1 Mei 2025 menjadi momen penting bagi saya. Sebab, itu pertama kalinya saya turut serta dalam aksi Hari Buruh Internasional (Mayday) di Senayan, Jakarta. Bersama aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), animo yang dibawa bukan untuk merayakan, tapi meluapkan akumulasi kemarahan pada negara dengan segala kebijakannya yang makin beringas.
Di sisi lain, di halaman Monas, Mayday tampak seperti perayaan. Ada panggung dengan Raffi Ahmad sang pembawa acara kondang, hiburan band ibu kota, doorprize, bahkan Presiden hadir untuk pertama kalinya sejak 1965. Acara ditutup dengan apa yang saya sebut sebagai puncak komedi—Presiden Prabowo dan elit buruh menyanyikan Internasionale.
Kita sama-sama tahu ini adalah upaya polarisasi yang sengaja diciptakan rezim. Aksi Senayan disangkal dan direpresi negara, sementara di Monas disambut meriah. Namun, saya melihat massa Senayan adalah mereka yang masih konsisten untuk berjarak dengan kelas penguasa dan masih menjaga semangat perlawanan. Sementara yang di Monas adalah mereka yang naasnya barang kali telah disandera rezim.
Walau demikian, terdapat benang merah yang menyatukan keduanya, yaitu tuntutan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Baca juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan
Janji Prabowo: RUU PPRT Rampung 3 Bulan!
Di Monas, Prabowo merespons 6 tuntutan dengan 10 janji untuk buruh, salah satunya pengesahan RUU PPRT. Ia berkata, “Mudah-mudahan tidak lebih dari tiga bulan RUU ini akan selesai kita bereskan,” sambil menyebut nama Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Janji itu seolah memberi harapan atas omong kosong yang pernah dilontarkan Jokowi perihal pengesahan RUU PPRT. Namun ternyata nasib RUU PPRT hingga kini masih dibiarkan menggantung. Jika dihitung dari 1 Mei, tenggat janji Presiden Prabowo jatuh pada 1 Agustus 2025. Dan kini, janji itu sudah terlewat berminggu-minggu lamanya.
Sudah lebih dari 20 tahun RUU PPRT, ia selalu keluar-masuk Prolegnas tanpa hasil yang berarti. Sementara, RUU KUHAP–yang bermasalah–justru diprioritaskan. Dasco beralasan, pembahasan tersendat karena masa reses.
Namun, kita semua tahu bahwasanya para legislator ini adalah ‘majikan’–atau bahkan pelaku–yang takut bila RUU ini disahkan. Padahal, masalah PRT sangat nyata. Mereka bekerja tanpa kontrak kerja jelas, jam kerja panjang, nihilnya hari libur, dan sering menerima upah rendah atau dicampur dengan imbalan nontunai berupa tempat tinggal atau makanan.
Buruh Perempuan yang Membawa Anak
Di Senayan, saya melihat fenomena ibu buruh membawa anak ke aksi. Walau KPAI menyebut hal itu melanggar UU Perlindungan Anak. Tapi menurut saya, itu justru protes subtil terhadap abainya negara menyediakan penitipan anak (daycare) yang layak, terutama kelas menengah ke bawah.
Hanya mereka, kelas menengah atas, yang bisa mempekerjakan PRT untuk menjaga anak, sementara buruh kerah biru terpaksa membawa anaknya. Bahkan, saat ikut aksi. Hal ini karena mereka tidak selalu punya seseorang untuk membantu menjaga dan merawat anaknya saat ia harus bekerja.
Kerja PRT yang dianggap “solusi” bagi rumah tangga kelas menengah atas juga menyimpan ironi. Mereka kerap diperlakukan tanpa batas waktu kerja, bisa dipanggil kapan saja, bahkan larut malam. Tak jarang, PRT harus menjadi serba bisa—mengurus pekerjaan rumah, merawat anak ‘majikan’, hingga menjadi pendengar keluh kesah.
