Sisterhood Mengajarkanku Cara Menjadi Rumah Bagi Perempuan Lain
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang remaja perempuan berusia 16 tahun yang sedang menghadapi masa sulit, dia hamil dan dikeluarkan dari sekolahnya. Situasinya sangat rumit. Di satu sisi, pihak sekolah khawatir jika membiarkannya tetap belajar, akan ada anggapan bahwa kasus semacam itu bisa dianggap wajar dan ditiru oleh siswa lain. Tapi di sisi lain, dia juga punya hak untuk tetap belajar dan meraih masa depan, seperti remaja lainnya.
Yang membuat hati saya makin tersayat adalah kenyataan bahwa pelaku hanya terpaut satu atau dua tahun. Saya membayangkan betapa berat hidup yang harus dia jalani: hamil di usia belia, tanpa pasangan yang siap bertanggung jawab, tanpa dukungan keluarga yang sepenuhnya ada untuknya, dan berada di tengah lingkungan yang lebih senang menghakimi daripada memeluk.
Penghakiman yang Lebih Dulu Hadir daripada Dukungan
Sayangnya, saat perempuan mengalami masalah, reaksi pertama yang muncul sering kali adalah menyalahkan. Apalagi jika itu menyangkut tubuh, pilihan hidup, atau hal-hal yang dianggap menyimpang dari norma. Kalimat seperti “pantas saja…” atau “makanya jangan begitu…” sering terlontar begitu mudah, tanpa berpikir bahwa yang bersangkutan sedang rapuh dan butuh dukungan.
Padahal, mereka adalah korban yang terjebak dalam situasi yang membungkam. Bayangkan, anak yang baru berusia 16 tahun itu sudah harus memikul beban kehamilan dan stigma sosial sendirian. Dengan ekonomi yang pas-pasan, mental yang belum siap, dan tekanan sosial yang besar, semuanya terasa menghantam bersamaan.
Padahal pendampingan sejati tidak butuh banyak syarat. Tidak harus menunggu orang itu menyesal, berubah, atau memenuhi standar tertentu dulu. Yang dibutuhkan adalah ruang aman, tempat mereka bisa bernapas tanpa takut dihakimi. Walau hanya hadir untuk menemani.
Baca juga: Menjawab Stigma “Feminazi” dan “Radikal” yang Melekat pada Gerakan Feminisme
Sisterhood sebagai Dukungan Kolektif Sesama Perempuan
Saat melihat ini, saya kembali diingatkan betapa pentingnya sesama perempuan saling menguatkan. Kita sering menyebutnya sisterhood (persaudaraan perempuan), sebuah dukungan yang lahir dari rasa sama-sama mengerti bahwa menjadi perempuan itu tidak mudah. Salah satu tokoh feminis yang membahas konsep ini adalah bell hooks.
Dalam Feminism Is For Everybody (2000), sisterhood bukanlah sekadar rasa kebersamaan karena berjenis kelamin sama; perempuan. Ia adalah solidaritas politik yang tak dibangun di atas rasa kasihan, tetapi di atas komitmen bersama untuk melawan sistem dan budaya yang membuat perempuan terjebak dalam posisi tak berdaya.
Bagi hooks, sisterhood lahir dari keberanian untuk hadir secara tulus. Kita tidak perlu membuat gerakan besar untuk bisa membantu. Cukup jadi teman yang hadir, yang mau mendengar tanpa menghakimi, yang siap memeluk saat dunia terasa dingin. Sekaligus, menantang pola pikir patriarki yang mengadu perempuan satu sama lain.
Saya pun jadi berpikir kembali. Dulu saat saya hamil, meski didampingi suami dan keluarga, tetap saja rasanya berat. Lalu bagaimana dengan dia, yang harus menjalani semua ini sendirian? Bahkan, membayangkan saja, saya pun tak sanggup rasanya.
