Perempuan dalam Politik: Menuju Kesetaraan dan Representasi yang Bermakna
Partisipasi perempuan dalam politik merupakan indikator penting dari demokrasi yang sehat dan inklusif. Namun, meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam beberapa dekade terakhir, perempuan masih menghadapi berbagai hambatan dalam mencapai representasi yang setara di arena politik.
Pentingnya Representasi Perempuan dalam Politik
Keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya tentang keadilan gender tetapi juga membawa perspektif unik yang dapat memperkaya pembuatan kebijakan. Perempuan cenderung lebih peka terhadap isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Dengan memiliki lebih banyak perempuan dalam posisi pengambilan keputusan, kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat.
Menurut data dari Inter-Parliamentary Union (IPU), pada tahun 2023, hanya sekitar 26,5% kursi parlemen di seluruh dunia yang diisi oleh perempuan (IPU). Sementara itu, di Indonesia, meskipun telah ada kebijakan afirmasi berupa kuota 30% perempuan dalam daftar calon legislatif, representasi perempuan dalam parlemen masih belum mencapai angka tersebut secara optimal.
Kehadiran perempuan dalam politik juga berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa negara-negara dengan jumlah perempuan yang lebih tinggi dalam parlemen cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah dan kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan masyarakat (World Economic Forum).
Hambatan yang Dihadapi Perempuan dalam Politik
Meskipun partisipasi perempuan dalam politik terus mengalami kemajuan, nyatanya perempuan masih menghadapi berbagai hambatan yang kompleks. Stereotip gender, kurangnya dukungan dari partai politik, hingga tantangan dalam menyeimbangkan peran domestik dan publik menjadi faktor utama yang menghambat keterlibatan perempuan secara maksimal. Di banyak negara, budaya patriarki masih mengakar kuat, membatasi akses perempuan ke posisi kepemimpinan dan ruang-ruang strategis dalam pengambilan keputusan (UN Women, 2021).
Selain itu, sistem politik yang didominasi laki-laki kerap kali tidak ramah terhadap perempuan. Lingkungan politik yang maskulin membuat perempuan merasa enggan terlibat atau bertahan di dunia politik. Penelitian dari UN Women menunjukkan bahwa perempuan di politik lebih rentan mengalami pelecehan dan kekerasan berbasis gender, baik secara verbal maupun fisik. Hal ini semakin memperkuat hambatan struktural yang membuat perempuan sulit berkembang di ranah politik (UN Women, 2021).
Tak hanya itu, perempuan juga menghadapi diskriminasi sistematis dalam hal pendanaan kampanye politik. Akses mereka terhadap sumber daya finansial dan jaringan politik jauh lebih terbatas dibanding kandidat laki-laki, yang sering kali memiliki keunggulan dalam hal modal sosial dan ekonomi (UN Women, 2021). Kondisi ini membuat perempuan kesulitan untuk bersaing secara setara dalam kontestasi politik.
Ironisnya, sebagian perempuan yang berhasil duduk di parlemen atau posisi strategis lainnya pun masih terjebak dalam lingkaran oligarki. Banyak dari mereka terpilih bukan karena rekam jejak perjuangan atau advokasi terhadap isu-isu perempuan, melainkan karena faktor keturunan, koneksi, atau pengaruh politik keluarga. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan kerap kali tidak benar-benar berpihak pada kepentingan perempuan secara luas dan sering abai terhadap isu-isu feminis (Suryakusuma, 2011).
Selain tantangan struktural, diskriminasi terhadap suara perempuan juga masih sangat terasa di dunia politik. Pendapat dan gagasan yang disuarakan oleh perempuan sering kali dianggap kurang penting, diabaikan, bahkan dilemahkan dalam forum-forum pengambilan keputusan. Perempuan juga harus menghadapi fenomena "mansplaining" dan "manterruption", di mana suara mereka dipotong atau disela oleh rekan laki-laki, sehingga ruang bicara mereka semakin sempit (Krook, 2020). Situasi ini memperburuk ketimpangan representasi dan membuat perempuan sulit memengaruhi kebijakan secara substansial.
