19 Jam Bekerja, Upah Tak Seimbang: Cerita Pilu Seorang Bidan Honorer di Sulawesi Tengah
“Sakit, sedih, marah”
Itulah tiga kata pertama yang terlintas di benak saya saat mendengar cerita sahabat lama, S, sebagai seorang bidan di salah satu rumah sakit kabupaten di Sulawesi Tengah. Saya mengenal S sebagai perempuan tangguh dan inspiratif.
Setelah lama tak bersua, saya mendapat kesempatan berbincang selama 30 menit dan merasa kesedihan mendalam atas apa yang terjadi padanya. Diceritakan, selama 3,5 tahun terakhir, S bekerja di bagian pelayanan medis rumah sakit tersebut. Namun, di balik dedikasinya, tersimpan realitas pahit tentang ketidakadilan yang menimpanya.
Bekerja 19 Jam, Dibayar Rp60.000–80.000 Per Shift
Sebagai tenaga honorer, S tidak mendapatkan gaji tetap per bulan yang layak. Ia dibayar berdasarkan shift, yaitu Rp60.000 untuk shift pagi, Rp70.000 untuk sore, dan Rp80.000 untuk malam. Tak jarang, ia harus bekerja lebih dari satu shift dalam sehari, bahkan sampai 19 jam.
Waktu istirahat pun terbatas. Libur di hari Minggu hanya bisa perempuan ini dapatkan jika sebelumnya ia telah menjalani dinas malam. Artinya, hari libur pun sering kali menjadi ilusi semata. Lebih menyakitkan lagi, ketika S mengalami menstruasi yang menyakitkan, ia tetap harus bekerja hingga 19 jam tanpa empati atau toleransi dari rekan kerjanya.
Kondisi ini tak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental S. Rasa lelah yang menumpuk, minimnya waktu istirahat, serta tekanan untuk terus bekerja tanpa dukungan emosional membuatnya sering merasa cemas dan kehabisan energi. Ia mengaku pernah menangis diam-diam di ruang jaga karena merasa tubuhnya tak lagi sanggup, namun tetap dipaksa bertahan karena tak ada pilihan.
Nihilnya Jenjang Karier dan Perlindungan
S juga mengaku bahwa selama bekerja ia tak memiliki kejelasan tugas atau pembagian kerja. Semua tugas ia kerjakan sesuai perintah, tanpa batasan jelas. Bahkan ketika terjadi keluhan dari pasien, S yang harus menjadi garda terdepan.
“Waktu saya mau konsultasi sama seniorku kadang tidak didengarkan karena beda suku, mayoritas suku di tempat kerjaku kan suku A, jadi hanya sesama suku A saja yang respon seniorku bagus sedangkan saya kan bukan dari suku itu. Terus, ada juga temannya anak mantan kepala ruanganku yang kebetulan mereka ada hubungan keluarga jadi diperlakukan lebih baik dari saya.” (S, 2024)
Di balik kesibukan dan tekanan kerja yang berat, S juga harus menghadapi kenyataan pahit lain: diskriminasi di lingkungan kerja. Ia kerap merasa tidak diperlakukan setara karena faktor identitas sosial, seperti asal suku dan kurangnya koneksi keluarga dengan pihak manajemen. Situasi ini menciptakan ketimpangan akses terhadap dukungan dan bimbingan, terutama dari tenaga senior yang seharusnya menjadi tempat bertanya dan belajar.
Sementara beberapa rekan yang berasal dari suku mayoritas atau memiliki hubungan kekeluargaan dengan atasan mendapat perlakuan yang lebih ramah dan terbuka, S justru sering merasa diabaikan. Ketimpangan ini bukan hanya menghambat perkembangan profesionalnya, tetapi juga memperdalam rasa keterasingan dalam lingkungan kerja.
Selain itu, S juga menghadapi ketidakjelasan dalam sistem pengupahan. Menurut aturan yang berlaku di daerahnya, tenaga honorer seharusnya menerima gaji sebesar Rp1.200.000 per bulan. Namun dalam praktiknya, ia hanya menerima Rp900.000, tanpa penjelasan atau transparansi dari pihak manajemen. Pemotongan gaji pun dilakukan secara sepihak, bahkan jika S izin atau terlambat karena alasan kesehatan.
Tambahan insentif dari BPJS yang seharusnya bisa menjadi bentuk apresiasi atas jumlah pasien yang ditangani juga terasa tak adil. Berapa pun banyaknya pasien, nominal yang diterima setiap bulan selalu sama. Ini membuktikan bahwa sistem yang seharusnya mendukung para tenaga kesehatan justru terasa mengabaikan hak dan kesejahteraan mereka.
Pada Akhirnya, Kue Menopang Hidupnya…
Pada akhirnya, untuk bisa tetap bertahan hidup, S harus mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaannya sebagai bidan. Ia memilih berjualan kue; memasak di sela waktu istirahat, lalu membawa dagangannya ke rumah sakit untuk ditawarkan ke rekan-rekan kerja. Bukan karena hobi, tapi karena kebutuhan.
Kisah S adalah gambaran nyata bagaimana profesi perawatan, seperti bidan, yang krusial bagi kesehatan ibu dan anak, masih kurang dihargai secara struktural. Negara belum hadir sepenuhnya untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan para tenaga kesehatan di lini terdepan ini. Ketika peran penting mereka tidak dibarengi dengan jaminan ekonomi yang layak, maka pilihan, seperti berjualan kue, menjadi jalan yang terpaksa ditempuh.
Saatnya Mengakui Nilai Kerja Perawatan
Dalam dunia kerja yang masih bias gender dan relasi kekuasaan, pekerjaan yang mayoritas dilakukan perempuan, seperti bidan, perawat, guru PAUD, sering kali dipandang sebelah mata. Padahal, pekerjaan ini menyangkut hidup dan kesejahteraan manusia.
Dalam “Comparable Worth, Incomparable Pay” (1984) oleh Teresa Amott dan Julie Matthaei, disebutkan bahwa pekerjaan perempuan kerap diberi upah rendah, minim kesempatan naik jabatan, dan sering diabaikan kontribusinya. Padahal, konsep nilai setara ini harus dimaknai bahwa pekerjaan dengan nilai dan tanggung jawab yang sebanding, terlepas dari jenis kelamin atau latar belakang etnis pelakunya, harus dibayar dengan setara.
Dan, tampaknya, tulisan tahun 80-an itu masih relevan hingga sekarang, seperti yang dialami S. Potret nyata ketidakadilan dalam sistem kerja di sektor kesehatan membuat S harus menjadi sapi perah tanpa upah yang setara. Padahal, S tidak minta dihormati karena jasanya, ia hanya ingin haknya sebagai pekerja diakui dan dihargai.
Dalam memperingati Hari Buruh, kisah S mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesejahteraan pekerja belum selesai bagi mereka yang berada di sektor krusial. Sudah saatnya negara, khususnya pemerintah daerah, membuka mata dan menjalankan perannya melindungi tenaga kesehatan, terutama mereka yang bekerja sebagai honorer, dengan memberikan upah layak, jaminan sosial, serta menghapus diskriminasi berdasarkan suku dan status sosial.
Perempuan seperti S tidak boleh terus dibiarkan berjuang sendiri di tengah sistem yang abai. Oleh karena itu, Hari Buruh seharusnya menjadi momentum refleksi dan aksi nyata untuk memastikan tidak ada lagi tenaga kerja, terutama perempuan di sektor perawatan, yang hidup dari sisa-sisa belas kasihan sistem.
Tags:

Social Media Kami