Perkawinan Nyentana di Bali sebagai Ruang Negosiasi dalam Sistem Patriarki
Sebagai wilayah dengan sistem patrilineal & patrilokal yang kuat, masyarakat Bali selalu mengutamakan keturunan melalui pihak laki-laki. Sehingga, garis keturunan keluarga, tanggung jawab sosial adat, dan warisan menjadi hak dan kewajiban mereka. Sementara perempuan menjadi kebalikannya, mereka tidak memiliki kesempatan mengakses harta dan warisan.
Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa Bali menyimpan satu tradisi unik yang mendobrak sistem tersebut. Ia adalah perkawinan nyentana.
Perkawinan Nyentana yang "Mendobrak" Budaya Patriarki di Bali
Perkawinan nyentana merupakan salah satu jenis perkawinan dalam adat Bali ketika pihak perempuan melamar laki-laki. Biasanya, setelah menikah, sang suami akan tinggal bersama dengan keluarga istri. Sebuah sistem yang cukup progresif, mengingat struktur sosial adat Bali yang dikenal sangat patrilineal.
Perkawinan yang disebut juga dengan perkawinan nyeburin atau pekidih ini adalah bentuk perkawinan matriarki yang lahir di Kabupaten Tabanan, Bali. Menurut Jayanti (2013), perkawinan ini lahir dari kebutuhan adat untuk menjaga garis keturunan dan hak waris, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena itu Pratama, dkk. (2021) mengungkapkan nyentana sering dianggap sebagai solusi bagi keluarga dengan keturunan perempuan tunggal.
Beberapa masyarakat Bali di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Bangli bahkan menyebarkan sistem perkawinan nyentana ini. Korn (2013) menyebutkan bahwa seorang sentana (menantu laki-laki yang menikah dengan perempuan tunggal) akan diposisikan menjadi sentana kepala dara. Sentana ini banyak ditemukan di daerah Badung, Jembrana, dan Gianyar, sementara sentana luh lebih umum dijumpai di Tabanan.
Baca Juga: Triple Roles Perempuan Bali: Realitas yang Dibalut oleh Budaya Patriarki
Meski demikian, perkawinan nyentana juga memunculkan beragam pandangan di masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk kesetaraan, namun ada juga yang menilai berbeda karena peran laki-laki dan perempuan dianggap tidak lazim dari norma yang umum berlaku. Stereotip pun sering muncul terhadap pasangan yang menjalani sistem ini.
Sistem yang Mengakomodasi Posisi Perempuan
Sistem perkawinan ini pun sudah diatur oleh Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar Nomor 105/PDT/1072 pada tanggal 22 Juli 1972. Dalam keputusan tersebut, disebutkan bahwa “Seorang anak perempuan boleh mewaris apabila memperoleh status hukum laki-laki serta dijadikan sebagai sentana rajeg (pilar atau tiang penyangga keluarga) atau dikawinkan secara keceburin (calon suami meninggalkan keluarga asal dan bergabung dengan keluarga istri)”.
Selain itu, tidak semua keluarga di Bali memiliki anak laki-laki, sehingga anak perempuan yang sering kali harus menjadi sentana rajeg. Dalam proses mencari sentana, perempuan dituntut untuk berhati-hati dalam memilih pasangan. Ia perlu memastikan bahwa laki-laki yang akan dinikahinya bersedia menjalani perkawinan baru-baru ini , karena keputusan tersebut akan berdampak pada status dan tanggung jawab dalam keluarga.
Adanya sistem perkawinan ini membuat akses perempuan terhadap sumber daya menjadi semakin besar. Ia dapat memperoleh hak atas harta dan warisan, yang sebelumnya lebih banyak dipegang oleh laki-laki. Sebab, kepemilikan keduanya juga berkaitan dengan keinginan garis keturunan, jabatan sosial, dan kewajiban adat dalam keluarga.
Di masyarakat Bali, ada beberapa bentuk warisan, seperti hak atas tanah karang desa yang dimiliki oleh seluruh warga desa (krama desa pakrainan), hak untuk memanfaatkan setra (kuburan desa), serta tetamian (harta pusaka). Tetamian (harta pusaka) sendiri terbagi menjadi dua, yaitu tetamian yang tidak dapat dibagi seperti sanggah atau merajan, dan tetamian yang dapat dibagi seperti ladang, sawah, dan harta benda lainnya.
Proses Perkawinan Nyentana
Anak perempuan yang menjadi seorang sentana rajeg akan melalui beberapa tahapan khusus. Misalnya, ia harus mengikuti proses kerajegang sentana atau statusnya diubah menjadi keturunan keturunan (purusa). Selain itu, Kitab Manawa Dharmasastra IX. 127 menjelaskan bahwa sentana rajeg juga memiliki nama lain yang disebut dengan putrika.
Udytama (2015) menjelaskan putrika menandai bahwa perempuan akan memiliki kewajiban yang diantaranya 1) Ikut menentukan keputusan dalam keluarga; 2) Ahli waris bagi keluarga; dan 3) Penerus keturunan dari keluarga, dan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh keluarga.
