Bahaya Gaslighting yang Diterima Perempuan Selama 30 Tahun Dalam Hubungan Bagi Kesehatan Mental
Bahaya Gaslighting yang Diterima Perempuan Selama 30 Tahun Dalam Hubungan Bagi Kesehatan Mental
Di sebuah pinggiran kota dengan hiruk pikuk yang tak kalah dengan Jakarta, terdapat sebuah keluarga normal yang beranggotakan empat orang yang dikepalai oleh seorang patriaki sejati yaitu sang Ayah. Kisah ini adalah salah satu dari sekian banyaknya bukti nyata yang mencengkram takdir bagi para perempuan di Indonesia.
Saya perempuan berusia 30 tahun dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Adik saya, yang lebih muda tiga tahun adalah juga seorang perempuan. Ayah saya suka becanda bahwa ia seperti "Raja Minyak Barko", karena praktis memang hanya Beliau yang laki-laki di rumah yang cukup besar ini.
Lalu, mengapa saya dengan berani melabeli Ayah saya sebagai seorang patriaki sejati? Ayah saya mengaku sebagai 'man of the house'. Walaupun saya dan adik saya juga sudah bekerja, Beliau tetap memegang teguh prinsip "Laki-laki harus memenuhi kebutuhan keluarganya". Dengan prinsip tersebut, Beliau tidak pernah membantu urusan rumah tangga seperti bersih-bersih atau memasak. Pekerjaan rumah tersebut selalu diserahkan kepada perempuan di keluarga kami.
Bukannya kami tidak pernah menegur Ayah secara halus untuk mencoba membantu urusan rumah, Beliau selalu memutarbalikan dengan, "Kan Papa juga udah ngehidupin kalian, masa harus bantu-bantu urusan kecil ini lagi?" Darah saya mendidih mendengar ratusan kalimat yang dianggap seperti "sepele" ini. Tetapi, kami hanya bisa terdiam dan tidak membalas perkataan tersebut.
Stigma bahwa kaum perempuan dianggap lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki membawa dampak negatif bagi para perempuan di keluarga kami. Stereotip tentang perempuan dianggap memiliki tanggung jawab serta memiliki peran dalam urusan domestik serta reproduksi, sedangkan laki-laki hanya mementingkan urusan produksi & urusan publik membuat saya muak dengan kehidupan yang jauh lebih tidak adil yang dijalani sebagai seorang perempuan.
Tak hanya itu. dampak patriaki terhadap perempuan adalah kekerasan. Kekerasan tidak selalu dengan kekerasan fisik. Bentuk kekerasan lain yang menimbulkan dampak psikologis terhadap korbannya ialah kekerasan emosional. Gaslighting adalah salah satu contohnya.
"Mental health itu sangat penting dan tidak boleh dianggap remeh." Kalimat tersebut keluar dari mulut Ayah saya, yang sering melakukan gaslighting terhadap istrinya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan gaslighting?
Mengutip dari halodoc, gaslighting adalah salah satu pelecehan emosi dalam bentuk manipulasi yang membuat korban selalu merasa bersalah dan meragukan diri sendiri.
Contoh-contoh seperti, "Ini cuma bercanda, jangan terlalu sensitif deh", atau "Kaau kamu punya pengalaman yang sama persis denganku, tidak perlu kasih aku opini." Ini adalah kalimat-kalimat favorit yang sering dilontarkan oleh Ayah saya. Menginjak usia 30 tahun pernikahan, Beliau tidak merasakan rasa bersalah sama sekali ketika mengucapkannya. Jadi, bagaimana dengan nasib Ibu saya?
Tumbuh dari keluarga yang memiliki riwayat emotional abuse, membuat Ibu saya tumbuh menjadi orang yang kurang percaya diri. Sebaliknya, Ayah saya datang dari keluarga yang harmonis, tetapi karena datang dari keluarga Jawa yang mempunyai budaya "seorang istri harus patuh kepada suami:, Beliau menerapkan norma tersebut terhadap keluarganya sendiri. Sebenarnya, Ayah saya bukan orang yang jahat dan tidak pernah melakukan kekerasan fisik sama sekali. Hanya saja, Beliau memang lebih suka cenderung dominan dalam suatu hubungan. Dikarenakan rasa superioritasnya yang dimilikinya, maka ia tidak mau ditentang sama sekali.
