Standar Ganda dalam Budaya Patriarki: Melihat Ketidakberpihakan Industri Hiburan Korea terhadap Kasus Kim Sae-ron
Standar Ganda dalam Budaya Patriarki: Melihat Ketidakberpihakan Industri Hiburan Korea terhadap Kasus Kim Sae-ron
Standar Ganda dan Patriarki: Kasus Kim Sae-ron dalam Industri Hiburan Korea
Di Korea Selatan, budaya patriarki masih kuat mengakar dan memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk industri hiburan. Kim Sae-ron telah menghadapi konsekuensi yang jauh lebih berat dibandingkan aktor pria yang pernah melakukan kesalahan serupa sejak kasus pelanggaran pengemudian beralkohol pada tahun 2022. Bahkan beberapa aktor pria yang terlibat dalam skandal serupa, seperti pengemudian dalam keadaan mabuk atau kekerasan, masih dapat melanjutkan karier mereka dengan lebih mudah.
Beberapa aktor kelas atas yang pernah terjerat skandal besar, namun masih aktif berkarier diantaranya Jung Woo Sung, Lee Jin Wook, Lee Byung Hun, dan Lee Jung Jae. Adapun Jung Woo Sung dengan skandalnya yaitu keputusan sang aktor untuk tidak menikahi Moon Gabi yang saat itu merupakan ibu dari anak kandungnya dan munculnya foto mesra Jung Woo Sung bersama perempuan lain. Meski begitu, sang aktor tetap mendapatkan dukungan sorakan dari para tamu dan bintang pada acara Blue Dragon Film Awards. Lee Jin Wook pernah terjerat kasus pemerkosaan kepada seorang perempuan. Akan tetapi sang aktor membalas perempuan itu dengan tudingan laporan palsu. Akhir kasusnya pihak kepolisian mengungkapkan bahwa memang ada hubungan antara sang aktor dengan perempuan tersebut, namun sang aktor tetap kembali ke industri hiburan dalam waktu setahun lewat drama Return pada tahun 2018. Adapun kasus Lee Byung Hun yang terjadi pada tahun 2014 dia terlibat dalam skandal perselingkuhan dengan Dahee dari girlband GLAM padahal saat itu sang aktor sudah menikah dengan Lee Min Jung setahun sebelumnya. Dahee dan model Lee Ji Yeon merekam percakapan seksual dan memeras Lee Byung Hun. Mereka dijatuhi hukuman enam bulan penjara, tetapi Lee Byung Hun meminta grasi. Dia tetap aktif dalam berbagai proyek terlepas dari skandal tersebut. Aktor Lee Jung Jae yang terkenal setelah tampil di serial Squid Game ternyata juga pernah terlibat skandal DUI pada tahun 1999, ketika mobil yang ia naiki menabrak mobil perempuan. Tetapi ia membantah tuduhan tersebut. Kini, ia menghadapu kasus penipuan terkait manajemen RaemongRaein dan membantah tuduhan itu dan sibuk mempromosikan Squid Game 2.
Selain itu, stigma terhadap perempuan yang terlibat dalam skandal juga lebih besar dibandingkan laki-laki. Perempuan cenderung dianggap lebih sulit untuk mendapatkan kesempatan kedua, sementara pria yang terlibat dalam berbagai skandal besar sering kali bisa kembali ke dunia hiburan setelah beberapa waktu. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem industri hiburan lebih permisif terhadap kesalahan pria, tetapi lebih keras terhadap perempuan.
Analisis Gender dalam Kasus Kim Sae-ron
Selebriti perempuan di Korea Selatan sering kali menghadapi standar ganda dalam industri hiburan. Kasus-kasus sebelumnya, seperti yang dialami oleh Sulli dan Goo Hara, menunjukkan bagaimana tekanan sosial yang ekstrem terhadap perempuan dapat berujung pada tragedi. Sulli dan Goo Hara sering menjadi sasaran komentar kebencian di media sosial karena dianggap tidak sesuai dengan norma sosial Korea. Sulli mendapat kritik tajam karena sikapnya yang terbuka terhadap kebebasan berekspresi seperti berbicara tentang feminisme. Banyak selebriti pria yang juga tampil berani atau controversial, tetapi tidak mendapat serangan sekeras yang dialami Sulli. Goo Hara menghadapi cyberbullying parah skandal dengan mantan pacarnya. Meski dia adalah korban kekerasan dalam hubungan, dia justru yang lebih banyak mendapat kecaman, sementara pria yang terlibat tidak mendapatkan tekanan sosial sebesar itu. Banyak selebriti Fenomena ini mengungkapkan bagaimana perempuan lebih sering dihakimi dengan kejam dan jarang diberikan kesempatan untuk bangkit kembali setelah melakukan kesalahan, berbeda dengan pria yang lebih cepat dimaafkan oleh publik.
