Perjuangan Perempuan terhadap Virisentrisme Negara dan Legitimasi Poligami Era Soekarno

Poligami menjadi salah satu momok yang menyeramkan bagi beberapa perempuan. Praktik yang semula dilakukan sebagai bentuk perlindungan sosial terhadap perempuan korban perang dalam Islam, kini telah bergeser sebagai pembenaran bagi hasrat laki-laki. Ditambah lagi, negara dapat menggunakan poligami sebagai legitimasi terhadap sikap penguasa

Era Demokrasi Terpimpin menjadi bukti bahwa negara turut mengatur regulasi hukum perkawinan yang menjustifikasi poligami sebagai hak istimewa laki-laki. Kondisi ini menggambarkan betapa kuatnya virisentrisme sehingga mampu mempengaruhi cara pandang yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, legalitas ini dipraktikkan oleh Soekarno, sebagai simbol maskulinitas dan figur penting negara.

Virisentrisme yang Mengakar 

Dalam Awan Theklek Mbengi Lemek (2012), Setiawan memaparkan virisentrisme sebagai pandangan yang menempatkan laki-laki sebagai subjek superior dan dapat mengendalikan perempuan selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Ia membuka jalan bagi laki-laki untuk menyalurkan syahwatnya sedangkan perempuan harus menjaga marwahnya. Lebih parahnya, perempuan harus tutup mata dan telinga apabila suaminya tidur dengan perempuan lain. Bahkan, diwajibkan menjaga hubungan dengan madu-madunya sebagai wajah istri yang baik.

Pandangan ini kemudian berubah menjadi praktik yang telah mengakar sejak zaman kerajaan. Raja-raja kerap memiliki istri lebih dari satu sebagai simbol status sekaligus legitimasi politik. Perempuan hanya dipandang sebagai subjek pelengkap bagi kekuasaan laki-laki terutama untuk melahirkan seorang pewaris. 

Baca Juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma

Hingga kini, praktik poligami pun terus dilanggengkan. Tokoh-tokoh politik hingga agama menjadi pelaku utama yang memposisikan perempuan dalam relasi ini. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kerap mengaitkan poligami melalui narasi “syariat Islam” dan “keteladanan Nabi”. Dalam berbagai kesempatan, sebagian kader maupun simpatisan PKS menyuarakan bahwa poligami merupakan bentuk ketaatan religius, bukan ketimpangan gender.

Fenomena tersebut mencerminkan bahwa virisentrisme merupakan bentuk lain dari  patriarki. Laki-laki dianggap sebagai pusat kendali karena menggunakan status ‘kuasanya’, sementara perempuan tetap dalam posisi subordinat.  Pengendalian, bahkan dalam aspek seksualitas perempuan, dapat digambarkan melalui konsep power-over oleh Marilyn French. Dalam Beyond Power: On Women, Men, and Morals (1985), ia menjelaskan bahwa kekuasaan yang berkaitan dengan dominasi ini dipakai untuk mengontrol atau menguasai orang lain, khususnya perempuan. Dalam hal ini, laki-laki dibenarkan menyalurkan syahwatnya sedangkan perempuan harus menjaga dirinya.

Ketimpangan ini mencerminkan adanya standar ganda dalam kehidupan sosial, laki-laki yang memenuhi hasratnya dianggap wajar sedangkan perempuan dianggap melanggar norma. Pola pikir seperti ini membuat perempuan seolah-olah tidak memiliki hak untuk mengatur tubuh dan perasaannya. Akibatnya perempuan terus hidup dalam bayang-bayang dominasi laki-laki.

Keresahan Perempuan terhadap UU Perkawinan Tahun 1952

Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 1952, Pemerintah Era Soekarno semakin melegitimasi adanya poligami dalam Undang-undang Perkawinan Tahun 1952. Disebutkan bahwa pegawai negeri sipil yang memiliki lebih dari satu istri dapat memperoleh uang pensiunan sesuai jumlah istrinya. Pelegalan regulasi ini pun memicu respons dari kalangan perempuan. 

Keresahan mereka tidak hanya sebatas keluh kesah kepada sesama perempuan ataupun kritik semata, melainkan diwujudkan dengan langkah yang lebih konkret. Organisasi perempuan menjembatani suara perempuan melalui diskusi dan aksi sosial di ruang publik. Perwari maupun Gerwani melakukan perlawanan melalui penyelenggaraan rapat umum yang membahas agenda ke depan, pengiriman petisi, dan pelayangan kritik di media massa dengan tuntutan revisi rancangan undang-undang tersebut.

