RUU Polri: Supremasi Polisi yang Menghancurkan Tubuh Perempuan
Selama satu minggu penuh, pada 20–27 Maret 2025, elemen masyarakat sipil dari Jawa, Banda Aceh hingga Papua memobilisasi kemuakan atas disahkannya UU TNI. Ketika perlawanan belum usai, kini sipil dihadapkan dengan revisi RUU Polri, yang pembahasannya dilakukan secara tertutup—mirip siasat negara saat menyelundupkan RUU TNI di hotel berbintang, jauh dari jangkauan publik. Celakanya, pembahasan RUU Polri dilakukan pada masa transisi pemerintahan, padahal seharusnya masa seperti itu tidak dimanfaatkan untuk membuat kebijakan yang bersifat strategis.
Revisi RUU Polri bahkan tak masuk daftar Prolegnas Prioritas 2024, tapi pembahasannya tetap dilakukan di ujung masa kerja DPR periode 2019–2024. Lagi dan lagi, publik disingkirkan dari proses pembahasan sejak awal. Hal ini tentu menjadi alarm penting bagi kita semua. Bahwa, undang-undang yang dibahas secara diam-diam, cepat-cepat, dan seragam dukungannya dari elit, besar kemungkinan isinya adalah bencana.
Dan bencana itulah yang kini mengancam perempuan dan kelompok minoritas gender.
Kekerasan yang Dibungkus Legislasi
RUU Polri berisi banyak pasal bias, draconian (kejam dan represif), serta membuka ruang abuse of power. Dari pasal 7 dan 10, misalnya, terlihat pengaburan struktur tanggung jawab. Jika ada anggota Polri melakukan kekerasan seksual (KS) atau bahkan femisida, seperti dalam kasus Novia Widyasari, maka polisi bisa menghindar dengan menyebutnya sebagai “oknum”.
Diksi “oknum” ini telah menjadi strategi klasik polisi dalam mereduksi tanggung jawab institusional dan menutupi kebusukan sistemik. Sehingga, mereka pun enggan untuk mengakui kesalahannya dan selalu berlindung dalam politik bahasa ala Orde Baru. Melempar narasi “oknum” adalah plester mujarab dari semua borok busuk yang repetitif dan sulit mereka akui.
Sementara, pada Pasal 14 ayat 1 huruf (a) menyebutkan Polri bertugas “mengatur, menjaga, mengawal, dan patroli”. Frasa “pengaturan” memberi justifikasi legal untuk membatasi aksi massa. Frasa “penjagaan dan pengawalan” telah lama jadi pintu masuk normalisasi keberadaan aparat bersenjata dalam ruang sipil. Polisi makin menancapkan diri sebagai panoptikon – tubuh bersenjata negara yang tidak hanya mengawasi, tetapi mengintimidasi.
Dan, hal ini sudah sering terjadi. Pada aksi Hari Buruh (1/05/2025) di Jakarta silam, akun X @secgron membagikan kisahnya saat menjadi tim medis. Ia beserta 14 orang lainnya justru dibanting, dipukul, diinjak oleh polisi. @jorgianaaa yang juga turut berada dalam tim ini juga mengaku mendapat kekerasan seksual; pakaian dalamnya ditarik, ia diberi label yang merendahkan, bahkan ia diancam untuk ditelanjangi.
Kontrol atas Ruang Digital dan Tubuh Perempuan
Tak hanya itu, Pasal 14 ayat 1 huruf (b) memberi Polri kewenangan membina dan mengawasi ruang siber. Dalam praktiknya, ini memberi legitimasi atas pengawasan seksis terhadap tubuh perempuan di ruang digital. Misalnya, perempuan yang mengunggah foto kampanye hak tubuh bisa dituding menyebarkan konten tak senonoh dan “dibina”.
Di saat yang sama, kasus-kasus KBGO seperti pornografi AI atau grup pedofil malah diabaikan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pengawasan polisi negara kita bersifat selektif, bias gender, dan bermuatan moralistik. Kritik, edukasi seksual, ekspresi gender non-normatif; semuanya bisa dibungkam dengan dalih pembinaan. Di sinilah gendered surveillance bekerja karena tubuh perempuan dan minoritas gender dijadikan objek pengaturan, bukan subjek yang berdaulat.
Baca juga: Membongkar Kekerasan Berbasis Gender Online: Langkah ASEAN Menuju Kerja Sama yang lebih Responsif
“Pembinaan” sebagai Wacana Kekuasaan
Pasal 14 ayat 1 huruf (d) memperkuat kekuasaan itu lewat kata “pembinaan”. Istilah ini terdengar lembut, padahal isinya bisa jadi represif. Tak ada batasan jelas: siapa yang ditentukan perlu dibina? Siapa yang menentukan? Bagaimana mekanismenya? Apakah bisa ditolak?
Dalam praktik, pembinaan kerap jadi dalih penangkapan sewenang-wenang atas massa aksi. Namun, ke depannya bukan tak mungkin korban kekerasan seksual pun dianggap perlu “dibina”. Karena, mereka dianggap tidak berteriak, berpakaian “mengundang”, atau terlambat melapor. Minoritas gender seperti queer dan trans juga rentan distigma. Diksi pembinaan bisa menjadi alat “penertiban” atas ekspresi tubuh yang dianggap menyimpang.
Contoh paling nyata pernah dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim remaja laki-laki “gemulai” ke barak. Dan, jika RUU ini disahkan, ia pun berisiko melanggengkan agenda serupa–yang lebih parahnya–di tingkat nasional.
