Revisi UU Perkawinan: Menimbang Ulang Peran Negara dalam Menjamin Keselamatan Perempuan di Relasi Pernikahan

Usulan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, untuk merevisi Undang-undang Perkawinan dengan menambahkan bab khusus tentang “Pelestarian Keluarga” memantik refleksi yang penting untuk kita diskusikan. Dalam Rapat Kerja Nasional Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Tahun 2025 di Jakarta, ia menegaskan bahwa tingginya angka perceraian di Indonesia merupakan sinyal lemahnya ketahanan keluarga. Menurutnya, negara tidak cukup hanya hadir mengatur legalitas pernikahan, tetapi juga harus terlibat dalam menjaga keutuhan rumah tangga.

Sekilas, pernyataan tersebut terdengar seperti solusi instan yang menjanjikan. Sebagai perempuan, kita tidak menyadari bahwa cara pandang seperti itu justru malah mengajak kita bertumpu pada asumsi bahwa perceraian adalah kegagalan yang harus dicegah. Padahal, dalam banyak kasus, perceraian justru menjadi jalan keluar terbaik bagi korban kekerasan atau pernikahan yang tidak sehat. Melihat perceraian hanya sebagai ancaman bagi ketahanan keluarga adalah bentuk simplifikasi yang mengabaikan realitas kompleks di balik runtuhnya sebuah rumah tangga.

Kemiskinan dan Perempuan Pasca-Perceraian: Masalah Struktural, Bukan Sekadar Akibat Cerai

Nasaruddin Umar mengatakan perceraian sering kali melahirkan “orang miskin baru” dan menjadikan perempuan dan anak sebagai korban utama. Menurutnya, negara harus menjaga keberlangsungan pernikahan agar tidak terjadi kemiskinan akibat perceraian. Namun, argumen dangkal ini memperlihatkan negara hanya menyasar gejala, bukan akar masalah. Padahal, sistem sosial dan budaya patriarkilah yang membuat perempuan pasca-cerai rentan dimiskinkan.

Patriarki masih menempatkan perempuan sebagai sosok yang seharusnya tinggal di rumah dan tidak perlu bekerja, sehingga ketika mereka menjadi kepala keluarga—karena bercerai, misalnya—mereka harus menghadapi stigma dan hambatan struktural sekaligus. Dalam dunia kerja formal, perempuan dengan status janda dan tanggungan anak sering kali dianggap tidak produktif atau terlalu “merepotkan”, sehingga peluang untuk diterima bekerja secara penuh waktu jauh lebih kecil.

Bahkan jika mereka bekerja, lingkungan kerja yang tidak inklusif, kurangnya kebijakan ramah keluarga, hingga stereotip negatif tentang “perempuan tanpa suami”, membuat beban yang harus ditanggung menjadi berlipat ganda. Artinya, bukan perceraian yang membuat perempuan miskin, tetapi sistem yang membatasi mereka untuk bisa hidup lebih layak dan mandiri setelah relasi pernikahan berakhir.

Padahal, menurut Cortez (2016) perceraian juga dapat membuka peluang bagi perempuan untuk mencapai kemandirian ekonomi yang lebih baik. Ketika perempuan keluar dari hubungan abusif ini, mereka memiliki kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih bebas dan mandiri. Berpisah dengan pasangan yang tidak bisa memberikan perlakuan setara atau yang justru menekan perempuan secara fisik dan emosional, memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplorasi potensi diri mereka tanpa rasa takut atau terbelenggu.

Meskipun tantangan yang dihadapi perempuan pasca-cerai memang berat, dengan adanya dukungan yang tepat, baik dalam bentuk kebijakan yang inklusif, pelatihan keterampilan, maupun akses terhadap lapangan pekerjaan yang lebih adil, perempuan dapat menjadi lebih berdaya. Dengan cara ini, perceraian tidak selalu menjadi jalur menuju kemiskinan, melainkan dapat menjadi langkah pertama dalam menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera dan setara.

Namun, hal ini tentu tak bisa berjalan mulus tanpa dukungan. Alih-alih menyempitkan masalah perceraian sebagai penyebab kemiskinan, negara perlu menyediakan pemberdayaan perempuan, agar mereka tetap bisa hidup mandiri secara ekonomi dan psikis setelah perceraian. Karena, menganggap pernikahan sebagai “penyelamat ekonomi” adalah bentuk kegagalan negara dalam merumuskan kebijakan publik yang berbasis keadilan sosial. 

Pernikahan Bukan Sesuatu yang Harus Dilestarikan: Mempertanyakan Arti “Investasi Masa Depan Bangsa”

Selain itu, Menag juga mengusulkan bahwa pelestarian pernikahan harus menjadi bagian dari investasi masa depan bangsa. Jika kita lihat lebih jauh, pernyataan ini sangat problematik. Menjadikan langgengnya pernikahan sebagai indikator keberhasilan negara benar-benar mengabaikan kenyataan bahwa bagi sebagian orang, terutama perempuan, pernikahan justru bisa menjadi sumber penderitaan, kekerasan, bahkan kematian.

Negara semestinya hadir bukan untuk melanggengkan institusi pernikahan secara membabi buta, melainkan melindungi warganya dari kerentanan yang muncul dalam relasi pernikahan yang tidak sehat. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya, perhatian negara harus diarahkan untuk mendukung pemulihan korban, baik secara psikologis, hukum, maupun ekonomi, alih-alih menjaga agar rumah tangga yang penuh kekerasan tetap utuh.

