Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma
Usulan Kartu Janda Jakarta (KJJ) dari Fraksi Partai Gerindra dalam sidang DPRD DKI sempat mengundang perdebatan beberapa waktu lalu. Meski niatnya adalah membantu perempuan berusia 45–60 tahun yang ditinggal mati pasangan dan kesulitan ekonomi, namun sejumlah kritik pun bermunculan. Mulai dari batas usia, sampai penggunaan istilah “janda” itu sendiri.
Di Indonesia, kata janda tidak sekadar merujuk pada status sipil. Ia membawa beban sejarah stigma, candaan seksis, hingga prasangka moral yang melekat pada tubuh perempuan tanpa pasangan. Kata ini, sayangnya, telah dibungkus dengan makna sosial yang sering kali merugikan.
Menyoal Definisi “Janda” yang Nelangsa
Pembahasan soal KJJ tak bisa dilepaskan dari makna kata janda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata janda berarti perempuan yang tidak lagi bersuami karena bercerai atau ditinggal mati. Ia juga memiliki turunan makna yang jauh lebih banyak dibanding duda. Beberapa contoh gabungan katanya adalah janda berhias, janda kembang (cantik dan belum punya anak), janda muda, hingga janda tebal (kaya).
Sementara duda hanya memiliki dua turunan umum, yaitu duda caluk dan duda kembang (belum punya anak). Artinya, janda lebih sering diasosiasikan dengan atribut fisik atau status ekonomi, sehingga membuka ruang stereotip dan objektifikasi. Sementara duda relatif bebas dari lapisan konotasi yang serupa.
Tak hanya itu, masyarakat juga memberi makna yang berbeda terhadap perempuan yang tak lagi bersuami karena bercerai atau ditinggal mati. Janda karena ditinggal mati sering ditempatkan dalam posisi kasihan, dianggap sebagai korban nasib yang tidak bisa dihindari. Simpati memang diberikan, tetapi sering kali disertai dengan belas kasihan yang merendahkan.
Sebaliknya, janda cerai kerap dipandang sebagai perempuan yang “gagal” menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Lebih buruk lagi, ia sering menjadi sasaran stereotip negatif dicap sebagai penggoda suami orang, dianggap haus perhatian, atau digambarkan sebagai ancaman bagi rumah tangga orang lain. Pandangan ini sama sekali mengabaikan alasan-alasan rasional dan sah yang melatarbelakangi perceraian, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, atau ketidaksetaraan dalam relasi.
Baca juga: Sydney Sweeney dalam Bayang-bayang Gaze yang Membelenggu
Sejarah Kata “Janda” yang Penuh Stigma
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa stigma terhadap janda bukan hanya konstruksi budaya, tetapi juga instrumen politik. Menurut Saraswati (2017), rasa malu (shame) telah digunakan baik secara kultural maupun legal untuk membatasi perceraian. Parker (2015) mencatat bahwa pada masa Orde Baru, pernikahan dan keluarga inti dijadikan pilar ideologi negara, sehingga perceraian menjadi langka dan janda–terutama yang cerai–dianggap menyimpang dari norma.
Lebih ekstrem lagi, Pohlman (2015) menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi janda akibat pembunuhan massal 1965 distigmatisasi sebagai “janda PKI” dan mengalami seksualitas yang dipolitisasi, bahkan berujung pada kekerasan seksual. Kasus ini mengungkap bahwa label janda dapat menjadi titik temu antara politik, seksualitas, dan kekerasan berbasis gender.
Konstruksi ini kemudian mengalir ke bahasa dan budaya populer, membentuk asosiasi “janda” dengan citra-citra tertentu. Dalam Ecrits (2007) Jacques Lacan mengatakan bahasa adalah bagian dari the symbolic order yang membentuk identitas subjek. Misalnya, begitu perempuan disebut “janda”, ia langsung dimasukkan ke dalam jejaring makna yang sudah ada, seperti “kasihan”, “penggoda”, atau “berbahaya”.
