Apakah Kita Sudah Layak Memiliki Anak? Ulasan Takopi’s Original Sin (2025)

“Kalian kan sudah sah menikah, kapan punya anak?”

Pertanyaan yang sering dianggap basa-basi ini sebenarnya menyimpan beban yang tak ringan. Sebab, memiliki anak bukan sekadar melahirkan saja, melainkan tanggung jawab seumur hidup untuk memastikan ia tumbuh dalam kasih sayang, rasa aman, dan lingkungan yang sehat. Sayangnya, banyak orang tua terbukti belum benar-benar siap, sehingga anak justru tumbuh dengan luka yang diwariskan.

Hal inilah yang coba dipantulkan lewat serial Takopi’s Original Sin (2025). Sekilas, kisahnya tampak seperti cerita fiksi tentang alien gurita imut bernama Takopi yang datang ke Bumi dengan misi sederhana; membuat manusia bahagia. Namun, di balik visualnya yang manis, cerita ini justru menyingkap realita pahit tentang anak-anak yang hidup dalam keluarga disfungsional, tanpa perhatian dan cinta yang seharusnya mereka peroleh sejak awal.

Melalui tiga tokoh utama yakni Shizuka, Marina, dan Azuma, kita diajak melihat wajah lain dari dunia anak-anak yang terjebak dalam pengabaian, kekerasan, dan tekanan berlebihan. Takopi dengan segala alat canggihnya mungkin bisa memberi solusi instan, tetapi luka batin anak-anak ini tak pernah sesederhana itu.

Shizuka: Anak Tertindas dari Orang Tua yang Tidak Peduli

Kisah Takopi bermula ketika alien gurita bulat berwarna merah muda itu jatuh ke Bumi dan diselamatkan oleh seorang gadis bernama Shizuka. Sebagai tanda terima kasih, Takopi memberinya berbagai alat canggih yang konon bisa membawa kebahagiaan. Anehnya, Shizuka tidak tertarik menggunakan satu pun alat tersebut. Setiap kali Takopi menemuinya, wajahnya justru semakin murung, seolah ada beban berat yang tak bisa dihapus dengan “sihir” teknologi miliknya.

Di balik wajah murungnya, tersimpan kisah keluarga yang rapuh. Ayahnya menghilang tanpa alasan jelas, meninggalkan Shizuka tanpa figur yang bisa dijadikannya panutan. Sementara ibunya adalah pekerja seks malam demi bertahan hidup. Kehadirannya seolah formalitas; sekadar anak yang harus diberi makan dan tempat tidur, tanpa kasih sayang. Ditambah, ia adalah korban perundungan di sekolah.

Fenomena yang dialami Shizuka mencerminkan kehidupan nyata anak yang tumbuh tanpa adanya dukungan emosional dari kedua orang tua. Dalam masyarakat kita, sering kali perempuan dipaksa menanggung seluruh tanggung jawab pengasuhan ketika perceraian atau perpisahan terjadi. Padahal, membesarkan anak adalah tugas bersama. Karena, menurut Zhou, dkk. (2024), ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, berisiko bagi anak untuk mengalami masalah psikologis, rasa rendah diri, hingga kesulitan dalam bersosialisasi.

Shizuka juga menjadi contoh bagaimana stigma sosial memperburuk luka anak. Label “anak haram” yang dilekatkan pada dirinya hanya karena pekerjaan ibunya menunjukkan betapa kejamnya lingkungan terhadap anak yang sebenarnya tidak bersalah. Akibatnya, mereka tumbuh dengan perasaan tidak diinginkan, bahkan mempertanyakan apakah keberadaan mereka di dunia memang layak.

Marina: Anak Naas Korban dari Orang Tua Pelaku KDRT

Marina adalah perundung Shizuka. Sekilas, ia tampak seperti anak nakal yang senang menyakiti orang lain. Namun, lewat berbagai alat canggih Takopi, terungkap bahwa Marina sebenarnya menyimpan luka yang tak kalah dalam.

Ia hidup di bawah kuasa ayah pemabuk yang kerap menghamburkan uang untuk hiburan, lalu melampiaskan amarah dengan sumpah serapah dan pukulan ketika pulang ke rumah. Sementara sang ibu yang merasa dikhianati dan tidak berani melawan justru melampiaskan kemarahannya kepada Marina. Tubuh Marina penuh dengan bekas luka, salah satunya di pipi, yang membuatnya merasa buruk rupa dan tidak layak.

Trauma yang tidak tertangani kemudian bertransformasi menjadi siklus kekerasan baru. Marina mencari “sasaran” untuk menyalurkan sakit hatinya. Dalam pikirannya, Shizuka adalah akar penderitaan keluarganya karena ibunya dianggap sebagai perempuan yang merebut perhatian ayahnya. Dengan menindas Shizuka, Marina merasa seolah-olah ia sedang membalas rasa sakitnya.

