Devaluasi Pekerja Rumah Tangga adalah Dosa Kolonial yang Masih Membelenggu

Perendahan terhadap sosok PRT (Pekerja Rumah Tangga) kerap saya temui dengan mahsyurnya panggilan ‘pembantu’, ‘babu’, ‘bibi’, atau ‘jongos’. Kata-kata yang terasa biasa ini, sebenarnya menyimpan luka sejarah yang panjang. Sebab, sejak dulu, PRT kerap ditempatkan sebagai kerja yang tak bernilai, tak bergengsi, dan sering diabaikan.

Padahal, melalui tangan para PRT, rumah-rumah kita bisa berjalan, anak-anak terurus, dan roda ekonomi kelas menengah terus berputar. Ironisnya, kerja yang menopang kehidupan banyak keluarga ini masih sering diremehkan. Dan, sayangnya, peremehan yang merupakan reproduksi dari mental kolonialisme, terus terjadi hingga saat ini.

Melacak Akar Kolonial dan Kelas dalam Sejarah PRT

Sejak masa kolonial, pekerja rumah tangga sudah menjadi tulang punggung yang menopang kehidupan sehari-hari masyarakat kelas atas. Di pemukiman Eropa, termasuk di koloni seperti Cape of Good Hope pada pertengahan abad ke-17, para perempuan kulit hitam dan India bekerja di dapur, mencuci, mengasuh anak, dan mengatur rumah para pendatang. Merekalah yang kemudian menjadi penghubung pertama antara dunia lokal dan dunia kolonial.

Namun, Meerkerk (2017) mengungkapkan kerja domestik juga menjadi alat politik oleh para penjajah. Mempekerjakan penduduk asli sebagai PRT bertujuan untuk “menjinakkan” dan “mendidik” mereka sesuai standar peradaban Barat. Seperti sistem outing di Amerika Serikat pada abad ke-19, ketika gadis-gadis Pribumi Amerika ditempatkan di rumah keluarga kulit putih untuk “belajar hidup beradab”. Melalui kerja di dapur dan ruang tamu, mereka diharapkan menyerap nilai-nilai domestik kolonial agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang “baik”.

Baca Juga: Prabowo Penuh Omon-Omon: Menagih Janji Presiden Terhadap Pengesahan RUU PPRT

Seiring waktu, pola ini terus berulang. Meerkerk mencatat bahkan sebelum kolonialisme Barat datang, kerja domestik sudah menjadi simbol status di banyak kerajaan lokal. Bentuknya, rakyat dipaksa melayani bangsawan di istana. Ketika kolonialisme masuk, sistem itu diperkuat, dilembagakan, dan diwariskan. Setelah kolonialisme berakhir, seperti dijelaskan Stoler (2002), kebiasaan ini tidak serta-merta lenyap. Justru, para elite pribumi mengadopsi gaya hidup dan mentalitas kolonial. Mereka menjadikan pekerja rumah tangga sebagai simbol kemapanan, bukan sebagai sesama manusia yang bekerja.

Bahkan, di zaman modern ini, ketika masa kolonial telah lewat berabad-abad lamanya, PRT juga masih belum mendapatkan pandangan yang setara. Pada Juni lalu, seorang pekerja asal NTT menjadi korban penyiksaan majikannya. Pelaku enggan memanggil PRT tersebut dengan namanya, bahkan memaksa korban untuk memakan kotoran anjing dan meminum air parit hanya karena dianggap tidak becus bekerja.

Devaluasi Sistematis terhadap Kerja-Kerja PRT

Namun perlu diketahui bahwa kekerasan yang menimpa PRT bukan terjadi semata hanya karena mereka ‘tak becus kerja’. Ia berakar pada struktur sosial dan budaya yang masih memandang kerja domestik sebagai pekerjaan kelas dua karena beroperasi di ruang ‘privat’. Akhirnya, sistem ini pun membentuk lima bentuk devaluasi yang saling berkaitan dan mengekalkan ketidakadilan terhadap para pekerja rumah tangga.

Pertama, devaluasi keahlian. Pekerjaan rumah tangga sering dianggap sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan khusus, padahal kenyataannya menuntut keterampilan tinggi, mulai dari pengasuhan anak, perawatan lansia, kebersihan, hingga manajemen waktu. Namun, seperti yang dijelaskan Oakley (2018) pekerjaan domestik sering diremehkan karena dilakukan di ruang privat dan tidak menghasilkan keuntungan langsung. Devaluasi ini menciptakan pembenaran bagi upah rendah dan absennya perlindungan kerja yang layak bagi PRT.

Kedua, fragmentasi kerja. Pekerjaan rumah tangga yang terkesan repetitif dan terpecah-pecah diremehkan. Padahal, pekerjaan ini terus dilakukan seperti tak ada ujungnya. Sifatnya yang tidak pernah selesai membuat kerja ini sulit diukur dan dinilai secara adil. Bahkan menurut Oakley, oleh para PRT itu sendiri. Fragmentasi ini menutupi fakta bahwa kerja domestik adalah bentuk kerja reproduksi sosial yang menopang para pekerja di sektor publik agar berfungsi optimal.