Label ini kemudian membentuk gambaran umum atau publik mengenai perempuan yang tak bersuami. Dan, semakin terpatri dalam benak masyarakat sebagai kebenaran karena bahasa yang sama diulang-ulang oleh negara, media, dan percakapan sehari-hari. Akhirnya, stigma janda pun merembes ke kehidupan sehari-hari, hingga ikut mengatur cara perempuan itu dilihat, dinilai, dan diperlakukan.
Representasi “Janda” dalam Media dan Budaya Populer
Media massa dan budaya populer berperan besar dalam membentuk, bahkan memperkuat, citra negatif terhadap janda. Istilah seperti “janda kembang” atau “janda kaya” kerap digunakan untuk memberi kesan bahwa janda adalah sosok eksotis, menggoda, atau haus perhatian.
Dalam film dan sinetron, karakter janda sering digambarkan sebagai perempuan yang “gatal”, licik, atau menjadi ancaman bagi rumah tangga tokoh utama. Di film komedi seperti “Janda Kembang” (2009), tokoh janda diposisikan sebagai pusat humor dan objek seksual yang “diincar” laki-laki desa.
Di jalanan, stereotip ini juga terlihat di gambar stiker truk. Misalnya gambar perempuan bertuliskan kalimat nyeleneh, seperti “Ada janda yang harus dinafkahi”. Lagu dangdut juga ikut menyebarkan citra serupa. Liriknya sering memposisikan janda sebagai objek godaan dengan nada candaan yang sensual.
Tidak jarang juga, media arus utama memanfaatkan kata janda untuk clickbait berita atau judul gosip, tanpa memikirkan dampak psikologis dan sosial terhadap perempuan yang menyandang status tersebut. Efeknya, stereotip ini terus berulang dan mengakar di benak masyarakat, bahkan diwariskan lintas generasi.
Baca juga: Dog Mom dan Stigma: Mengapa Perempuan Muslim Dihujat Karena Sayang Anjing?
Saatnya Dekonstruksi Kata “Janda” yang Diskriminatif
Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), yang berdiri sejak tahun 2000, telah lama menggunakan istilah “perempuan kepala keluarga”. Bagi PEKKA, istilah ini lebih netral dan mengangkat peran perempuan sebagai aktor ekonomi dan sosial dalam keluarga, bukan sekadar bekas istri seseorang. Pemilihan kata ini adalah strategi bahasa untuk mengurangi stigma sosial dan mengubah cara pandang masyarakat.
Mengganti istilah “janda” dengan “perempuan kepala keluarga” adalah bentuk dekonstruksi dalam arti Jacques Derrida, yaitu membongkar oposisi biner antara “istri” dan “janda” yang sarat makna negatif. Dalam Of Grammatology (1967), ia mengungkapkan dekonstruksi tidak hanya mengkritisi makna lama, tapi juga menghadirkan alternatif yang membebaskan.
Meski perjalanan untuk menghapus stigma sepenuhnya masih panjang, namun mengubah bahasa adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih besar. Ketika istilah yang digunakan lebih netral, kita mengurangi peluang terjadinya diskriminasi verbal, candaan seksis, dan prasangka yang merugikan.
Padahal realitasnya perempuan kepala keluarga sering kali memikul tanggung jawab ganda: mengurus anak, mengelola rumah, dan menjadi pencari nafkah tunggal. Beban ini diperberat dengan sikap masyarakat yang tidak ramah terhadap status mereka. Karenanya, kita perlu berhenti menilai perempuan dari status pernikahannya, dan mulai melihat kapasitas serta kontribusinya.
Perempuan yang berstatus janda bukanlah ancaman, aib, ataupun beban sosial. Mereka adalah bagian penting dari sistem sosial yang layak mendapat pengakuan dan perlakuan setara. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan program pemerintah yang inklusif untuk meruntuhkan stigma yang mengobjektifikasi.

Social Media Kami