Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan

Ada yang berbeda dalam memperingati kemerdekaan Indonesia di tahun ini. Alih-alih merah putih, sebulan menjelang bulan kemerdekaan, masyarakat justru mengibarkan bendera One Piece. Terlihat, bendera itu terpasang di truk, mobil pribadi, halaman rumah, bahkan berdampingan dengan sang Merah Putih.

Sebagian orang mungkin melihatnya sebagai bentuk ekspresi budaya pop atau humor politik semata. Namun, pengibarannya memiliki makna yang jauh lebih dari itu. Ia adalah simbol perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap semakin jauh dari cita-cita demokrasi. Sehingga, kemunculannya mengandung pro-kontra.

Makna Simbolik Bendera One Piece

One Piece adalah manga dan anime legendaris karya Eiichiro Oda yang telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, adalah seorang bajak laut yang bercita-cita menemukan harta karun legendaris bernama One Piece dan menjadi Raja Bajak Laut. 

Namun, Luffy bukanlah bajak laut seperti dalam stereotip klasik yang kejam atau perampok. Ia dan krunya, Straw Hat Pirates (Bajak Laut Topi Jerami), justru dikenal karena menentang penindasan, menolong rakyat yang tertindas, dan melawan penguasa lalim.

Bendera mereka, bergambar tengkorak dengan topi jerami dan disilang oleh dua tulang, memiliki makna khusus, yaitu persatuan dan semangat petualangan di bawah kepemimpinan Luffy. Topi, digambarkan sebagai simbol impian dan tekad sang kapten. Sehingga, ia melambangkan persahabatan, kesetiaan, dan penuh semangat.

Sepanjang petualangan, mereka secara gamblang selalu melawan rezim otoriter, misalnya arc Alabasta, Enies Lobby, atau Dressrosa. Dan, jika ditelisik, kisahnya sejalan dengan realitas rakyat yang harus melawan penguasa yang menindas.

Baca juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma

Ia Juga Simbol Perlawanan dan Perjuangan Perempuan

Bendera ini, juga dapat dibaca sebagai perjuangan perempuan untuk melawan. Sebagai kelompok yang kerap terpinggirkan, perempuan membutuhkan solidaritas yang menguatkan, baik di dunia nyata maupun dalam representasi fiksi. Karakter perempuan dalam One Piece, seperti Nami dan Nico Robin, menghadirkan narasi yang sarat makna perlawanan. 

Nami dipaksa bekerja di bawah rezim tirani demi membebaskan desanya, sementara Robin diburu sejak kecil karena pengetahuan yang ia miliki. Perjuangan mereka melawan penguasa lalim pun secara tak langsung mencerminkan pengalaman banyak perempuan di dunia nyata yang suaranya dibungkam atau diabaikan negara.

Keduanya kemudian bergabung dalam kru Luffy dan menjadi aktor penting dalam menentukan arah perjalanan. Dalam One Piece, tubuh perempuan memang kerap menjadi medan tarik-menarik antara objektifikasi visual dan agensi naratif. 

Nami dan Robin digambarkan dengan daya tarik fisik yang menonjol, namun juga memiliki kekuatan, kecerdasan, dan peran strategis yang menentukan jalannya petualangan. Karenanya, kehadiran mereka dalam kru menunjukkan bahwa perjuangan melawan penindasan membutuhkan kerja kolektif lintas gender.

Baca juga: Mengapa Kita Harus Tetap Berisik Soal Pemerkosaan Massal Mei 1998?

Mengapa Pemerintah Takut?

Reaksi pemerintah terhadap fenomena ini cukup cepat dan keras. Di beberapa daerah, aparat dilaporkan menyisir lokasi-lokasi yang mengibarkan bendera One Piece. Beberapa video bahkan menunjukkan petugas mencopot bendera tersebut dari tiang, pagar, hingga dari depan rumah warga.

Di beberapa daerah, aparat meminta ketua RT dan RW melaporkan warga yang mengibarkan bendera One Piece agar dapat ditindaklanjuti oleh Babinsa dan Bimas. Imbauan ini dimaksudkan agar situasi menjelang HUT RI tetap aman dan kondusif.

Tidak hanya itu, mural-mural bergambar karakter One Piece dan benderanya ikut menjadi target. Ada laporan warga diminta menghapus gambar tersebut karena dianggap berpotensi “mengganggu ketertiban” dan “menyulut provokasi politik”.

