Di Balik Jas Putih: Kekerasan Seksual, Media, dan Hilangnya Fokus pada Korban
Kekerasan seksual tidak mengenal profesi, status sosial, atau latar belakang pelaku dan korban. Ia bisa menimpa dan dilakukan siapa saja. Kasus terbaru yang melibatkan seorang dokter residen dari Universitas Padjadjaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, menunjukkan betapa rentannya posisi korban dalam situasi ini dan bagaimana pelaku dapat berasal dari kalangan terpelajar dan profesional.
Namun, yang lebih menyedihkan dari kasus ini adalah bagaimana media dan masyarakat menanggapi peristiwa ini—alih-alih berpihak kepada korban, perhatian justru terpecah kepada hal-hal yang tidak relevan dan tidak etis.
Dalam kasus Priguna Anugrah Pratama, sang pelaku, terdapat tiga korban yang terdiri dari dua pasien dan satu anggota keluarga pasien. Pelaku diduga menggunakan obat bius untuk melakukan aksinya, yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual sering kali melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan.
Kemudian dalam banyak kasus kekerasan seksual, publik kerap kali terjebak dalam asumsi sempit bahwa pelaku kekerasan seksual pasti berpenampilan “menyeramkan” atau berasal dari lingkungan yang tidak terdidik. Namun, fakta di lapangan berkali-kali membantah pandangan ini. Pelaku bisa siapa saja—bahkan mereka yang berpakaian rapi, bergelar tinggi, dan dihormati masyarakat. Dokter, dosen, guru, politisi, bahkan tokoh agama; semuanya bisa menjadi pelaku jika tidak ada kontrol dan kesadaran etis yang kuat dalam diri.
Kasus dokter residen Unpad menjadi bukti nyata bahwa jabatan dan status sosial tidak menjamin seseorang bebas dari potensi menjadi pelaku kekerasan seksual. Banyak warganet yang awalnya meragukan tuduhan terhadap pelaku karena merasa kasihan kepada istri dan keluarganya. Inilah bentuk distraksi publik yang sangat membahayakan. Empati yang seharusnya diarahkan kepada korban malah bergeser kepada pelaku.
Media dan Sensasi: Ketika Kronologi Lebih Penting dari Trauma
Salah satu masalah utama dalam peliputan kasus kekerasan seksual di Indonesia adalah kecenderungan media untuk mengeksplorasi kronologi secara vulgar. Detail-detail kejadian yang seharusnya menjadi bagian dari proses hukum malah dipaparkan secara eksplisit kepada publik. Tidak hanya mereduksi substansi kasus, pendekatan ini juga berisiko memperparah trauma korban.
Banyak media justru berlomba-lomba menampilkan sisi dramatis dari kasus: kapan, di mana, bagaimana pelaku melakukan aksinya, bahkan hal-hal yang sangat pribadi dan seharusnya tidak dikonsumsi publik. Tapi, apakah kita benar-benar peduli pada korban jika kita malah menyerap informasi yang menggambarkan kembali kekerasan yang dialaminya? Apakah dengan membaca detail kejadiannya, kita menjadi lebih sadar? Tidak. Kita justru sedang membuka kembali luka yang seharusnya ditutup dan dipulihkan dalam ruang aman.
Media seharusnya mengedepankan etika jurnalistik dengan melindungi identitas korban, menghindari sensasionalisme, dan memberikan ruang yang lebih besar untuk informasi tentang proses hukum dan upaya pemulihan korban. Dalam kasus dokter residen Unpad, alih-alih fokus pada penanganan hukum dan perlindungan terhadap korban, sebagian media justru membingkai narasi yang mempertanyakan bagaimana aksinya bisa berlangsung.
Lagi-lagi, Perempuan adalah Korban
Ada satu kecenderungan yang menyedihkan ketika pelaku kekerasan seksual berasal dari kalangan terdidik atau berpenampilan menarik: publik justru mencari-cari alasan untuk membenarkan perilakunya. Salah satu narasi yang muncul dalam kasus ini adalah menyalahkan istrinya, seperti “Mungkin istrinya nggak bisa memuaskan” atau “Wajar lah, mereka LDM (long distance marriage)”, seolah-olah kekerasan seksual adalah solusi yang bisa dimaklumi.
Ini adalah bentuk victim blaming yang sangat keliru, dan lebih buruk lagi: mengalihkan kesalahan dari pelaku kepada perempuan lain yang juga menjadi korban secara tidak langsung. Kekerasan seksual tidak pernah bisa dibenarkan, apa pun alasan dan kondisinya. Alih-alih menyalahkan pasangan atau situasi, kita seharusnya fokus pada keberanian korban untuk bersuara, mendukung proses pemulihan mereka, serta memastikan pelaku benar-benar mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Padahal, perempuan tidak seharusnya terus-menerus menjadi pihak yang disalahkan, baik sebagai korban langsung maupun sebagai pasangan dari pelaku.
Ketika Kekuasaan Membungkam, Siapa yang Bersuara?
Dalam banyak kasus kekerasan seksual, terlebih jika pelaku berasal dari institusi ternama atau memiliki kekuasaan struktural, korban sering kali terbungkam. Mereka takut tidak dipercaya, takut disalahkan, atau bahkan takut kepada ancaman balik. Di sinilah peran media dan masyarakat menjadi krusial. Media harus menjadi ruang aman bagi korban untuk bersuara, bukan alat untuk membungkam mereka melalui narasi bias atau minim empati.
Selain itu, masyarakat juga harus dididik untuk memahami bahwa keberanian korban untuk berbicara adalah langkah besar yang patut diapresiasi, bukan dicurigai. Karena, korban tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan atau membuktikan penderitaannya kepada publik. Kewajiban kita adalah mempercayai, mendukung, dan memastikan keadilan berpihak padanya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Ada beberapa yang bisa kita lakukan. Pertama, mengedukasi diri sendiri dan orang lain dengan mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual dan pahami bahwa pelaku bisa siapa saja. Jangan terjebak dalam stereotip bahwa pelaku harus terlihat jahat atau tidak terdidik. Kedua, kritis terhadap media dengan memilih media yang memberitakan kasus kekerasan seksual secara etis. Jangan sebarkan berita yang mengeksploitasi detail kejadian atau membuka identitas korban.
Ketiga, fokus pada korban dan jangan ikut mereproduksi narasi yang menyudutkan korban atau mengasihani pelaku. Sebaliknya, dorong dukungan terhadap korban dan perjuangan mereka mendapatkan keadilan. Keempat, yaitu tekan institusi untuk bertanggung jawab. Dalam kasus seperti ini, kampus dan institusi harus bersikap tegas dan transparan. Tidak boleh ada upaya melindungi pelaku atas dasar nama baik lembaga.
Terakhir, dukung korban melalui layanan pemulihan. Banyak lembaga yang menyediakan layanan pendampingan psikologis dan hukum bagi korban kekerasan seksual. Berikan informasi ini secara aktif kepada orang-orang di sekitar kita.

Social Media Kami