Baca Juga: Mengapa Kita Harus Tetap Berisik Soal Pemerkosaan Massal Mei 1998?

Printina dalam Merawat Memori Memupuk Kebangsaan: Komitmen pada Cita-Cita Kongres Perempuan Indonesia (2019) menjelaskan pada periode 1945-1965 agenda perempuan memang dititikberatkan pada perlawanan ketidakadilan. Artinya, Perwari maupun Gerwani memasuki fase feminisme liberal yang berjuang di ruang publik pada aspek pendidikan, hukum, dan tuntutan persamaan hak. Begitu pula Gerwani yang sebelumnya bernama Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis).

Melalui Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), 10 organisasi perempuan menyatukan suara untuk menentang regulasi ini dengan argumen negara memboroskan uang demi membiayai poligami. Namun kalangan Masyumi, Muslimat NU, dan dua organisasi perempuan Islam kontra terhadap penentangan ini yang berakibat konflik dalam tubuh KOWANI. 

Mengabaikan konflik tersebut, beberapa organisasi perempuan yang tergabung dalam KOWANI segera melakukan demonstrasi untuk menyampaikan tuntutan agar Peraturan Presiden tersebut dicabut serta dibuat undang-undang perkawinan yang sesuai dengan konstitusi dan Pancasila. Aksi tersebut mendapatkan sambutan baik tetapi sayangnya pada kenyataannya peraturan tetap berlaku sampai 1956.

Perwari dan Protesnya terhadap Soekarno

Yang menarik, Perwari adalah organisasi perempuan hasil bentukan Soekarno yang turut melawan kebijakan tersebut. Lahir pada 17 Desember 1945, organisasi ini merupakan hasil penggabungan dua organisasi perempuan, yaitu Wani (Wanita Negara Indonesia) dan Perwani (Persatuan Wanita Indonesia). Sebagai wadah aspirasi perempuan, Perwari sangat vokal terhadap isu ini, terutama saat Soekarno menikahi Hartini. 

Mereka merasa diingkari oleh Soekarno atas pernikahan tersebut karena ia sangat merendahkan harga diri dan martabat perempuan. Puncak kekecewaan mereka pada akhirnya diluapkan dalam rapat umum tahun 1953 dengan agenda tuntutan kepada pemerintah dan DPR. Namun, Perwari juga mendapat tantangan dari Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan yang menyatakan bahwa pengurus Perwari melanggar kode etik jurnalistik. Sebab, mereka menerbitkan surat kabar mengenai poligami Soekarno. 

Mereka juga melayangkan protes berupa demo pada 17 Desember 1954 di depan istana negara untuk mengecam tindakan poligami Soekarno, sekaligus memberikan dukungan moral pada Fatmawati. Mereka juga menuntut agar disahkannya undang-undang perkawinan umum yang berlaku untuk semua golongan. Keberanian mereka dalam menyuarakan isu ini berbuntut pada teror ancaman pembunuhan terhadap ketua Perwari, yaitu Suyatin Kartowiyono. Namun, hal itu tak memadamkan semangat mereka.

Hingga Kini, Perjuangan Itu Masih Relevan

Meskipun telah melewati beberapa dekade, perjuangan perempuan masih terus berlanjut hingga saat ini, terutama dalam melawan virisentrisme dan patriarki. Karena nyatanya, praktik poligami yang dilakukan oleh laki-laki pada masa sekarang justru memberikan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tak jarang korbannya adalah perempuan di bawah umur legal pernikahan.

Baca Juga: Banalitas Kejahatan Negara dalam Mengonstruksi Citra Gerwani

Perempuan yang menjadi korban kerap mengalami tekanan psikologis, kecemburuan sosial, keinginan bunuh diri, hingga kehilangan kemandirian ekonomi akibat posisi mereka yang rentan dan bergantung pada suami. Selain itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga poligami pun akan merasa diabaikan dan tidak mempunyai ruang aman akibat relasi tidak harmonis antara istri-istri ayahnya. Tak hanya itu, poligami yang dilakukan dengan pernikahan siri pun akan berpengaruh pada hak nafkah anak. 

Maka, hingga kini, perjuangan kita pun masih sangat panjang dan berat. Namun, semangat Perwari dan organisasi perempuan lainnya masih tetap relevan hingga kini. Melalui pembentukan organisasi dan menjadi agen perubahan, kita belajar bahwa kesetaraan hadir melalui perjuangan kolektif yang tak pernah berhenti.

0 comments

Leave a Comment