Di samping itu, penting untuk ditegaskan bahwa pernikahan adalah pilihan, bukan keharusan. Maka dari itu, negara seharusnya tidak memandangnya sebagai bentuk “investasi masa depan bangsa”. Cara pandang yang sangat kapitalistik ini berbahaya karena menyederhanakan kompleksitas pembentukan generasi yang sehat dan berdaya hanya pada institusi keluarga, sekaligus menempatkan beban pengasuhan sepenuhnya pada pasangan. Seolah-olah, pernikahan yang baik maka akan melahirkan anak yang baik. Nyatanya, tidak sesederhana itu.

Untuk membangun generasi yang berkualitas, negara justru perlu memastikan bahwa sistem pendidikan nasional dibenahi secara serius dan konsisten, bukan sekadar dijadikan proyek gonta-ganti kurikulum. Investasi masa depan yang sebenarnya harus diarahkan pada pembangunan infrastruktur pendidikan yang layak, distribusi sekolah dan tenaga pendidik yang merata, serta akses terhadap ilmu pengetahuan yang inklusif hingga ke wilayah-wilayah terpencil. Dengan demikian, pembangunan bangsa tidak tergantung pada langgeng tidaknya pernikahan, tetapi pada sikap politis negara dalam menjamin hak-hak dasar pendidikan warga negaranya.

Kritik terhadap 11 Strategi Mediasi: Terlalu Masuk ke Ranah Privat

Rangkaian strategi mediasi yang diusulkan Menag melalui BP4 juga menunjukkan kecenderungan negara yang terlalu mencampuri urusan privat tanpa menyentuh aspek-aspek substansial yang lebih prioritas. Dari mulai mendorong pasangan muda untuk menikah, menjadi makcomblang, hingga memediasi konflik menantu dan mertua, negara tampak sibuk mengatur ranah privat yang simbolik ketimbang membangun sistem yang betul-betul melindungi dan mendidik.

Pernikahan seharusnya dipahami sebagai pilihan sadar dan setara antara dua orang dewasa yang memahami konsekuensinya, bukan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi demi stabilitas semu. Ketika dorongan untuk menikah hanya didasarkan pada ketakutan tertinggal atau tekanan sosial, esensi dari pernikahan yang sehat dan saling membahagiakan justru hilang.

Salah satu usulan lain, seperti bekerja sama dengan peradilan agama agar tidak mudah memutus perkara cerai, juga patut dikritisi. Kita perlu bertanya: perkara seperti apa yang dianggap tidak layak untuk diputus? Jika proses ini justru menghambat korban untuk keluar dari hubungan yang penuh kekerasan, maka negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi warga negaranya.

Bahkan dalam isu seperti perselingkuhan, usulan untuk melakukan mediasi terhadap individu yang “berpotensi” selingkuh tampak terlalu mencampuri ruang personal tanpa pijakan yang jelas. Lantas, bagaimana indikator negara bisa menentukan seseorang “berpotensi” selingkuh? Intervensi yang absurd secara logika ini membuat negara menjadi pengatur moral masyarakat. Pendekatan yang bersifat simbolik ini justru menegaskan kegagalan negara dalam memahami persoalan rumah tangga bukan hanya soal niat baik untuk bertahan, tetapi juga soal dukungan sistemik agar setiap individu punya pilihan yang setara, baik tetap bertahan, maupun pergi.

Negara seharusnya lebih fokus pada optimalisasi kebijakan yang berpihak pada keadilan relasi, seperti mendorong pemahaman tentang konsep pernikahan yang adil dan setara, juga perjanjian pranikah. Dalam perspektif mubadalah, perjanjian pernikahan dipahami sebagai salah satu bentuk kesalingan yang menjamin rasa aman dalam relasi. Perjanjian ini memungkinkan kedua belah pihak, baik suami maupun istri, untuk tetap memiliki otonomi atas harta dan hak masing-masing. Jika perceraian harus terjadi, maka perjanjian semacam ini bisa meminimalisasi konflik pasca-berpisah, seperti soal hak asuh anak dan pembagian harta gono-gini.

Lebih dari itu, pernikahan adalah kemitraan yang setara antara dua manusia dewasa. Relasi ini harus dibangun atas dasar kesalingan, cinta, tanggung jawab, hak, dan kewajiban, yang dibagi secara adil. Maka, sebelum menikah, baik laki-laki maupun perempuan harus benar-benar dipastikan kemauan dan kemampuannya, bukan sekadar karena usia atau tekanan sosial. Perempuan, dalam hal ini, harus dilihat sebagai subjek penuh, bukan sekadar pelengkap dari institusi rumah tangga. Karena, mengabaikan kehendak dan kapasitas perempuan dalam inisiasi pernikahan adalah bentuk pengingkaran terhadap martabatnya sebagai manusia utuh.

Jika negara sungguh ingin membangun literasi pernikahan, maka prinsip-prinsip kesalingan, keadilan, dan kesetaraan harus menjadi dasar. Negara tidak boleh hanya menempatkan diri sebagai penjaga rumah tangga yang rapuh, tetapi sebagai pelindung warganya, terutama perempuan sebagai pihak yang paling rentan dalam relasi yang timpang. Literasi pernikahan yang berpihak harus membongkar paradigma patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pihak yang harus bertahan demi nama baik keluarga. Kita perlu menggeser fokus dari pelestarian pernikahan ke pelestarian martabat manusia di dalamnya.

0 comments

Leave a Comment