Pemerintah, lewat pernyataan beberapa pejabat, menilai pengibaran bendera ini di bulan kemerdekaan bisa merusak kesakralan simbol negara dan memecah persatuan nasional. Bahkan ada yang menudingnya sebagai bentuk “penodaan” terhadap Merah Putih atau sebagai upaya “menciptakan perpecahan”.

Runtuhnya Demokrasi dan Ketakutan pada Politik Simbolik

Indonesia mengklaim diri sebagai negara demokratis, yang menjamin kebebasan berekspresi. Namun, reaksi terhadap bendera One Piece menunjukkan betapa rapuhnya toleransi pemerintah terhadap ekspresi publik yang mengandung kritik.

Yang seharusnya ditakuti pemerintah bukanlah sehelai bendera atau simbol-simbol yang dianggap mengancam negara. Mereka seharusnya mengkhawatirkan keruntuhan Indonesia karena ulahnya sendiri, bukan antek asing. 

Mereka mencederai makna nasionalisme dengan terus mengeksploitasi rakyat, alam, dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya. Nasionalisme pun direduksi hanya sebatas mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan hormat kepada bendera.

Justru, ketakutan terhadap politik simbolik sebenarnya merupakan pengakuan terselubung bahwa mereka menyadari kesalahan yang telah dilakukan. Mengawasi bendera, spanduk, atau ekspresi protes seolah menjadi cara untuk menutupi fakta bahwa kerusakan negara tidak datang dari rakyat, melainkan dari penguasa yang mengelola negara dengan sembrono. 

Di sini terlihat, kecintaan mereka pada negara hanya bersifat simbolik karena kita dikorbankan demi citra, bukan demi isi dan makna kemerdekaan itu sendiri.

Dalam Discipline and Punish (1995), Michel Foucault–yang memiliki sikap problematik terhadap isu kekerasan seksual–melihat kekuasaan tidak hanya bekerja melalui kekerasan langsung, tetapi juga lewat pengawasan, normalisasi, dan pembentukan pengetahuan yang mengatur bagaimana masyarakat memahami realitas. Mereka mengkonstruksi wacana yang membuat rakyat merasa protes itu sendiri adalah sesuatu yang salah atau memalukan.

Ketakutan ini muncul karena simbol seperti bendera One Piece berpotensi mengganggu monopoli negara atas representasi simbolik dan membentuk identitas oposisi. Respons represif dan label “anti-nasionalis” mengungkap wajah otoriter yang lebih mengutamakan kontrol dan pembungkaman daripada toleransi terhadap kritik. Dan, ketika ruang ini dibatasi, perempuan menjadi kelompok pertama yang merasakan runtuhnya kebebasan.

Baca juga: RUU Polri: Supremasi Polisi yang Menghancurkan Tubuh Perempuan

Perempuan dan Demokrasi 

Bagi perempuan, situasi ini terasa lebih berat. Sebab, meski Indonesia sudah merdeka 80 tahun lamanya, kesempatan berdemokrasi secara setara belum sepenuhnya hadir. Jika hanya dengan ekspresi kritik simbolik bendera One Piece ditekan, bagaimana dengan perempuan yang masih dibungkam lewat kebijakan yang bias, keputusan politik yang abai terhadap kebutuhan mereka, dan ruang publik yang sering kali tidak aman bagi suara perempuan. 

Hak untuk menyampaikan kritik atau memperjuangkan kebijakan yang berpihak kerap dibatasi dengan alasan “menjaga ketertiban” atau “menjaga martabat bangsa”. Padahal yang dijaga sesungguhnya adalah status quo agar kita terus tertindas dan dimanfaatkan oleh negara. 

Kitalah perempuan, korban negara yang tak pernah benar-benar merdeka.

Ketika negara dikelola dengan cara yang mengikis nilai demokrasi, perempuanlah yang pertama kali merasakan dampaknya. Mulai dari kebijakan ekonomi yang memiskinkan, hingga aturan sosial yang membatasi gerak, beban sering kali jatuh di pundak perempuan terlebih dahulu. 

Inilah wajah runtuhnya demokrasi karena rusaknya fondasi keadilan dan kesetaraan. Dan selama pemerintah hanya fokus menjaga simbol, tanpa berani memperbaiki isi, perempuan akan terus menjadi kelompok yang paling tertindas sekaligus paling diabaikan dalam perjalanan bangsa. Ketika peringatan kemerdekaan hanya menjadi seremonial formalitas tanpa ada refleksi dari pemerintah atas apa yang mereka lakukan. 

0 comments

Leave a Comment