Baca juga: Vasektomi sebagai Syarat Bansos: Politisasi Tubuh dan Kekuasaan Negara Pada Masyarakat Miskin
Superbody: Kuasa Tanpa Batas
Pasal lain yang tak kalah bermasalah adalah Pasal 14 ayat 1 huruf (i) yang menyebut frasa “melayani sementara”. Walau kedengarannya netral, tapi ia justru membingungkan batas wewenang Polri. Ini membuka celah polisi untuk terlibat dalam ranah-ranah yang seharusnya diurus tenaga profesional, termasuk menyangkut tubuh dan seksualitas perempuan.
Jika korban KS datang ke kantor polisi, mereka bisa mendapat saran yang dangkal serta penanganan dari aparat yang minim atau bahkan nihil pemahaman gender. Dalam kasus kehamilan tidak direncanakan, korban juga bisa ditekan untuk menikah, atau dikembalikan ke keluarga tanpa persetujuannya. Sehingga secara perlahan, tubuh perempuan direduksi menjadi objek interogasi, bukan subjek yang punya agensi.
Kekerasan Struktural yang Tak Disentuh RUU
Dari banyaknya revisi UU Polri, ia justru tidak menyasar akar masalah krusial di tubuh institusi kepolisian: korupsi, kekerasan HAM, impunitas, intervensi politik, dan minimnya integritas. Alih-alih membenahi secara sistemik, RUU ini memperluas kekuasaan. Padahal, institusi kepolisian berulang kali menjadi aktor utama kekerasan terhadap jurnalis, buruh, aktivis, dan perempuan. Benar apa yang disampaikan Morgue Vanguard dan Doyz dalam penggalan lirik Check Your People, alih-alih polisi melaksanakan mandatnya untuk melindungi dan melayani, mereka justru merundungi dan mengkafani.
Citra Polri terus dipoles lewat tayangan “Polisi Menolong Lansia”, baliho “Polri Bersama Rakyat”, dan publikasi kegiatan sosial. Tapi masyarakat tahu, itu semua hanya gimmick. Sebab, di balik itu semua, ada realitas yang menyakitkan. Tubuh-tubuh perempuan yang dilecehkan saat melapor, demonstran yang dipukuli, pemuda yang dijebak kasus narkoba, dan tim medis yang ditahan saat menolong korban kekerasan aparat.
Polisi bukan hanya gagal melindungi perempuan, mereka pulalah yang sering menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Perempuan korban KS sulit mendapat keadilan. Mereka kerap dikriminalisasi, diinterogasi, atau diberi trauma tambahan. Ini semua karena budaya Polri yang dibentuk dari struktur seksis, misoginis, dan patriarkal.
Sejumlah penelitian, seperti yang ditulis Reiner (1992) serta Prokos dan Padavic (2002), menunjukkan bagaimana budaya seksisme dan maskulinitas hegemonik diajarkan sejak pendidikan akademi polisi. Laki-laki polisi didorong untuk mengeksklusi, merendahkan, dan menertibkan perempuan. Ini membuktikan seksisme kepolisian tidak dimulai saat mereka bekerja, melainkan dari awal telah dibentuk untuk menjadi seperti itu.
Baca juga: Pengesahan RUU TNI 2025: Mematikan Demokrasi dan Hak Perempuan
Reformasi: Jalan yang Semu?
Melihat realitas yang ada, gagasan reformasi kepolisian menjadi semakin tak relevan. Reformasi sering kali hanya memperkuat legitimasi kekuasaan, tanpa menyentuh akar masalah. Logika aparat yang represif dan seksis tidak akan hilang hanya karena perubahan undang-undang, terlebih, kepolisian memang dibangun dari logika yang maskulin.
Mereka juga tidak dapat diubah untuk melayani kepentingan masyarakat, sebab mereka adalah alat kekuasaan untuk mempertahankan status quo negara. Aparat tidak berdiri bersama rakyat, mereka selalu berdiri berdampingan dengan kepentingan penguasa/pemodal.
Sudah saatnya masyarakat berhenti mengglorifikasi polisi ketika mereka sekadar melakukan tanggung jawabnya. Seperti dikatakan Mariame Kaba, satu-satunya cara mengurangi kekerasan polisi adalah dengan mengurangi kontak dengan polisi. Alex Vitale dalam wawancaranya dengan Micah Uetricht juga menjelaskan bahwa sebagian besar polisi tidak menangkap penjahat, tetapi mengurus hal-hal trivial seperti surat tilang dan komplain kebisingan. Dua kali penangkapan kejahatan berat setahun saja sudah membuat mereka jadi “cop of the month”. Vitale seolah mengilustrasikan bahwa apa yang polisi kerjakan, terlalu banyak diglorifikasi, bahkan oleh institusinya sendiri.
Sudah waktunya kita mendesak pengalihan dana dari institusi kepolisian ke sektor-sektor yang benar-benar menopang hidup masyarakat: pendidikan, layanan kesehatan mental, subsidi perumahan, dan women crisis center. Karena, keamanan sejati dibangun dari keadilan sosial dan solidaritas sipil, bukan dari institusi bersenjata yang merundungi alih-alih melindungi.
Melalui RUU Polri, negara sekali lagi menunjukkan wajah seksisnya. Dengan meluaskan kekuasaan kepolisian, negara memperkuat kontrol atas tubuh perempuan dan ruang hidup sipil. Dan, ini bukan kebijakan yang lagi-lagi cacat, tapi soal kelangsungan hidup kelompok marginal.
Masyarakat tidak boleh lelah memobilisasi kekuatan sipil. Perempuan dan kelompok minoritas gender berhak atas tubuhnya, atas ruang digital yang aman, atas keadilan, dan atas hidup tanpa pengawasan dan intimidasi aparat. Melawan RUU Polri bukan sekadar perjuangan legal, tapi perjuangan eksistensial untuk merebut kembali supremasi sipil.

Social Media Kami