Perempuan Politik: Dari Simbol ke Substansi
Partisipasi perempuan dalam politik merupakan salah satu isu penting yang harus terus didorong untuk mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya. Di banyak negara, begitu pula Indonesia, perempuan masih menghadapi tantangan besar dalam berpolitik, baik sebagai pemilih maupun calon legislatif (caleg).
Meskipun ada kemajuan, seperti kuota 30% untuk perempuan dalam legislatif yang sudah diatur dalam undang-undang, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Salah satu tantangan terbesar adalah munculnya caleg perempuan yang lebih dianggap sebagai "boneka" daripada pemimpin yang benar-benar memiliki suara dan kebijakan yang diinginkan masyarakat.
Perempuan dalam Politik: Harapan yang Terus Berkembang
Dalam beberapa dekade terakhir, perempuan semakin mendapat ruang dalam politik. Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai menyadari pentingnya representasi perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berdasarkan data World Bank, peran perempuan dalam politik di Indonesia meningkat, meski masih jauh dari angka yang setara dengan jumlah laki-laki (World Bank, 2021).
Peningkatan jumlah perempuan yang terpilih dalam Pemilu 2019 mencapai sekitar 3,16% dibandingkan Pemilu 2014. Meskipun angka tersebut terbilang sedikit, ini menunjukkan adanya harapan untuk mewujudkan kesetaraan dalam politik. Peningkatan ini menjadi tanda bahwa perjuangan untuk lebih banyak perempuan di ruang politik mulai membuahkan hasil, meski masih diperlukan usaha lebih untuk mencapai keseimbangan yang lebih signifikan.
Kesetaraan gender dalam politik dapat memberikan manfaat yang luar biasa. Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam politik dapat menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan peka terhadap kebutuhan semua kelompok masyarakat (Eagly & Karau, 2002).
Misalnya, perempuan cenderung lebih memperhatikan isu-isu sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak, yang sangat penting dalam pembangunan negara yang berkelanjutan. Hal ini adalah kekhasan yang tidak dimiliki oleh caleg laki-laki, yang sering kali lebih fokus pada isu-isu ekonomi atau infrastruktur. Oleh karena itu, penting untuk terus mendorong agar lebih banyak perempuan terlibat dalam politik.
Tantangan Besar: Caleg Boneka
Namun, meskipun harapan terbuka, tantangan yang dihadapi perempuan dalam politik Indonesia masih sangat besar. Salah satunya, yaitu, munculnya calon legislatif perempuan yang hanya menjadi "boneka" dalam sistem politik.
Fenomena ini terjadi ketika caleg perempuan tidak memiliki kekuatan atau independensi politik yang nyata. Dalam artian, mereka lebih sering dijadikan alat untuk menarik suara pemilih tanpa benar-benar memiliki kapasitas atau niat untuk membuat perubahan.
Keberadaan caleg perempuan yang hanya berfungsi sebagai tokenisme mencerminkan ketidakseriusan partai politik dalam mewujudkan kesetaraan gender. Mereka sering kali dimasukkan ke dalam daftar calon hanya untuk memenuhi kuota 30% perempuan yang diatur dalam undang-undang, tanpa diberikan ruang untuk berkembang dan berperan aktif dalam pembuatan kebijakan. Ini menunjukkan bahwa partai politik lebih mengutamakan kepentingan administratif dan pencitraan, bukan memperjuangkan kesetaraan yang substansial.
Fenomena caleg perempuan yang dianggap sebagai "boneka" ini mengindikasikan kurangnya representasi yang substansial di parlemen, yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Caleg perempuan seharusnya bukan hanya sebagai alat kampanye, tetapi sebagai pemimpin yang aktif membuat keputusan yang menguntungkan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok rentan (Suryani, 2019).
Caleg boneka biasanya dipilih karena faktor penampilan atau popularitas, bukan berdasarkan kemampuan politik atau visi yang jelas untuk masyarakat. Dalam banyak kasus, caleg perempuan seperti ini hanya bertindak sebagai simbol tanpa peran aktif dalam proses pembuatan kebijakan. Fenomena ini bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga merugikan masyarakat yang membutuhkan suara yang benar-benar mewakili kepentingan mereka.
Tantangan ini tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri perempuan itu sendiri. Banyak perempuan yang merasa bahwa politik adalah dunia yang sulit dijangkau atau terlalu "maskulin". Persepsi ini sering kali menghalangi perempuan untuk lebih aktif dan mengurangi rasa percaya diri mereka untuk terlibat lebih dalam di arena politik.
Stigma "caleg boneka" yang terus berkembang juga berimplikasi terhadap citra perempuan dalam partai politik secara keseluruhan. Stigma ini tidak hanya mempengaruhi perempuan yang secara langsung dijadikan objek, tetapi juga memperkuat persepsi negatif tentang kemampuan perempuan di dunia politik.
Banyak orang yang akhirnya menganggap bahwa perempuan dalam partai politik tidak kompeten, hanya mengisi kuota, atau sekadar menjadi simbol tanpa substansi. Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan, ketika perempuan yang berpotensi terhambat untuk maju karena kurangnya dukungan dan kesempatan.
Menghindari Caleg Boneka: Pendidikan Politik dan Perubahan Mindset
Untuk menghindari fenomena caleg boneka, diperlukan beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah memberikan pendidikan politik yang lebih baik kepada perempuan sejak dini. Pendidikan politik yang dimaksud bukan hanya tentang bagaimana cara mencalonkan diri sebagai caleg, tetapi juga tentang memahami proses pembuatan kebijakan, keterampilan komunikasi politik, dan pemahaman yang mendalam tentang masalah sosial yang dihadapi masyarakat.