Ketiga, invisibilitas. Karena bekerja di ruang privat, PRT sering kali “tidak terlihat” sebagai tenaga kerja. Mahanta dan Gupta (2019) menjelaskan bahwa penggabungan istilah “domestik” dan “pekerjaan” menciptakan kebingungan karena PRT sering kali dianggap bagian dari keluarga, bukan pekerja. Padahal, status “seperti keluarga” ini sering dijadikan alasan untuk menghapus hak mereka atas upah layak, cuti, atau perlindungan hukum. Ia bahkan kerap menjadi mekanisme sosial yang menutupi eksploitasi di balik keintiman rumah tangga.

Baca Juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan

Keempat, ketiadaan data. Hingga kini, mayoritas PRT di Indonesia bekerja secara informal, tanpa kontrak tertulis dan tanpa terdata secara resmi. Ketiadaan data ini membuat mereka sulit diadvokasi dan hampir tak terlihat oleh kebijakan publik. Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan ILO (2006), Dewan Kota Quezon di Filipina mewajibkan pendaftaran PRT agar mereka bisa mendapat perlindungan sosial dan mencegah praktik eksploitasi dan kekerasan. Tanpa sistem pendataan serupa, PRT di Indonesia tetap berada di wilayah abu-abu hukum; ketika terjadi pelanggaran hak, akan sulit ditelusuri dan dicegah.

Kelima, isolasi sosial. Banyak PRT bekerja sendirian di rumah-rumah tertutup, tanpa kesempatan membangun solidaritas atau serikat. Situasi ini diperparah oleh kontrol majikan yang membatasi mobilitas dan interaksi mereka di luar rumah. Bagi PRT yang diperlakukan sebagai “keluarga”, batas emosional ini justru menciptakan dilema. Mereka jadi sulit menolak perintah atau menegosiasikan hak tanpa dianggap “tidak sopan”. Isolasi ini mematikan potensi kolektif dan membuat perjuangan mereka kerap terfragmentasi.

Seruan Aksi Konkret: Dari Kesadaran Individu ke Kolektif

Perubahan dapat dimulai dari hal kecil yang tampak sepele, seperti cara kita menyebut dan memandang PRT. Mengganti istilah merendahkan dengan sebutan yang lebih manusiawi adalah langkah awal untuk meruntuhkan warisan kolonial dalam bahasa dan pikiran kita. Sebab, setiap kata memiliki power untuk membentuk cara kita menilai, menghormati, dan memperlakukan sesama manusia. Dari perubahan istilah, lahirlah kesadaran baru bahwa PRT bukanlah pelengkap rumah tangga, melainkan pekerja yang menopang kehidupan banyak keluarga agar dapat berfungsi dengan layak.

Kesadaran individu ini perlu diterjemahkan menjadi aksi kolektif. Kita dapat memulainya dengan memastikan visibilitas dan keamanan PRT di sekitar, misalnya melalui pendataan di tingkat lingkungan. Upaya sederhana ini penting untuk mencegah kekerasan dan eksploitasi yang sering kali tersembunyi di balik dinding rumah tangga. Masyarakat juga perlu memahami bahwa kerja-kerja PRT bukan sekadar urusan domestik, tetapi bagian dari reproduksi sosial yang menopang ekonomi dan regenerasi kehidupan. Tanpa mereka, keseimbangan antara ruang publik dan privat tidak akan pernah tercapai.

Selain itu, penting untuk menciptakan ruang bagi PRT agar dapat saling terhubung, berorganisasi, dan membangun solidaritas. Di ruang kolektif inilah kesadaran kritis mereka dapat tumbuh. Sebab, mereka memiliki ruang aman untuk berbagi keresahan dan keluh kesah, hingga mendapat bantuan sesama. Ketika PRT mampu bersuara dan diakui sebagai subjek yang setara, maka warisan kolonialisme yang menundukkan mereka pelan-pelan dapat digugat dari akarnya.

Baca Juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma

Puncaknya, perjuangan ini harus diwujudkan dalam desakan nyata, yaitu pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Sebagai dokumen hukum yang sah, RUU ini berarti mengakui bahwa kerja perawatan dan reproduksi sosial adalah fondasi peradaban, bukan pekerjaan kelas dua. Karena pada akhirnya, memperjuangkan RUU PPRT bukan semata soal memperjuangkan upah atau perlindungan hukum. 

Yang lebih penting adalah meruntuhkan tembok lama yang memisahkan; yang berkuasa dan yang dikuasai, begitu pula yang publik dan yang privat. Saat dinding itu tak lagi menjadi penghalang, kita bukan hanya membentuk peradaban yang adil dan setara, melainkan juga menghadirkan sisi humanis setiap insan yang selama ini ditekan oleh warisan kolonial.

0 comments

Leave a Comment