Aku Menolak Disebut Perempuan Sederhana Demi Cinta yang Setara
“Aku belum mapan. Kita nikah di KUA aja ya?”
Kalimat itu terdengar begitu sering, nyaris seperti template cinta ala lelaki baik-baik. Ajakan untuk menikah sederhana, akhirnya dipelintir untuk menormalkan momen sakral menjadi: cepat halal, hemat biaya, dan menghindari riya. Begitulah katanya, yang menggunakan cinta sebagai izin untuk segala sesuatunya. Jika aku menolak, aku dianggap terlalu banyak mau. Jika aku mengiyakan, tentu aku akan diberi selendang mulia bertuliskan "perempuan sederhana".
Seolah-olah aku selalu diminta untuk terus menerima. Tapi benarkah perempuan memang dikodratkan untuk terus menerima? Walaupun cinta seperti memintaku mengubur mimpi demi membuktikan kesetiaan.
Padahal, aku tidak ingin menjadi perempuan sederhana. Bukan karena tamak, tapi karena aku percaya cinta itu pantas diperjuangkan. Aku ingin tahu bahwa keinginanku tidak dianggap beban. Bahwa ketika aku bermimpi tentang perayaan kecil, aku tidak dibungkam oleh dalih "yang penting sah". Karena bagiku, cinta yang sehat tidak akan memaksaku mengecil agar terlihat cukup.
Mengapa kesiapan laki-laki dianggap sebagai takdir, sementara kesiapan perempuan dianggap sebagai kesombongan?
Sering kali, laki-laki datang dengan kontradiksi. Katanya, ia siap menua bersamaku, berbagi tawa dan air mata, menghadapi dunia hanya berdua. Namun, saat aku meminta pertanggungjawaban, dengan enteng ia berkata, "Kita sesuaikan saja nanti". Tapi realitasnya, siapa yang paling banyak menyesuaikan? Siapa yang paling dulu disuruh mengerti? Siapa yang paling akhir ditanya bahagia atau tidak? Dan, siapa yang pada akhirnya harus berkorban untuk menjaga keutuhan hubungan?
Perempuan terlalu sering diberi nasihat tentang ikhlas. Tentang menerima apapun bentuk cinta selama itu niat baik. Tapi apakah ikhlas harus membuat perempuan memelas? Apakah artinya perempuan tidak boleh berharap? Padahal, yang kutahu, cinta bukanlah ladang pengorbanan satu arah. Karena jika hanya satu yang berjuang, yang tumbuh adalah keraguan.
Aku tidak sedang berbicara tentang resepsi mewah, gaun berkilau, atau pesta semalam suntuk. Aku sedang berbicara tentang niat yang tidak terburu-buru, tentang usaha yang tidak pura-pura. Sebab, aku ingin dilamar dengan sungguh-sungguh, bukan hanya "asal kamu mau".
Aku ingin menikah bukan karena aku sabar menunggu, tapi karena aku benar-benar dicintai, dihargai tanpa tapi, dan dipilih tanpa ragu. Karena aku tidak butuh janji surga, jika dunia saja tak menganggap keberadaan perempuan sebagai manusia yang berharga.
Sebab bahasa cinta yang sesungguhnya diinginkan perempuan adalah usaha. Bukan sekadar rayuan manis atau belaian hangat seperti dalam lima bahasa cinta yang populer, melainkan langkah-langkah sunyi yang penuh niat, keberanian untuk memperjuangkan, dan kesungguhan untuk hadir secara utuh.
Karena sering kali, bukan pesta yang dirindukan perempuan, tapi pengakuan bahwa dirinya penting. Bahwa cinta yang ia bangun layak hadir dengan upacara, bukan sekadar tergesa-gesa dan tanpa arah. Bahwa hidupnya bukanlah pelengkap dari skenario lelaki yang belum siap, tapi jiwa yang juga ingin disambut dengan penuh hormat.
Bagiku, narasi "perempuan baik harus mau diajak susah" telah mengerdilkan perempuan. Seolah-olah kesetiaan hanya bisa dibuktikan dengan kesabaran pada yang belum siap. Padahal, terkadang sulit itu bukan ujian, melainkan hasil dari minimalnya keinginan berjuang. Sementara aku tidak ingin diajak ke jurang penuh bebatuan hanya karena pasanganku enggan merancang jalan yang manusiawi.
Banyak yang bilang, "Kalau kamu cinta, kamu harusnya mengerti". Tapi jarang ada yang bertanya, “Sudahkah kamu mengerti?” Padahal cinta bukan hanya soal memberi pengertian, tapi juga tentang tempat untuk dipahami tanpa perlu terus-menerus menjelaskan. Sebab yang benar-benar mencinta, tak hanya ingin dimengerti, ia pun harus mau belajar memahami.
Aku ingin jadi perempuan yang tetap bisa bermimpi, tanpa harus merasa bersalah karena tidak menerima seadanya. Karena cinta yang adil tidak meminta seseorang berhenti bermimpi, hanya demi menyesuaikan diri dengan yang belum beranjak dari rasa enggan.
Biarlah aku disebut perempuan "terlalu banyak maunya". Aku tidak takut dicap cerewet, rewel, jual mahal, atau ribet. Yang kutakutkan justru kehilangan diriku sendiri demi gelar perempuan sederhana. Karena jika harus mengorbankan jati diri demi diterima, maka itu bukan cinta, itu kompromi yang menyesakkan. Lebih baik aku menunggu cinta yang jujur ββββdan setara, daripada dibungkam oleh cinta yang buru-buru tapi tidak bertanggung jawab.
Karena perempuan, seperti cinta itu sendiri, tidak diciptakan untuk terus mengikhlaskan pada hal kecil. Perempuan diciptakan untuk tumbuh, bersinar, dan dicintai sepenuh-penuhnya; dengan hormat, dengan niat, dan dengan keberanian untuk benar-benar memperjuangkan.

Social Media Kami