekerasan personal mendominasi sehingga korban sulit mendapat pekerjaan layak. Pada umumnya, kekerasan yang dialami sejak kecil berdampak memutus pendidikan, mengikis rasa percaya diri, dan menjerat korban dalam kemiskinan. Banyak perempuan akhirnya terjebak dalam lingkaran eksploitasi, seperti yang dialami Firdaus.

Prostitusi: Komoditas yang Membebaskan atau Menjebak?

Dalam Pornography: Men Possessing Women (1989), Andrea Dworkin–yang sangat disayangkan adalah zionis, meskipun pemikirannya relevan–mengungkapkan prostitusi bukanlah suatu pekerjaan melainkan institusi patriarki yang memastikan laki-laki memiliki akses terhadap tubuh perempuan. Baginya, tubuh perempuan yang dijual bukanlah sekadar transaksi, tetapi representasi dari kontrol patriarki yang mengobjektifikasi perempuan sebagai komoditas.

Apa yang dialami Firdaus selaras dengan konsep Dworkin. Saat menjadi pekerja seks, Firdaus merasakan ilusi kemandirian; ia bisa menentukan tarif dan memilih klien. Namun, dibaliknya, ia tetap berada di bawah kuasa sistem yang melihat tubuhnya sebagai ‘barang’. Bahkan, “kebebasan” yang ia rasakan adalah hasil dari internalisasi logika patriarki, karena nilai dirinya diukur dari kemampuan memberi kesenangan.

Meneroka kisah Firdaus, dapat dikatakan situasinya mirip dengan dunia prostitusi saat ini. Banyak perempuan masuk ke dunia prostitusi bukan musabab pilihan murni, melainkan karena himpitan ekonomi atau minimnya peluang mendapatkan kerja. Sementara itu, dunia prostitusi tidak memiliki akses terhadap perlindungan hukum yang memadai.

Selain itu, pekerja seks yang memilih pekerjaan ini karena pilihan pribadi, tetap rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan kriminalisasi. Alhasil, tetap terdapat ambiguitas terhadap konsep “pembebasan” di sini.

Pembunuhan yang Dilakukan Firdaus: Upaya Bela Diri atau Kriminalitas?

Ketika Firdaus membunuh laki-laki yang mengeksploitasinya, peristiwa itu bisa dilihat dari dua perspektif. Secara hukum positif, ini adalah tindakan kriminal. Namun, jika melihat dari akar masalahnya, kita bisa membacanya sebagai upaya terakhir seorang korban yang telah kehilangan semua bentuk perlindungan dan keadilan.

Baca Juga: Melihat Realitas Tubuh Perempuan Korban Aborsi dalam Korpus Uterus (2025) oleh Sasti Gotama

Situasi pekerja seks di masa kini juga tak jauh berbeda. Mereka masih menghadapi risiko kekerasan fisik, pemerkosaan, bahkan pembunuhan, sementara hukum cenderung memposisikan mereka sebagai pelaku pelanggaran moral, bukan korban. Banyak di antara mereka yang tidak punya akses ke layanan perlindungan atau keadilan hukum yang memadai. Sehingga, tindakan ‘kriminal’ inilah yang menjadi jalan satu-satunya.

Kasus Firdaus menunjukkan bahwa sistem hukum sering gagal memahami konteks kekerasan yang dialami korban. Tindakan yang secara hukum didefinisikan sebagai “pembunuhan” bisa jadi adalah respons terhadap ancaman yang tak ada habisnya. 

Fenomena ini bahkan dapat dibaca melalui konsep Lenore Walker dalam The Battered Woman Syndrome (2017). Ia mendefinisikan battered woman syndrome sebagai kondisi psikologis korban kekerasan jangka panjang yang membuat tindakan ekstrem menjadi satu-satunya jalan keluar yang terlihat mungkin.

Kisah Firdaus menunjukkan bahwasanya sistem patriarki, kemiskinan, dan kekerasan seksual saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan persoalan struktural yang berrakar pada kegagalan negara. Negara yang membiarkan diskriminasi perempuan dan nihilnya regulasi untuk mencegah kekerasan berbasis gender secara langsung memberikan dukungan bagi pelanggarnya.

Dalam ranah terkecil, keluarga acap kali menjadi ruang reproduksi patriarki: pola pikir yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang hierarkis, mengunci perempuan pada posisi rentan. Karenanya, pencegahannya harus terintegrasi secara menyeluruh, dengan pendekatan yang terintegrasi, mulai dari reformasi struktural hingga transformasi pola pikir dalam keluarga.

0 comments

Leave a Comment