Di masa kecil, saya selalu mengidolakan Ayah karena Beliau memang lebih aktif dan humoris dibanding Ibu saya yang cenderung pendiam dan pasif. Jadi, apapun yang dilakukan oleh Ayah saya, dengan senang hati, saya akan menyetujuinya. Kemudian ketika beranjak dewasa, saya salah besar. Ayah saya berlindung dengan pendirian teguh "aku lebih banyak tahu hidup dan kamu tidak. Jadi tidak usah banyak omong dan ikuti aku saja." Sebagai gantinya, Ibu saya memiliki kesempatan berbicara hampir nol dalam kehidupan pernikahannya.
Saya, sebagai perempuan muda merasa malu kepada diri saya sendiri. Melihat Ibu saya, perempuan yang melahirkan saya, semakin bergantung tiap harinya kepada Ayah karena tidak sering mengambil keputusannya sendiri. Betapa berat kehidupan yang dialami oleh Beliau selama ini. Namun demikian, ada sesuatu yang membuat saya merasa lebih takjub lagi. Ketika saya dan adik saya protes kepada Ibu saya tentang perlakuan Ayah, Ibu saya cenderung membela suaminya. Ternyata, hal tersebut adalah salah satu tanda di luar kebiasaan yang dialami oleh korban gaslighting.
Pelaku gaslighting terlihat memiliki kendali penuh atas perilaku dan perasan korban. Kondisi ini membuat korban tidak dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan tergantung pada pelaku. Tidak hanya Ibu saya, Ayah bahkan sudah menerapkan doktrin ini kepada saya dan adik saya dari kecil sehingga sudah terpatri dalam kehidupan kami.
Lantas, bagaimana cara kami memutuskan rantai beracun ini?
Pertama, kami akan selalu menghindari perdebatan. Dalam kasus ini, Ayah saya akan terus membuktikan bahwa ia benar dan kami salah. Tentu saja, hal itu membuat kami semakin frustasi. Oleh karena itu, sebisa mungkim, kami semua memilih untuk menghindari perdebatan.
Kedua, karena sifat Ayah saya yang memang pandai berbicara, biasanya saya hanya memperhatikan dengan diam dan mengumpulkan kalimat-kalimat yang bersifat manipulatif di dalam otak saya. Ketika ia mulai menyangkal percakapan atau peristiwa, saya dapat menunjukkan kebenarannya.
Sejujurnya, kadang kami semua masih enggan untuk membela diri kami kepada Ayah. Akan tetapi, jika kami terus hidup dalam ketakutan akan hak kami untuk bicara dirampas, apakah itu akan membuat hidup kami lebih baik? Adik saya adalah orang yang vocal dan bisa menuntun kami untuk melakukan perlawanan yang tidak adil tersebut. Melihat hal itu, saya dan Ibu saya terharu dan juga mulai menyerukan pendapat kami. Satu lawan satu, Ayah saya mungkin menang. Tetapi tiga lawan satu? Ayah saya mulai diam dan merefleksikan diri atas perbuatan yang ia lakukan.
Gaslighting yang terjadi akibat patriaki yang kami alami membuat trauma kepada diri kami masing-masing. Rendah diri dan kecemasan sudah menjadi makanan sehari-hari. Akan tetapi yang paling parah adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang salah terhadap diri kami yang membuat kami seakan tidak berharga di dunia ini. Kami harus "dituntun" untuk mendapat "tujuan hidup". Ini yang membuat kami marah. Marah terhadap perlakuan Ayah. Tetapi, yang paling utama adalah marah terhadap diri sendiri karena tidak bisa "melawan". Hal tersebut akan membuat kami jatuh ke dalam jurang kefrustasian. Oleh karena itu, memiliki hobi yang disukai seperti membaca dan kuliner makanan dapat membantu kami mengurangi stress dan perlahan kami dapat mencintai & menerima diri kami yang sesungguhnya.

Social Media Kami