Dengan berbagai hambatan ini, tidak heran jika banyak perempuan akhirnya memilih mundur atau tidak bertahan lama di dunia politik. Padahal, kehadiran perempuan dalam politik sangat penting untuk mendorong lahirnya kebijakan yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada kepentingan kelompok marjinal, termasuk perempuan sendiri.
Perempuan Pemimpin yang Menginspirasi
Meski menghadapi banyak tantangan, banyak perempuan pemimpin yang berhasil menembus batasan politik dan membawa perubahan signifikan. Contohnya adalah Jacinda Ardern di Selandia Baru yang dikenal dengan kebijakan inklusif dan kepemimpinannya dalam menangani pandemi COVID-19. Ia tidak hanya berhasil menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga menerapkan kebijakan kesejahteraan yang berpihak kepada masyarakat kecil dan perempuan.
Di Indonesia, sosok seperti Rieke Diah Pitaloka menjadi contoh perempuan yang aktif memperjuangkan isu-isu buruh, perempuan, dan masyarakat kecil di parlemen. Rieke memulai kiprahnya sebagai aktivis dan terus konsisten mendorong kebijakan yang lebih pro-rakyat, terutama dalam isu-isu perempuan dan ketenagakerjaan.
Sementara itu di kancah internasional, Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) di Amerika Serikat juga menjadi ikon bagi generasi muda dalam memperjuangkan kebijakan progresif yang inklusif dan adil bagi semua orang. Ia memulai karier politiknya dari akar rumput sebagai pelayan restoran sebelum akhirnya terpilih menjadi anggota Kongres termuda dalam sejarah Amerika Serikat.
Upaya Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Politik
Untuk mendorong partisipasi perempuan secara lebih luas dan bermakna dalam politik, beberapa langkah berikut penting untuk dilakukan:
Penerapan kuota gender di partai politik dan parlemen dapat memastikan adanya ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan mengambil peran strategis dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, pelatihan dan mentoring yang terstruktur bagi perempuan muda juga diperlukan, agar mereka memiliki keterampilan dan kepercayaan diri dalam terjun ke dunia politik.
Diperlukan juga kebijakan ramah keluarga yang mendukung keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi, termasuk fleksibilitas waktu kerja dan cuti orang tua, agar perempuan tetap bisa aktif di politik. Regulasi perlindungan dari kekerasan berbasis gender juga harus diperketat untuk menciptakan ruang politik yang aman bagi perempuan.
Tak kalah penting, dukungan finansial untuk kandidat perempuan harus diperkuat karena politik sering kali membutuhkan modal besar. Jika akses pendanaan lebih setara, maka perempuan akan punya peluang yang sama untuk bersaing dalam kontestasi politik.
Dan yang paling mendasar, pendidikan politik sejak dini, khususnya bagi anak perempuan, perlu digencarkan. Anak-anak harus dikenalkan pada pentingnya kepemimpinan dan partisipasi politik sejak usia dini untuk mencetak generasi perempuan pemimpin di masa depan.
Partisipasi perempuan dalam politik bukan sekadar tuntutan keadilan gender, tetapi juga kebutuhan demokrasi. Dengan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, masyarakat akan mendapatkan kebijakan yang lebih beragam, inklusif, dan adil. Upaya kolektif dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat sangat penting dalam menciptakan ruang yang lebih aman dan setara bagi perempuan di dunia politik.
Saat lebih banyak perempuan terlibat dalam politik, dunia akan melihat kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial, kesetaraan hak, dan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dukungan terhadap perempuan dalam politik harus terus diperjuangkan agar demokrasi yang sesungguhnya dapat terwujud bagi semua.
source image : freepik.com

Social Media Kami