Menilik Kasus Kim Soo Hyun: Child Grooming Adalah Kekerasan Seksual!
Kasus kematian salah satu aktris Korea Selatan, Kim Sae Ron, pada 16 Februari 2025 kembali ramai diperbincangkan setelah muncul dugaan bahwa ia adalah korban child grooming yang dilakukan oleh aktor Kim Soo Hyun. Kontroversi ini bermula dari unggahan video kanal YouTube Garosero Research Institute, yang mengklaim bahwa Kim Soo Hyun–yang pada saat itu berusia 27 tahun–menjalin hubungan dengan Kim Sae Ron sejak aktris tersebut berusia 15 tahun. Dalam video tersebut dijelaskan bahwa hubungan mereka berlangsung selama enam tahun.
Banyak sekali warganet yang tidak mempercayai hal ini karena citra Kim Soo Hyun yang dilabeli sebagai lelaki “greenflag” di kalangan pecinta K-Drama. Namun, keraguan ini ditepis langsung oleh keluarga Kim Sae Ron yang mengkonfirmasi adanya hubungan tersebut. Pihak keluarga korban mengeluarkan bukti berupa foto Kim Soo Hyun mencium Kim Sae Ron saat ia masih duduk di SMP kelas 3. Karena hal itu, warganet pun berspekulasi kalau Kim Soo Hyun telah melakukan child grooming pada Kim Sae Ron.
Child Grooming adalah Kekerasan Seksual, Bukan Terjadi Atas Suka Sama Suka
Child grooming sering kali disalahpahami sebagai hubungan yang terjadi atas dasar suka sama suka. Padahal, dalam hubungan ini terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang karena pelaku yang lebih tua memiliki kontrol atas korban yang masih anak-anak (di bawah 18 tahun). Perbedaan usia yang signifikan menciptakan dominasi dan ketergantungan emosional yang membuat korban sulit menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Oleh karena itu, child grooming juga termasuk ke dalam kekerasan seksual karena orang dewasa tersebut dapat melakukan manipulasi terhadap korban yang belum dapat memberikan consent (persetujuan) secara penuh dan sadar karena perkembangan kognitif dan emosional mereka masih belum matang. Pelaku biasanya menggunakan manipulasi psikologis untuk membuat korban merasa nyaman dan terikat, sehingga lebih mudah untuk dieksploitasi.
Dalam bukunya, Predators: Pedophiles, Rapists, and Other Sex Offenders, Anna C. Salter, Ph.D. menjelaskan bahwa teknik manipulasi emosional dan sosial yang sering digunakan oleh pelaku child grooming berfokus pada proses mendapatkan kepercayaan dan menciptakan keterikatan emosional dengan korban. Hal ini dilakukan secara perlahan dan sistematis, sehingga korban tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Salter mengidentifikasi bahwa predator sering kali menggunakan taktik grooming yang mencakup pemberian perhatian khusus, hadiah, janji perlindungan, serta pujian yang membuat korban merasa nyaman dan mempercayai pelaku sepenuhnya. Selain itu, pelaku juga berupaya mengisolasi korban dari dukungan sosial yang mungkin melindunginya, seperti keluarga atau teman, sehingga korban semakin bergantung secara emosional pada pelaku.
Dikatakan Salter juga bahwa pelaku child grooming sangat terampil dalam mengelabui orang dewasa di sekitar korban, seperti orang tua, pengasuh, guru, bahkan publik. Ini dilakukan dengan menunjukkan sikap baik, perhatian, dan kepedulian yang tulus di depan umum, karena pelaku berusaha untuk membangun citra positif yang dapat mengaburkan niat jahatnya.
Kim Soo Hyun: Predator yang Kini Masih Dapat Dukungan
Dengan berbagai bukti yang sudah dikeluarkan, hubungan antara Kim Soo Hyun dan Kim Sae Ron sudah terlihat jelas merupakan child grooming. Namun, agensi Kim Soo Hyun, Gold Medalist, justru membantah semua tuduhan ini. Mereka mengatakan bahwa keduanya menjalin hubungan saat Kim Sae Ron sudah berada di usia legal, 19 tahun. Pihak agensi bahkan berencana mengambil langkah hukum terhadap penyebaran misinformasi.