Baca juga: Menembus Sekat Gender dan Ras Melalui Lensa Feminisme Inklusif ala bell hooks
Ketika Menyalahkan Justru Menghambat Pemulihan
Kita terlalu cepat menyalahkan, terlalu mudah berkata “kamu seharusnya…”
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa perempuan sangat butuh ruang yang aman. Tempat untuk langsung dihakimi, tapi bisa berbagi rasa. Sayangnya, sering kali sesama perempuan pun lupa, dan malah ikut terjebak dalam cara pandang yang dibentuk oleh stigma dan budaya yang keras pada perempuan.
Padahal, menyalahkan korban bisa memicu secondary victimization; luka tambahan yang dialami korban akibat perlakuan negatif setelah kejadian. Penelitian Sarah Ullman dalam Handbook on the Study of Multiple Perpetrator Rape (2013) menunjukkan sikap tidak percaya, menyalahkan, atau meremehkan dapat memperparah trauma dan menghambat pemulihan.
Hal ini bisa datang dari siapa saja, bahkan dari orang terdekat atau lembaga yang seharusnya memberi perlindungan. Itulah mengapa respons yang empatik dan tidak menghakimi sangat penting bagi proses pemulihan korban.
Pengalaman Saya Mengatakan: Perempuan Butuh Ruang Aman
Saya dan beberapa teman memilih untuk mendampingi anak ini, bukan dengan ceramah atau tuntutan, tapi dengan mendengarkan dan hadir sepenuh hati. Kami ingin dia tahu bahwa ada orang-orang yang peduli. Melalui rasa percaya bahwa dia, meski masih muda, punya mimpi dan harapan yang masih layak diperjuangkan, untuk dirinya dan calon bayinya.
Berbulan-bulan proses ini bukan tanpa tantangan. Ada saat-saat ketika ia menarik diri, memilih diam, atau hanya menatap kosong. Namun, sedikit demi sedikit, kehadiran kecil kami yang konsisten mulai membuka ruang percakapan. Perlahan, kami berbagi tawa kecil, cerita ringan, dan bahkan hening yang nyaman.
Lewat dukungan tanpa henti dalam melewati masa-masa penuh ketidakpastian, ia begitu berterima kasih atas apa yang sudah kami lakukan. Saya pun tak menyangka. Jika awalnya ia hanya diam ketika kami menemaninya kontrol dan cek kehamilan, perlahan senyumnya mulai kembali. Bahkan, setelah melahirkan, senyum itu tumbuh lebih hangat dan penuh arti.
Itulah pelajaran besar yang saya dapat. Bahwa, kekuatan sisterhood, seperti yang dikatakan hooks, bukan terletak pada siapa yang paling benar, tapi siapa yang mau menemani, melawan stigma, dan memastikan tak ada perempuan yang menghadapi semuanya sendirian.
Kita juga harus mulai membuka mata bahwa menikahkan anak yang hamil muda bukanlah satu-satunya jalan keluar. Bahkan, bisa jadi itu membuka pintu masalah baru, karena mereka sama-sama belum siap secara mental dan ekonomi. Menyelesaikan masalah bukan hanya soal menjaga moral dengan solusi dangkal, tapi juga harus memikirkan masa depan, keselamatan, kesehatan, dan kualitas hidup mereka.
Saya yakin, perempuan punya kekuatan besar untuk membawa perubahan. Tidak harus lewat aksi besar atau panggung luas. Tapi dari hal sederhana bahwa membela yang tersudut, mendengarkan yang sedang jatuh, dan menjadi suara bagi yang tak bisa bersuara. Dalam lingkar-lingkar kecil, dalam komunitas perempuan, nilai sisterhood tumbuh lewat pelukan hangat dan kalimat sederhana seperti, “aku ada di sini.”
Jadi, mari kita mulai dari diri sendiri. Hadir untuk satu sama lain. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menguatkan. Karena jadi perempuan memang tidak mudah, dan bersama, kita bisa membuat hidup ini terasa lebih ringan.
Tags:

Social Media Kami