Baca Juga: Dilema Damsel in Distress: Peran Perempuan dalam Video Game
Secara sosial, praktik ini seperti membalik norma yang sudah mapan dalam masyarakat Bali. Jika sebelumnya laki-laki dianggap sebagai pusat garis keturunan dan pemegang hak waris, melalui sistem nyentana, perempuan justru mengambil posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan keluarga. Ia diposisikan sebagai subjek yang memiliki otoritas, tanggung jawab, dan peran penting dalam mempertahankan identitas serta keinginan sosial keluarga.
Antara Stigma dan Realitas
Walaupun perkawinan nyentana sudah diakui, namun masih ada anggapan bahwa praktik ini adalah penyimpangan dari sistem perkawinan normatif. Sampai-sampai muncul bagi laki-laki yang ingin melakukan proses nyentana. Bahwa, mereka dianggap kurang jantan.
“Nak ye getap ajak somahne, beneh paid bangkung ka adanin,” katanya. Artinya, dia orang yang takut dengan istrinya, disebut sebagai paid bangkung. Paid bangkung diibaratkan seperti kerbau yang dicolok hidungnya atau kurang bertanggung jawab terhadap tanggung jawab dalam meneruskan keturunan bagi garis purusa yang dimilikinya.
Meski begitu, di beberapa daerah di Bali merasa penting untuk melaksanakan proses perkawinan nyentana. Oleh karena itu, tujuannya tidak hanya semata-mata untuk memenuhi ketiadaan anak laki-laki dalam keluarga tetapi juga demi menjaga keutuhan dan kedamaian. Keluarga yang memilih praktik ini merasa bahwa perempuan juga memiliki hak untuk menjadi seorang penerus keluarga meskipun terbatas.
Apa yang terjadi dalam nyentana memperlihatkan bahwa perempuan tidak sepenuhnya pasif di bawah sistem patriarki Bali. Mereka justru berstrategi dan menegosiasikan posisinya melalui tawar-menawar patriarki, konsep yang dicetuskan Kandiyoti (1988). Artinya, perempuan mencari ruang aman dan manfaat di dalam aturan yang dibuat oleh sistem patriarki itu sendiri. Dengan menjadikannya putrika atau sentana rajeg, perempuan bisa mendapat akses terhadap warisan dan status keluarga melalui pernikahan.
Namun, negosiasi ini tetap tidak seimbang. Menurut Kandiyoti, perempuan berstrategi dari posisi yang lebih lemah. Meskipun perempuan diakui sebagai pewaris dan pewaris garis keturunan, kekuasaannya tetap dibatasi oleh norma dan nilai patriarki yang kuat. Jadi, sistem ini tidak sepenuhnya memerdekakan perempuan, namun menunjukkan bagaimana mereka beradaptasi dan menemukan ruang agensi di tengah budaya yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan.
Namun, Terdapat Kompleksitas….
Meski terdengar unik, praktik ini adalah cermin dari kompleksitas negosiasi gender di ruang adat. Sebab, perempuan Bali sering kali hanya dilibatkan secara simbolis. Realitasnya, dalam forum adat (paruman) atau pengambilan keputusan keluarga, suara laki-laki masih lebih dominan. Sementara itu, perempuan sering kali hanya dilibatkan secara simbolis.
Meski begitu, perubahan sistem seperti ini, juga dapat dilihat sebagai kemenangan kecil bagi para perempuan Bali. Kemenangan dari struktur sosial, budaya, dan adat yang telah menguasai mereka sejak lama. Setiap perempuan Bali yang berani mengambil peran sebagai sentana rajeg sesungguhnya telah membuka celah negosiasi baru dalam sistem patriarki yang kuat.
Baca Juga: Membongkar Mitos Keperawanan yang Selama Ini Dibentuk Hegemoni Maskulinitas
Saya juga ingin mengapresiasi laki-laki yang berani memilih perkawinan nyentana. Pilihan ini sering dipandang miring karena dianggap menghilangkan kehormatan sebagai purusa atau meninggalkan identitas laki-lakinya. Padahal, keputusan tersebut justru menunjukkan keberanian besar, karena berani menolak konstruksi sosial yang kaku dan hadir sebagai pasangan sejajar bagi perempuan.
Sikap seperti ini, membuktikan bahwa maskulinitas sejati ditunjukkan melalui tanggung jawab, keberpihakan, dan keberanian menantang stigma demi mewujudkan nilai kesetaraan dan kemanusiaan. Hal inilah yang dibutuhkan untuk menjadi mitra sejati bagi perempuan Bali yang sering menjadi korban dari sistem patriarki.
Oleh karena itu, praktik kesetaraan masih perlu diperkuat. Ia tidak boleh berhenti hanya pada gelar atau status dalam perkawinan, tetapi juga perlu diwujudkan melalui partisipasi yang bermakna bagi perempuan dalam kehidupan adat, sosial, dan pengambilan keputusan.
Social Media Kami