Fenomena yang dialami Marina adalah cerminan nyata bagaimana anak-anak korban KDRT kerap terjebak dalam lingkaran kekerasan. Levendosky, dkk. (2012) mengungkapkan anak korban KDRT berisiko tinggi mengalami masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, hingga trauma pasca-kejadian. Hal itu bisa membuat mereka rentan menyalurkan luka menjadi perilaku agresif, baik sebagai korban maupun pelaku.

Karenanya, perilaku Marina yang ‘nakal’ itu adalah bentuk nyata dari trauma antargenerasi yang diwarisi lewat KDRT. Kisahnya menegaskan betapa pentingnya orang tua untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat. Agar tidak menorehkan luka pada sang anak yang bisa bergulir bak lingkaran setan.

Azuma: Anak Cerdas dari Orang Tua yang Penuh Ambisi

Sementara Azuma adalah anak cerdas yang selalu menempati peringkat atas di sekolah. Shizuka menganggap Azuma sebagai penolong serba bisa dalam hidupnya, sementara Marina mengagumi Azuma sebab dia terampil dalam menyelesaikan masalah. Namun, semua itu tak cukup untuk membuat ibunya bangga. Azuma selalu dibandingkan dengan kakak yang dianggap lebih sempurna. Sehingga, ia dilabeli “anak gagal”.

Karena tekanan itu, Azuma hanya berani membicarakan soal nilai dan prestasi. Ia menahan diri untuk tidak meminta perhatian lebih atau bercerita tentang hal-hal kecil dalam hidupnya. Ekspektasi tinggi tersebut membuat Azuma kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Lama-kelamaan, Azuma pun belajar menutupi keinginannya agar tak dianggap kurang.

Fenomena yang dialami Azuma banyak terjadi pada anak-anak saat ini. Tekanan akademik dan perbandingan dengan saudara menjadi pemicu utama lahirnya rasa rendah diri dan hilang jati diri. Padahal, Trinidad (2019) mengungkapkan bahwa anak yang dibesarkan dalam pola asuh penuh ambisi rentan mengalami stres, kecemasan, dan depresi sejak dini. Mereka lebih fokus memenuhi standar orang tua daripada mengembangkan potensi diri.

Dalam jangka panjang, situasi ini dapat memengaruhi hubungan sosial dan kemampuan anak dalam mengambil keputusan dan tindakan. Anak-anak yang tumbuh dengan tekanan berlebih cenderung sulit untuk mengekspresikan perasaan dan sangat rentan mengalami perfectionism maladaptif seperti halnya Azuma.

Anak: Anugerah atau Masalah?

Apakah anak adalah sumber masalah yang mendasari perilaku buruk orang tua dari cerita Shizuka, Marina, dan Azuma? Tentu saja bukan. Mereka adalah korban dari ketidaksiapan orang tua akan rangkaian keadaan yang tidak direncanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh perhitungan.

Ketidaksiapan itu berujung pada rantai penderitaan; Shizuka kehilangan masa kecilnya karena ayah yang abai, Marina terluka akibat keluarga yang retak dan penuh kekerasan, sementara Azuma harus membuktikan cintanya layak ia terima hanya lewat prestasi. Semua ini menunjukkan bahwa yang gagal bukanlah anak, melainkan orang tua yang tidak benar-benar siap menerima peran besar tersebut.

Takopi hadir dengan niat tulus, yaitu mengembalikan senyum anak-anak yang telah lama direnggut. Dengan segala kecanggihan teknologi, ia mencoba memperbaiki luka yang terlanjur dalam. Namun, dalam upaya itu, Takopi justru menyadari satu hal pahit. Bahwa kebahagiaan tak bisa dipaksakan, apalagi diraih dengan merebut kebahagiaan orang lain. Anak-anak juga butuh ruang untuk merasakan seluruh perasaan manusiawi mereka, seperti sedih, kecewa, marah, sekaligus harapan.

Ketika menonton Takopi, daku mempertanyakan, apakah memiliki anak memang sesuatu hal yang benar-benar kita inginkan? Atau hanya untuk mencapai ekspetasi sosial dan budaya yang menyuruh ketika menikah harus memiliki anak.

Walaupun saya seorang laki-laki, tetapi saya bisa melihat bahwa ekspektasi jauh lebih berat ditujukan kepada perempuan dibandingkan laki-laki dalam hal memiliki anak. Hal ini muncul karena perempuan memiliki rahim dan sering dianggap baru menjadi “perempuan seutuhnya” ketika telah menjadi seorang ibu. Ekspektasi tersebut akhirnya diembani pada laki-laki-pasangannya, sehingga kesempurnaan sebuah keluarga sering dipersepsikan hanya tercapai ketika sudah memiliki anak.

Tanpa disadari, banyak pasangan yang memiliki anak hanya untuk mengejar ekspetasi itu. Kita tidak cukup jika hanya menginginkan mereka. Sebab, perlu paham betul konsekuensi yang dipikul–memberi waktu, kasih, perlindungan, dan teladan, bahkan ketika hidup sedang tidak berpihak. Maka, sebelum menyambut kehadiran seorang anak, ada satu pertanyaan yang seharusnya terus menggema dalam hati kita,

“Apakah kita sudah layak memiliki anak?”

0 comments

Leave a Comment