PRT juga sering kali juga membawa anak mereka sendiri ke tempat kerja. Situasi ini memperlihatkan paradoks bahwa perempuan pekerja diminta mengurus anak orang lain dengan penuh dedikasi, sementara hak mereka sebagai ibu yang juga membutuhkan dukungan justru terabaikan.
Baca juga: Ekosida: Ketika Rusaknya Lingkungan Mematikan Perempuan
PRT adalah Aktor Kunci Reproduksi Sosial
Baik buruh maupun PRT, keduanya sama-sama menjadi aktor penting dalam reproduksi sosial– segala hal yang dibutuhkan dan bersinggungan dengan hajat hidup serta berpengaruh pada kemampuan orang untuk melangsungkan hidupnya maupun hidup orang lain.
PRT yang menjadi tempat bercerita sebetulnya sedang membantu majikan untuk healing dari apapun yang melanda mereka. Dan pikiran serta hati yang lega itu merupakan prasyarat untuk bisa melanjutkan hidup sekaligus bekerja di keesokan harinya. Guna menghasilkan uang sebagai modal pondasi hidup.
Uang yang didapat majikan PRT agar bisa berfungsi sebagai penyangga hidup (baca: memenuhi kebutuhan sehari-hari, ketersediaan pakaian bersih, dan sebagainya) tentu harus dioper untuk kemudian diolah PRT supaya menjadi sesuatu yang berguna. Tak mungkin uang yang diberi bisa memenuhi kebutuhan apabila tidak ada yang mengolahnya.
Ironisnya, walau PRT memainkan peranan sentral dalam reproduksi sosial, akan tetapi kemampuan untuk melakukan kerja reproduksi sosialnya tersendat, salah satu faktornya adalah minimnya upah yang diterima PRT.
Kondisi ini, dilihat dari kacamata Pattenden (2022), adalah patriarki akumulasi; kawinnya kapitalisme dengan patriarki membuat kerja perawatan yang mayoritas dilakukan perempuan menjadi murah, bahkan dianggap “alami”. Kerja rumahan adalah cara kapitalisme untuk memperpanjang jam kerja perempuan, tapi tanpa mengakui nilai gunanya.
Posisi PRT kerap dibungkus dalam konsep “kekeluargaan”, wujud licik untuk menutupi eksploitasi dan kesewenang-wenangan perilaku dari majikan/pemberi kerja. Konsep yang seakan bilang “Kalau dihardik majikanmu, sudah, maafkan saja. Jangan dibuat rumit”
Menariknya, konsep serupa punya wujud berbeda di tempat lain. Safuta dan Camargo (2019) menyebut di Belgia terjadi praktik personalisasi–PRT menjalin hubungan emosional dengan majikan sebagai strategi bertahan hidup. Walau tetap informal, relasi personal ini setidaknya bisa memberi mereka pengakuan ‘profesional’ dan perlindungan.
Namun, perbandingan ini tetap menunjukkan kerja PRT yang masih diposisikan dalam ranah “personal”, alih-alih diakui sebagai bagian dari kelas pekerja yang berhak atas perlindungan penuh.
Baca juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma
Formalisasi PRT: Jalan Menghentikan Politisasi Bansos
Sewaktu berbincang dengan seorang kawan, kami tiba di kesimpulan bahwa apabila kerja PRT diformalisasi, PRT akan mendapat upah minimum dan terintegrasi dalam sistem jaminan sosial. Alih-alih memperbaiki posisi struktural PRT, negara selama ini justru membuat PRT terjebak dalam lingkaran bansos yang konsumtif dan rawan dipolitisir.
Menurut teori political business cycle oleh Nordhaus (dalam Dubois, 2016), bansos sering dipakai sebagai alat politik “gentong babi”–guna menjaga elektabilitas penguasa ketimbang membangun perlindungan sosial berkelanjutan. Karenanya, jadi masuk akal mengapa RUU PPRT terus dimacetkan prosesnya. Karena, negara sengaja melanggengkan ketertindasan guna menjadikan PRT target empuk politisasi bansos.
Formalisasi PRT sejatinya akan mendorong posisi PRT pada posisi struktural ketenagakerjaan yang lebih baik dan mengintegrasikan PRT dalam sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif. Jutaan PRT yang terdaftar dalam jaminan sosial, akan menyumbang investasi fiskal bagi sistem jaminan sosial negara (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan).