Dalam kasus Kim Sae-ron, meskipun dirumorkan memiliki keterlibatan dengan Kim Soo-hyun, justru Kim Sae-ron yang mengalami lebih banyak tekanan dan spekulasi negatif dibandingkan Kim Soo-hyun. Fenomena victim-blaming terhadap selebriti perempuan sering kali merupakan hasil dari budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat Korea. Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung lebih mudah menyalahkan perempuan, bahkan ketika skandal tersebut melibatkan dua pihak.
Selain itu, media juga berperan dalam memperburuk standar ganda ini. Pemberitaan yang lebih sensasional terhadap selebriti perempuan sering kali mengesampingkan fakta dan lebih fokus pada aspek emosional serta moralitas perempuan tersebut. Beberapa pola pemberitaan yang sering terjadi adalah menyoroti kehidupan asmara sebagai skandal. Contoh: Goo Hara pernah menjadi berita utama hanya karena berkencan, dengan artikel seperti “Goo Hara Tertangkap Kamera Bersama Pria Misterius, Skandal Baru?”. Dampak yang terjadi adalah hal ini mengesankan bahwa perempuan tidak berhak menjalani kehidupan pribadi tanpa pengawasan publik. Sebaliknya, media sering kali lebih lunak terhadap selebriti pria yang terlibat dalam skandal serius. Perbedaannya bisa dilihat dari bagaimana meda memberikan ruang bagi mereka untuk membrikan klarifikasi sebelum dijatuhi hukuman sosial. Contoh kasus selebriti pria yang mendapat perlakuan lebih lunak adalah Seungri (mantan anggota BIGBANG) yang terlibat dalam skandal Burning Sun. Kasus tersebut mencakup eksploitasi seksual dan perdagangan narkoba. Meskipun kasusnya besar, butuh waktu lama sebelum ia akhirnya dihukum, dan banyak media masih menyoroti prestasi di masa lalu. Dari hal tersebut terlihat apabila selebriti pria lebih sering diberikan ruang untuk memberikan klarifikasi atau membela diri sebelum dijatuhi hukuman sosial.
Ketidakseimbangan Kekuasaan di Industri Hiburan
Kim Sae-ron sebelumnya bekerja dalam agensi yang sama dengan Kim Soo-hyun, yang merupakan salah satu aktor paling terkenal dan termahal di Korea. Ketimpangan kekuasaan dalam hubungan antara Kim Sae-ron dan Kim Soo-hyun tidak hanya sekedar hubungan senior-junior dalam agensi, tetapi juga mencakup aspek gender usia, dan status di industri hiburan. Sebagai aktris yang lebih muda, ia lebih rentan terhadap tekanan dan eksploitasi. Dari aspek kerentanan gender, sebagai perempuan dalam industri hiburan yang misoginis, ia menghadapi lebih banyak batasan dan standar ganda. Dalam kerentanan status industri dibandingkan Kim Soo-hyun, Kim Sae-ron memiliki daya tawar yang jauh lebih kecil. Dari segi kerentanan ekonomi dan karier jika terjadi ketidakadilan, Kim Sae-ron lebih sulit untuk melawan karena takut kehilangan pekerjaan atau dihukum secara sosial oleh industri. Perbedaan usia yang besar juga dapat memperdalam ketimpangan kekuasaan dalam hubungan professional atau sosial mereka. Kim Soo-hyun, dengan pengalaman lebih lama di industri dan status yang lebih kuat, akan memiliki kendali lebih besar dalam berbagai situasi, sementara Kim Sae-ron berada dalam posisi yang lebih lemah untuk menegosiasikan haknya. Semua faktor ini membuat Kim Sae-ron lebih rentan terhadap eksploitasi dan sulit untuk menghadapi ketidakadilan. Relasi seperti ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam industri hiburan Korea, di mana aktris muda sering kali menghadapi tekanan yang jauh lebih besar dibandingkan aktor pria yang lebih senior dan berpengaruh. Ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan ini dapat membuat Kim Sae-ron lebih rentan terhadap eksploitasi serta lebih sulit menghadapi ketidakadilan dalam industri hiburan.
Selain itu, industri hiburan Korea sering kali mengontrol citra selebriti perempuan dengan lebih ketat. Skandal sekecil apa pun bisa menjadi alasan untuk menghentikan karier mereka, sementara pria lebih sering diberikan kesempatan untuk kembali setelah skandal besar. Industri hiburan Korea menuntut selebriti perempuan untuk memiliki citra yang sempurna: anggun, sopan, tidak banyak bicara, dan selalu sesuai dengan standar kecantikan yang berlaku. Mereka diharapkan tetap menjaga “image baik” tanpa boleh menunjukkan sisi pribadi yang lebih bebas. Diperlakukan sebagai objek yang harus sesuai dengan standar industri, bukan sebagai individu yang memiliki kebebasan berekspresi.