Selain itu, penting juga untuk menciptakan jejaring yang mendukung perkembangan politik perempuan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Jejaring ini dapat membantu perempuan dalam mengakses informasi, berbagi pengalaman, dan memperoleh mentor yang dapat membimbing mereka dalam navigasi dunia politik yang kompleks. Dengan adanya dukungan semacam ini, perempuan akan lebih siap dan percaya diri untuk berperan aktif dalam politik.
Selanjutnya, peran organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam memberikan pendidikan politik kepada perempuan di pedesaan menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis komunitas dapat menjadi langkah awal yang penting dalam membentuk pemimpin perempuan yang lebih kompeten dan berdaya. Seperti, pelatihan mengenai hak atas tanah, pengorganisasian komunitas, serta bagaimana menyuarakan kepentingan mereka dalam forum politik.
Program-program seperti ini tidak hanya membekali perempuan dengan pengetahuan teknis, tetapi juga memberdayakan mereka untuk berani mengambil peran aktif dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kesejahteraan mereka dan komunitasnya. Pendekatan berbasis komunitas ini memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang dalam lingkungan yang mendukung, sehingga mereka dapat lebih percaya diri dalam terlibat dalam politik yang lebih luas.
Selain itu, penting untuk menggugah kesadaran perempuan mengenai pentingnya representasi yang substansial. Bukan hanya sebagai alat kampanye, tetapi sebagai pemimpin yang mampu membuat keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Hal ini diperkuat oleh Metha (2020) bahwa perempuan yang berpartisipasi dalam politik cenderung lebih fokus pada penciptaan kebijakan yang adil, yang juga dapat mendorong pemberdayaan perempuan dalam banyak sektor.
Peran Partai Politik dalam Memberdayakan Caleg Perempuan
Selain langkah-langkah individu, peran partai politik juga sangat penting dalam menghindari adanya caleg boneka. Partai politik harus memberikan pelatihan yang memadai kepada calon legislatif perempuan mereka. Pelatihan ini harus mencakup pemahaman tentang sistem politik, cara berkomunikasi dengan publik, serta cara membangun jaringan yang kuat.
Hal ini menjadi sangat mendesak karena banyak partai politik yang menjadikan caleg perempuan hanya sebagai simbol semata, sekadar memenuhi kuota, tanpa memberikan pelatihan dan dukungan yang cukup untuk mengembangkan kemampuan politik yang sesungguhnya. Tanpa langkah konkret ini, caleg perempuan hanya akan menjadi alat politik tanpa daya tawar yang berarti.
Partai politik harus memastikan perempuan yang mereka calonkan memiliki komitmen yang jelas terhadap perubahan sosial dan kebijakan di parlemen. Sayangnya, banyak politisi perempuan saat ini yang tidak menunjukkan komitmen kuat terhadap isu-isu yang mereka perjuangkan, sering kali hanya menjadi simbol tanpa visi atau ideologi yang jelas. Hal ini merugikan upaya mewujudkan kesetaraan gender dalam politik.
Diskriminasi internal yang menghalangi perempuan untuk maju di politik perlu diperangi. Penelitian Suryani (2019) menunjukkan bahwa diskriminasi di dalam partai politik sering kali menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk mendapatkan posisi strategis. Diskriminasi ini berupa pengabaian terhadap suara dan aspirasi perempuan, pemberian kesempatan yang terbatas dalam posisi strategis, serta perlakuan yang tidak setara dalam proses seleksi atau pencalonan.
Perempuan juga sering kali dihadapkan pada stereotip gender yang menilai mereka kurang kompeten atau tidak cocok untuk memimpin, meskipun memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki. Diskriminasi ini juga bisa berupa pengaruh budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih subordinat, menganggap mereka hanya cocok untuk peran-peran pendukung atau simbolis, bukan sebagai pengambil keputusan yang substansial.
Selain itu, partai politik perlu mengadopsi kebijakan yang lebih transparan dan akuntabel dalam proses seleksi caleg perempuan, memastikan mereka mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya, dukungan kampanye, serta kesempatan untuk berkembang dan memperkuat kapasitas politik mereka. Hal ini karena hambatan tidak hanya berasal dari struktur eksternal, tetapi juga dari kultur internal.
Melihat potensi yang dimiliki perempuan dalam politik, harapan untuk masa depan sangatlah besar. Jika pendidikan politik dan pemberdayaan caleg perempuan diperkuat, peran perempuan dalam politik Indonesia dapat menjadi lebih kuat. Ini akan mengarah pada terciptanya kebijakan yang lebih inklusif dan adil, yang akhirnya akan membawa perubahan positif bagi seluruh masyarakat.
Dengan semakin banyaknya perempuan yang memiliki peran strategis dalam politik, harapannya kesetaraan gender tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka:
Eagly, A. H., & Karau, S. J. (2002). Role congruity theory of prejudice toward female leaders. Psychological Review, 109(3), 573-598. https://doi.org/10.1037/0033-295X.109.3.573
Metha, G. (2020). The impact of female political representation on social policy. Journal of Politics and Gender, 16(2), 234-247. https://doi.org/10.1016/j.jopg.2020.04.001
Suryani, N. (2019). Political parties and gender equality in Indonesia: Women’s participation and leadership. Indonesian Journal of Political Science, 5(1), 48-65. https://doi.org/10.1177/2345678919870987
World Bank. (2021). Women in politics: The role of female political participation in democratic governance. World Bank Report. https://www.worldbank.org/en/topic/gender
Tags:

Social Media Kami