Tapi di sisi lain, kelas menengah—penyerap 70% permintaan PRT—khawatir bila harus menggaji setara UMP. Hal ini karena mereka hidup tanpa suntikan bantuan dari pemerintah dan minimnya intervensi kebijakan sebagai jaring pengaman. Maka dari itu, formalisasi PRT harus disertai insentif kebijakan.
Kita bisa melihat bagaimana negara lain memberdayakan para PRT ini. Di Prancis, mereka menerapkan Chèque Emploi-Service Universel (CESU). Rumah tangga yang mendaftarkan PRT lewat CESU mendapat potongan pajak 50% dari biaya jasa rumah tangga. Administrasi pun lebih mudah, sementara hak pekerja terlindungi.
Sementara itu, di Jerman, mereka dipekerjakan lewat sistem mini-jobs. Artinya, pemberi kerja mendapat potongan pajak, sementara pekerja bebas pajak penghasilan dan mendapat asuransi serta jaminan pensiun. Skema semacam ini memang terasa muluk untuk Indonesia, karena kelas menengah justru kerap dikejar pajak. Tapi ide ini bisa diadaptasi, dan tentunya modifikasi.
Formalisasi PRT akan mendorong perkembangan industri care economy. Dengan adanya industrialisasi, diharapkan pekerjaan PRT akan menjadi efektif dan efisien (jam kerja yang jelas, batasan kerja yang rigid, skema perlindungan ketenagakerjaan).
Kelas Menengah tetap dapat mempekerjakan Jasa PRT secara kolektif dengan berbagi biaya penggajian, dan berbagi iuran jaminan sosial. Dengan mekanisme pembagian kerja domestik dalam beberapa rumah pemberi kerja secara fleksibel dan didasari konsensus bersama antara PRT dan pemberi kerja.
PRT kolektif hanya bisa diupayakan apabila rumah masing-masing pemberi kerja saling berdekatan. Sistem pengupahan per jam juga bisa diterapkan agar PRT tidak lagi terikat 24 jam di rumah pemberi kerja.
Baca juga: Memasuki Tahun 2025, RUU PPRT Sampai Mana?
Jalan Terjal yang Dipenuhi Omon-Omon
Dengan segala retorika, Presiden Prabowo telah membiarkan jutaan PRT terjebak dalam sistem yang menindas. Negara memastikan tenaga kerja murah selalu tersedia, sambil menjadikan mereka sasaran politik bansos seraya membiarkan untuk selalu bergantung pada kebijakan karitatif. Janji-janji manisnya tak pernah menjawab akar persoalan. Karena PRT tetap terjebak tanpa perlindungan hukum yang jelas, batasan jam kerja, dan jaminan kesejahteraan.
Preseden sejarah sudah membuktikan, perubahan tidak lahir dari kemurahan hati penguasa. Ia selalu lahir dari desakan yang paling bawah–dari suara-suara kecil yang menolak diam dan kaum-kaum termarjinalkan yang menolak status quo. Jika kita hanya menggantungkan harapan pada omon-omon kekuasaan, kita akan terus diperdaya, dijebak dalam siklus janji kosong yang tidak pernah ditunaikan.
Maka, pemberdayaan PRT harus dimulai dari ruang paling dekat: rumah tangga kita sendiri. Majikan bisa mendaftarkan PRT ke BPJS, membuat kontrak kerja sederhana, atau bahkan membagi biaya secara kolektif di lingkungan perumahan. Tindakan-tindakan kecil ini, bila dilakukan secara kolektif, bisa menjadi fondasi gerakan yang lebih besar.
Dari ruang domestik ke ranah publik, dari skala rumah tangga ke desakan nasional. Walau ia adalah jalan panjang, namun kekuatannya mampu memaksa negara untuk akhirnya mengakui bahwa kerja PRT adalah kerja layak yang juga harus dilindungi. Dengan hukum yang kuat, dan bukan omon-omon semata.
0 comments