Tidak hanya itu, tekanan dari masyarakat dan penggemar juga berkontribusi pada ketimpangan ini. Beberapa penggemar pria cenderung lebih protektif terhadap idola laki-laki dan lebih kritis terhadap idola perempuan. Hal ini menyebabkan selebriti perempuan lebih mudah kehilangan dukungan, sementara selebriti pria masih bisa mempertahankan penggemar setianya meskipun terlibat dalam skandal.
Dampak Sosial dari Kasus Ini
Kasus Kim Sae-ron menunjukkan bahwa sistem di industri hiburan Korea masih belum adil dalam memberikan kesempatan kepada perempuan untuk kembali setelah mengalami skandal. Akibatnya, banyak selebriti perempuan mengalami tekanan mental yang berat dan kesulitan untuk melanjutkan karier mereka. Dibandingkan dengan selebriti pria yang sering kali masih bisa melanjutkan karier mereka setelah skandal besar, selebriti perempuan justru harus menghadapi tekanan yang lebih berat, sering kali tanpa ada dukungan dari agensi, media, maupun hukum. Sulli, Goo Hara, dan Kim Sae-ron adalah contoh nyata dari bagaimana industri ini tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara atau mempertahankan martabat mereka setelah menghadapi skandal atau serangan publik. Tidak ada sistem yang benar-benar berpihak kepada perempuan dalam menghadapi cyberbullying atau stigma sosial yang mereka terima. Industri hiburan Korea bukan hanya mengekang kehidupan perempuan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak mendukung mereka ketika mereka benar-benar membutuhkannya.
Tekanan ini juga berdampak pada perempuan muda yang bercita-cita menjadi bagian dari industri hiburan. Mereka mungkin merasa lebih terintimidasi dan takut untuk mengejar karier di dunia hiburan karena risiko tinggi yang harus mereka hadapi jika melakukan kesalahan, sekecil apa pun. Hal ini bisa menghambat bakat-bakat baru dari berkembang dan menciptakan lingkungan yang semakin eksploitatif bagi perempuan.
Lebih jauh lagi, fenomena ini dapat memperburuk kesenjangan gender dalam dunia profesional secara keseluruhan. Jika industri hiburan Korea tidak mengubah pendekatannya dalam menangani skandal, maka standar ganda ini akan terus memperkuat ketidakadilan gender di berbagai sektor lainnya, termasuk dunia kerja, hukum, dan budaya popular. Untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi idol dan aktris perempuan, industri hiburan Korea harus melakukan perubahan sistemik. Memberikan kesempatan yang sama untuk comeback, jika selebriti pria dapat kembali setelah skandal besar, maka idol dan aktris perempuan juga harus diberikan kesempatan yang sama untuk menata kembali karier mereka. Menghentikan kontrol berlebihan trehadap kehidupan pribadi, agensi dan industri hiburan harus berhenti mengontrol kehidupan pribadi selebriti perempuan secara berlebihan, termasuk larangan berkencan atau tuntutan citra yang tidak realistis. Idol dan aktris perempuan berhak menjalani kehidupan pribadi tanpa harus takut karier mereka akan hancur hanya karena berkencan atau mengekspresikan diri di media sosial. Menghapus standar ganda dalam media dan pemberitaan media Korea harus berhenti memperlakukan skandal selebriti perempuan dengan lebih kejam dibandingkan pria. Harus ada standar etika jurnalistik yang lebih adil dan tidak sensasional dalam melaporkan isu yang melibatkan perempuan. Jika industri hiburan Korea tidak segera mengubah cara mereka memperlakukan ido dan aktris perempuan, maka ketidakadilan gender ini akan terus berlanjut, bukan hanya di dunia hiburan tetapi juga di masyarakat luas.
Kasus Kim Sae-ron mencerminkan bagaimana standar ganda dan budaya patriarki masih kuat dalam industri hiburan Korea. Perempuan dalam dunia hiburan lebih rentan mengalami victim-blaming dan tekanan sosial dibandingkan pria. Untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil, masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai skandal dan memahami bagaimana sistem patriarki memengaruhi cara perempuan diperlakukan. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dan perlindungan terhadap artis muda sangat diperlukan untuk mencegah eksploitasi dalam industri hiburan.
Perubahan hanya bisa terjadi jika lebih banyak pihak yang menyuarakan ketidakadilan ini dan menuntut industri hiburan untuk lebih adil dalam memperlakukan semua artis, tanpa memandang gender mereka. Media juga harus lebih bertanggung jawab dalam menyajikan berita secara objektif dan tidak memperburuk standar ganda yang sudah ada. Dengan begitu, industri hiburan Korea dapat berkembang menjadi lebih inklusif dan mendukung karier semua artis tanpa diskriminasi gender.

Social Media Kami