Kekuasaan dan ketenaran yang dimiliki oleh Kim Soo Hyun membuat beberapa orang buta dan tetap mendukungnya. Padahal, apa yang dilakukan oleh Kim Soo Hyun nyata adanya bahwa ia adalah pelaku child grooming. Siapapun orangnya, pelaku kekerasan seksual seharusnya tidak boleh dibela. Sayangnya, sebagian penggemar dan pendukungnya menolak untuk menerima kenyataan atau bukti yang ada. Mereka lebih memilih untuk mempercayai narasi yang dibangun oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan ketenaran.
Padahal, Salter mengungkapkan bahwa para pelaku kekerasan seksual sering kali memanfaatkan status sosial, kekuasaan, dan citra positif mereka untuk mengelabui masyarakat. Mereka kerap kali dianggap sebagai individu yang baik, peduli, dan berperilaku terpuji di depan umum. Secara tidak langsung, hal ini membuat orang-orang di sekitar menutup mata terhadap tindakan buruk yang pelaku lakukan, atau bahkan secara aktif membela dan memaafkan mereka meskipun sudah ada bukti yang jelas.
Di sisi lain, korban child grooming seperti Kim Sae Ron harus menghadapi dampak serius terhadap kesehatan mental, emosional, dan sosialnya. Sebelum kasus ini terungkap, Kim Sae Ron sudah menghadapi tekanan sosial dari publik akibat kasus DUI (Driving Under Influence) yang menimpanya. Kondisinya semakin memburuk setelah ia dimanipulasi oleh Kim Soo Hyun dan agensinya untuk segera melunasi pinjaman sebesar 700 juta won untuk mengatasi kasus tersebut, tanpa adanya support system yang memadai.
Trauma psikologis juga dijelaskan Salter sering kali menjadi dampak utama bagi korban child grooming. Gejalanya dapat mencakup gangguan stres pascatrauma (PTSD), seperti flashbacks, mimpi buruk, dan gangguan tidur yang berlangsung lama. Selain itu, kecemasan dan depresi kerap dialami korban karena perasaan malu, bersalah, dan ketidakberdayaan, meskipun mereka bukan pihak yang bersalah. Hal ini diperparah dengan rusaknya rasa percaya diri yang menyebabkan korban merasa tidak berharga dan kesulitan membangun hubungan sehat di masa depan.
Salter juga menekankan bahwa pelaku child grooming kerap menggunakan manipulasi emosional untuk mengisolasi korban dari dukungan sosial dan menjebak mereka dalam relasi yang tidak sehat. Hal ini terlihat dari bagaimana Kim Sae Ron didesak untuk melunasi pinjaman tanpa mempertimbangkan kondisinya yang sudah tertekan secara mental.
Tragisnya, Kim Sae Ron ditemukan meninggal dunia pada 16 Februari 2025, yang diduga akibat bunuh diri. Tekanan finansial, manipulasi, dan stigma publik yang diterimanya memperburuk kesehatan mentalnya. Kasus ini menunjukkan bahwa child grooming bukanlah hubungan yang keliru dipahami sebagai cinta, melainkan bentuk kekerasan seksual yang memiliki dampak buruk yang berkepanjangan. Tidak peduli seberapa besar ketenaran atau kekuasaan yang dimiliki seseorang, tindakan kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan dan harus diberantas.
Jangan sampai kasus ini terulang kembali. Mari kita membuka mata dan tidak lagi terbuai oleh citra baik atau kekuasaan yang digunakan sebagai tameng oleh para predator. Tetaplah curiga dan waspada terhadap segala bentuk manipulasi yang mungkin terjadi di sekitar kita. Kita juga harus berani bersuara dan berpihak pada korban yang tertindas, memberikan mereka ruang untuk didengar, dipahami, dan dilindungi. Karena melindungi korban bukan hanya soal memberi dukungan, tetapi juga menjadi benteng yang memutus rantai kekerasan.

Social Media Kami